Skip to main content

Sekala Niskala di Bali

Part 1.

Hari Sabtu (10/02), sehari sebelum premier Sekala Niskala (The Seen and Unseen) di Bentara Budaya Bali, digelar acara bertajuk Focus On Kamila Andini di tempat yang sama. Acara tersebut merupakan program kolektif yang diadakan oleh komunitas dan penggiat film di Indonesia untuk memutar film-film karya Kamila Andini terdahulu, dengan tujuan bersama-sama membaca proses kreatif Kamila Andini, sebelum film panjang keduanya, Sekala Niskala, tayang secara serentak di bioskop mulai 8 Maret 2018.

Film diputar berurutan berdasarkan tahun produksinya. Film cerita pertama Kamila Andini, The Mirror Never Lies (2011), berkisah tentang hubungan ibu dan anak perempuan suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Menurut sumber yang saya baca, berkat film ini, Kamila Andini meraih sejumlah penghargaan, di antaranya: Earth Grand Prix Award di Tokyo International Film Festival, Bright Young Talent Award di Mumbai International Film Festival, dan FIPRESCI Award di the Hong Kong International Film Festival. Film ini bahkan telah mengelilingi lebih dari 30 festival film, termasuk Berlinale, Busan, Edinburgh, dan Seattle.

Film kedua yang diputar adalah Diana Sendiri Diana (2016), bercerita tentang seorang istri yang diselingkuhi oleh suaminya.

Film terakhir yang diputar adalah Memoria (2016). Di film ini Kamila mengambarkan sepenggal kisah kelam yang terjadi pada sebagian perempuan di Timor Leste pada masa perang kemerdekaan Timor Leste kala itu. Film yang tentu digarap dengan basis riset yang panjang dan mendalam.

Program nonton bareng yang diselenggarakan secara misbar semalam didukung dengan langit yang cerah. Alhasil, selama kurang lebih tiga jam saya jadi tak habis-habis terkesan. Bayangkan, di layar, ada suguhan rangkaian film retrospektif, di atas kepala saya, ada bintang dan kunang-kunang ikut menonton.

Sehabis nonton, ingatan tentang mimpi lama menyapa saya. Sejak dulu, karya-karya seperti yang dibuat oleh Kamila Andini adalah karya-karya yang selalu saya harapkan saya sanggup buat.

Part 2.

Keesokan harinya, Minggu (11/02), saya kembali datang ke Bentara Budaya Bali dan menjadi satu dari kurang lebih 700 penonton pertama film Sekala Niskala di Bali.

Film buah cipta sutradara dan penulis skenario Kamila Andini ini berkisah tentang dua anak kembar laki-perempuan, Tantra dan Tantri.

Film Sekala Niskala bergerak dalam irama yang lembut dan sarat perasaan. Saya menikmatinya bagai membaca puisi. Seluruh indra saya merasa guyub dan takzim.

Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, sehari sebelum menonton Sekala Niskala, saya menonton tiga judul film Kamila Andini terdahulu: The Mirror Never Lies, Diana Sendiri Diana, dan Memoria.

Menonton Sekala Niskala dengan tiga referensi tersebut membuat saya takjub, bagaimana Kamila Andini bisa bersetia dan bersedia menjadi media bagi semesta dalam menumbuhkan benih ide film ini.

Bagi saya, menonton Sekala Niskala adalah satu cara sederhana sekaligus paling merasuki dalam proses mengarifi Bali. Akan tepapi, saya juga merasa Sekala Niskala bukan film yang menyoal daerah Indonesia dan kisah di dalamnya semata, tetapi lebih jauh dari itu.

Film Sekala Niskala adalah tentang keselarasan pertalian dengan apa yang ada di langit dan di bumi. Bulan dan matahari, putih dan kuning telur, burung dan kera, angin, sawah dan padi. Semuanya dirakit membentuk tingkap tempat berkas makna menyelusup secara halus dan misterius pada kepala saya.

Sehabis menonton Sekala Niskala, ada detik saya tersadarkan kembali, bahwa yang terbentang dalam hidup lebih luas dari sekadar hiruk pikuk yang kita tekuni setiap hari. Seolah diri saya, identitas saya, dan rutinitas yang mengikutinya mengecil, menyisakan pertanyaan apa yang penting dan apa yang tidak penting dalam ruang pikir yang lebih lapang.

Film Sekala Niskala adalah himpunan tanda yang memotivasi saya untuk menghadapi sesama dan semesta, serta perasaan-perasaan yang timbul akibat interaksi dengan keduanya secara lebih "sunyi".

Sebagaimana alam yang selalu bersikap apa adanya pada manusianya, begitu pula film ini buat saya. Ladang gulita, tembang pilu, dan raut sedu, justru memberi terang pada ruang-ruang perenungan di dalam saya. []

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi