Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2014

The writing muse

muse (mju:z) v.  merenung. ~ing, n. renungan.  Sebelum ini saya tidak pernah terlalu tertarik dengan kata itu. Semua yang saya tahu tentang muse hanyalah nama sebuah band asal Inggris yang digawangi oleh Matthew Bellamy. Kemudian saya membaca cerpen dari penulis favorit saya dengan judul Muse. Cerpen ini bercerita tentang seorang penulis perempuan yang suaminya benci dijadikan muse . Dari situ saya mendapatkan makna baru dari kata muse , selain makna harfiahnya dan tentunya nama sebuah band. Saya pun penasaran, siapa atau apa sebenarnya muse itu? Apakah harus berwujud orang? Atau benda? Atau suasana? Mungkin aroma? Berselancar pada sedikit sekali artikel yang membahas muse , dan bertanya pada beberapa teman, saya mendapatkan pengertian baru. Bahwa muse ini tidak hanya berlaku bagi seorang penulis. Setiap pekerja kreatif, baik itu penulis, perancang busana, pelukis, hingga pencipta lagu memang mempunyai sumber inspirasi yang disebut muse . Saya pun menemukan pernyataan dar

Unrequited love - Bagian 2

“Kirana, gue balik duluan ya. Lo hati – hati. Tinggal lo sama Mbak Windy nih yang belum pulang. Perasaan gue gak enak.” Abby tersenyum iseng. “Sialan lo.” Aku melempar asal sebuah pulpen ke arah Abby. Hari ini pekerjaanku sangat padat. Aku melirik jam tanganku. Hampir jam 8 malam. Sebenarnya aku tinggal menunggu proses rendering selesai. Sambil menunggu, aku bermaksud untuk menyeduh cokelat di pantry. Tepat ketika aku berdiri, aku melihat Mbak Windy berjalan ke arahku. Ia terlihat ragu. “Belum pulang, Mbak?” Aku tersenyum. Mbak Windy membalas senyumku. Ia ternyata terus berjalan mendekati kubikelku. Ia lalu menarik sebuah kursi ke sebelahku dan duduk di atasnya. Mug berisi cokelat panas yang dibawa Mbak Windy, disodorkannya kepadaku. “Minum. Nanti masuk angin.” Ini apa? Sogokan sebelum ia memulai omelan kepadaku? “Eh, thanks, Mbak. Tumben..” Aku memaksakan sebuah cengiran. “Emh.. Ada perlu apa, Mbak?” Mbak Windy tidak pernah sekali pun bersikap manis kepadaku. Mengapa tib

Unrequited love - Bagian 1

“Kirana, Awan kan gak masuk hari ini. Sementara Abby belum ngerti motret. Tolong kamu temenin dia liputan ya? Di mall depan aja kok.” Mas Azar, editor di kantor ini melongokkan kepalanya ke dalam kubikelku sambil meletakkan peralatan memotret di mejaku. Aku yang kebetulan sedang tidak mengerjakan apa – apa, lumayan kaget dengan kemunculan Mas Azar yang tiba – tiba. “Oh.. Siap, Mas. Jam berapa liputannya?” “Sekarang.” Mas Azar menarik kembali kepalanya tanpa menunggu protesku. Tentu saja aku tidak keberatan menemani Abby, reporter baru di kantor ini, untuk liputan. Lagipula lokasinya dekat. Aku dan Abby hanya harus berjalan kaki menyebrang ke mall di depan kantor kami. Walapun sebenarnya fotografer itu jatah Mas Awan, tetap saja perintah dari Mas Azar tadi terdengar seperti suruhan untuk sedikit cuci mata di luar kantor. Tapibagaimanapun, ini adalah jam makan siang. Dan prinsipku selalu, logika tidak akan berjalan jika tidak ada logistik. Mas Azar sudah menghilang ke dalam ruang

Semangat dari Dekat

Angkat tanganmu di udara Setinggi – tingginya tunjuk angkasa Kau boleh turunkan bila lelah Tak apa – apa tapi tetaplah tersenyumlah Aku mengerti, sulit berpesta membayangkan esok hari Uang dicari untuk hidup, hidup untuk dihidupi, ayo kita hidupi malam ini Telinga kita semua mendengarkan lagu apapun dan dari manapun. Tetapi, pernah gak,saat kamu mendengarkan, dari deretan lagu yang kamu dengar itu kamu merasa ada satu lagu yang bisa sampai membuat kamu jatuh cinta? Bisa terasa sebegitu lekatnya dengan telinga kamu saat kamu mendengarkan lagu tersebut. Mungkin liriknya yang kamu suka, karena sangat related dengan pengalammu. Atau musiknya yang ear catchy. Atau penyanyinya memang idola kamu. Tentu pernah kan? Dan pasti banyak pula daftar lagu itu buat kamu. Buat saya, lagu Kembali Bekerja dari Dekat ini adalah salah satu lagu tersebut. Awalnya adalah beberapa waktu lalu saat saya buka twitter, kebetulan saya membaca tweet dari Kamga yang be