“Kirana, Awan kan gak masuk hari ini. Sementara Abby belum ngerti motret. Tolong kamu temenin dia liputan ya? Di mall depan aja kok.” Mas Azar, editor di kantor ini melongokkan kepalanya ke dalam kubikelku sambil meletakkan peralatan memotret di mejaku.
Aku yang kebetulan sedang tidak mengerjakan apa – apa, lumayan kaget dengan kemunculan Mas Azar yang tiba – tiba. “Oh.. Siap, Mas. Jam berapa liputannya?”
“Sekarang.” Mas Azar menarik kembali kepalanya tanpa menunggu protesku.
Tentu saja aku tidak keberatan menemani Abby, reporter baru di kantor ini, untuk liputan. Lagipula lokasinya dekat. Aku dan Abby hanya harus berjalan kaki menyebrang ke mall di depan kantor kami. Walapun sebenarnya fotografer itu jatah Mas Awan, tetap saja perintah dari Mas Azar tadi terdengar seperti suruhan untuk sedikit cuci mata di luar kantor. Tapibagaimanapun, ini adalah jam makan siang. Dan prinsipku selalu, logika tidak akan berjalan jika tidak ada logistik.
Mas Azar sudah menghilang ke dalam ruangannya. Aku menolehkan kepalaku ke kubikel sebelah. Abby ternyata sudah menungguku. Dia berdiri memamerkan senyum manisnya. Dua bola matanya yang tertutup kaca mata bergerak - gerak meminta bantuan. Kujejalkan roti sisa sarapan ke dalam mulutku untuk menyumpal protes dari perut yang sudah minta diisi. Kusambar tripod, 7D plus EF-S 10-20mm yang tadi diletakkan Mas Azar di mejaku.
“Bring it on, By!”
___
Puluhan orang berkumpul di atrium utama Tunjungan Plaza. Event yang sedang aku liput bersama Abby ini adalah launching produk tabungan sebuah bank. Membosankan. Aku tidak benar – benar menyimak apa yang disampaikan MC sejak ia mulai membuka acara ini. Biarkan saja. Itu tugas Abby. Aku sendiri hanya mengambil beberapa momen seremonial yang menurutku penting, sebaik mungkin. Sebagai desainer grafis yang bertugas mengolah konten untuk disajikan seapik mungkin secara visual, aku senang jika fotografer dan reporter memberikan bahan olahan yang segar.
MC itu sudah menutup acaranya. Aku menyimpan kembali kamera dan lensa properti kantorku ke dalam tas. Kukalungkan tas kamera ini di leherku. Tripod yang sudah terbungkus kusampirkan di bahu kiriku. Aku sudah beres dengan tugasku. Abby pun tampaknya sama. Ia menutup buku catatannya dan mengaitkan pulpen di saku kemejanya.
“Cabut yu, By! Laper nih. Belum makan siang kan kita.” kataku.
“Kita ke foodcourt aja ya. Gue udah BBM Mas Azar, kita langsung cabut makan.”
Kami berjalan ke arah lift dan menunggu di depannya sampai pintu lift itu terbuka. Lapar dan capek sepertinya menjadi biang impuls kami sedikit lebih sensitif dari biasanya. Saat pintu lift terbuka dan tampak sebuah eh seorang badut berdiri sendirian di dalamnya, kami berteriak sekencang - kencangnya.
Beberapa detik kemudian aku dan Abby sadar kelakuan kami memalukan. Aku dan Abby menghentikan teriakan kami, dan memasuki lift yang masih terbuka menunggu kami. Aku tidak mau tahu dan tidak ingin melihat berapa banyak orang yang tadi mendengar teriakanku dan Abby, dan mengira kami adalah dua perempuan histeris atau semacamnya.
Aku buru – buru memasuki lift mendahului Abby. Mata si badut menatap tajam kepada kami berdua. Aku bisa merasakan pipiku semakin panas saat berada dekat si badut. Sementara Abby menundukkan kepalanya saat memasuki lift. Karenanya, ia tidak bisa melihat dengan pasti posisi kepalaku. Saat badan kami sama – sama membalik, kepala kami terantuk. Dan tawa itu pecah.
Badut itu tertawa. Tawanya lepas dan panjang. Tawa yang mungkin sudah ia tahan sejak pintu lift terbuka dan dua orang perempuan berteriak histeris di depannya.
Pipiku semakin panas, sementara kepalaku berdenyut sakit.
“Kenapa sih, Mbak – Mbak ini lucu banget? Takut sama badut ya?” Badut itu bersuara.
“Barusan habis dari acara ulang tahun keponakan di atas. Saya baru mau ganti kostum ini. Maaf ya udah ngagetin.” Badut itu membuka kepalanya sambil terkekeh. Aku bisa melihat dengan jelas sekarang, wajah pria di balik kostum badut ini. Ia tidak melukisi wajahnya dengan bedak putih, memakai hidung mainan ataupun lipstik merah.
Senyumnya masih membuka lebar. Matanya yang berwarna cokelat menyipit. Badut tertampan yang pernah kulihat. Napasku tertahan sejenak.
“Kami yang minta maaf, Mas Badut. Tadi itu ... kelepasan.” Abby melirik ke arahku meminta dukungan.Namun yang kulakukan adalah, menarik bibirku berusaha membentuk sebuah senyuman yang kuharapkan cukup berkesan bagi si badut.
Pintu lift itu membuka di lantai basement.
“Nama saya Banyu. Eh, saya duluan ya, Mbak - Mbak. Sampai ketemu lagi.”
Aku dan Abby merapat ke dinding lift memberi jalan keluar untuk Banyu. Ia berjalan lucu dengan kostum badutnya menjauhi kami. Pintu lift menutup kembali, membawa aku dan Abby menuju tempat dimana kewarasankuyang sesaat tadi hilang, mungkin akan kutemukan kembali, meja makan.
___
Setelah sesiangan menggotong body kamera yang tidak ringan plus perintilannya demi membantu Abby, aku kembali kepada jatahku sesungguhnya di kantor ini: menggambar, berkutat dengan software photosop, coreldraw, indesign. Dan, berurusan dengan komplen dari klien. Lalu kalau sedang “beruntung” seperti sore ini, aku akan mendapat bonus omelan dari Marketing Manager di kantor ini, Mbak Windy. Usia kami sebenarnya hanya terpaut satu tahun. Tapi karena secara organisasi, posisinya berada di atasku, aku merasa lebih sopan memanggilnya dengan tambahan ‘Mbak’.
Segala resiko dari pekerjaanku ini sudah kubayangkan sejak aku memutuskan bergabung dengan kantor agensi ini setahun yang lalu. Namun berurusan dengan Mbak Windy, tidak pernah masuk dalam perhitunganku. Sebenarnya, aku hampir tidak tahan dengan sikap Mbak Windy terhadapku. Tapi aku cinta pada pekerjaanku. Lagi pula, teman – teman yang lain di kantor ini menyenangkan. Itulah mungkin yang membuatku bertahan di sini.
“Please be as detailed as possible, Kirana! Sampai kapan kita akan terus menerima komplen dari klien? Bisa rugi perusahaan kita kalau semua klien meminta penalty. Kamu bisa ganti semuanya? Atau kamu menunggu saya rekomendasi ke HRD untuk ngasih kamu SP, baru kamu mau berhenti bikin kesalahan?”
Aku sudah duduk di hadapan Mbak Windy di ruangannya sekarang. Dan seperti biasa, ia akan seenaknya mengomel tentang apapun terhadapku.
“Maafkan saya, Mbak Windy. Saya pastikan saya gak akan mengulangi kesalahan.” ucapku malas.
“Bagus. Jangan pikir dengan kamu cantik saja kamu bisa bertahan di dunia kreatif. Kamu juga harus pintar dan teliti.”
Sebentar.. What was that? Omelan murahan. Aku mengumpat dalam hati.
Aku tidak suka dengan sikap defensifnya. Aku tidak suka hanya aku yang disalahkan untuk sebuah kesalahan kolektif. Oke, mungkin memang aku project leader-nya. Aku tetap tidak suka bagaimana ia melupakan keberhasilan – keberhasilanku sebelumnya saat ia menemukan kesalahan seperti sore ini. Dan sore ini juga, aku semakin heran dengan sikapnya. Kenapa Mbak Windy harus menyerang pribadiku sih? Kenapa tidak fokus saja pada masalahnya? Memangnya aku yang minta pada Tuhan untuk terlahir cantik? Memangnya salah kalau aku cantik? Ia hanya merendahkan saja penghormatanku kepadanya sebagai seorang atasan.
Aku tidak suka pada Mbak Windy. Dia selalu mencari – cari urusan denganku dengan cara yang tidak menyenangkan.
Setelah berurusan dengan Mbak Windy, aku pasti membawa oleh – oleh sekantong petasan amarah yang siap diledakkan. Saat aku mengeluarkan isi kantongku, Mas Azar, Abby, Mas Awan, juga teman – temanku yang lain seolah – olah telah siap dengan botol air masing - masing untuk menyiram petasanku sampai padam. Itulah yang selalu mereka lakukan.
“Udahlah, Na. Lo tahu sendiri dia kayak gimana.”
“Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, Na.”
“Jangan – jangan, Mbak Windy naksir sama lo kali, Na.”
Sial.
___
Aku ingat tiga bulan lalu, saat aku pulang dari kantor dengan perasaan kesal karena hari itu Mbak Windy mengomentari cara berpakaianku yang menurutku biasa – biasa saja, sebuket mawar peach dan aster putih yang diikat pita merah muda tergeletak di atas tempat tidurku. Tidak ada kartu ucapan diikatkan di buket itu. Aku tidak bisa tahu siapa pengirimnya, dan untuk maksud apa. Aku tidak sedang berulang tahun hari itu. Aku juga tidak baru saja mendapatkan prestasi yang layak diberi hadiah sebuket bunga mahal.
Saat kutanya orang rumah yang menerima kiriman bunga itu, mereka tak memberikan informasi berguna yang bisa kupakai untuk menelusuri siapa pengirimnya.
Esok harinya, kutanyakan teman – teman kantorku satu – satu. Namun tak ada yang mengaku. Tentu saja aku tidak perlu menanyakan Mbak Windy. Ia kucoret dalam daftar orang – orang yang mungkin mengirimiku bunga. Ia kan tidak suka padaku.
Minggu depannya, kiriman buket bunga yang lain datang. Kali ini mawar merah muda dan mawar putih yang dirangkai dengan lili yang masih berupa kuncup hijau.
Aku suka bunga. Aku sering sengaja pergi ke taman kota untuk memotret bunga. Beberapa foto bungaku kupajang di akun instagramku. Salah satu temanku juga adalah seorang florist. Ia merangkai bunga dengan kecintaannya. Dan aku juga tahu bagaimana kerja keras para petani bunga mengembangbiakkan tanamannya. Sebuah buket bunga adalah persembahan waktu dan cinta dari orang – orang itu. Dan orang yang mengirim bunga – bunga itu untukku, seharusnya adalah orang yang juga tahu betapa berharganya arti sebuah cinta dan pengorbanan bernama waktu. Pengirim bunga misteriusku tentu mengamatiku dengan baik. Kuakui, aku terkesan dan penasaran siapa dia sebenarnya.
Sekali lagi kupastikan, dia bukan Mbak Windy. Maksudku, bukan orang seperti Mbak Windy, yang pagi ini lagi – lagi membuatku heran. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri, ia hampir membuang sebuket bunga segar ke dalam tong sampah. “Stop, Mbak! Jangan dibuang! Bunganya buat saya aja.”
Mbak Windy menghentikan niatnya saat mendengar teriakanku. Ia hanya memandangku ketus, kemudian berlalu memasuki gedung kantor setelah menyerahkan sebuket mawar merah dengan sampul kertas merah muda dan ikat pita merah yang berada di tangannya, kepadaku. Aku tak peduli dari mana Mbak Windy mendapatkan bunga ini dan mengapa ia malah ingin membuangnya. Kuhirup mawar merah itu dalam – dalam. Mataku memejam saat aliran rasa segar seolah telah memenuhi setiap ruang dalam tubuhku.
“Mbak Kirana! Buat saya aja lah, Mbak, bunganya. Kasihan istri saya gak pernah dikasih bunga.”
Mataku membuka dan Pak Sueb, OB di kantorku, tiba – tiba saja sudah berada di depanku. Mungkin sudah sejak tadi ia menontoniku mengendus – endus buket bunga ini. “Pak Sueb! Bikin kaget aja.”
Yang diprotes hanya berdiri sambil nyengir.
“Bapak mau bunganya? Yaudah nih. Kasih sama istrinya ya, Pak. Biar tambah disayang.”
Pak Sueb bersiap menerima buket mawar merah itu sambil mesem – mesem.
“TIDIIIIITTTTT!!!!”
Wajah Pak Sueb tiba – tiba saja seperti ada yang menarik dari arah belakang. Pak Sueb tidak siap kalau ternyata ia harus menangkap buket itu setelah dilempar tinggi ke udara. Maksudku, terlempar. Iya, buket mawar merah itu terlempar dari tanganku saking kagetnya aku mendengar klakson mobil tepat di belakang telingaku barusan.
Saat buket bunga mawar itu mendarat dengan selamat di tangan Pak Sueb, seorang pria turun dari mobil itu agak terburu - buru.
“Mbak, maaf, Mbak.. Tadi itu ... kepencet. Saya Banyu. Masih inget kan?”
Sepasang mata coklat yang sama, yang menyipit saat pemiliknya tersenyum lebar. Tentu saja aku ingat. Dan Banyu, semakin tampan saat tidak memakai kostum badut.
“Mbak.. Mbak.. Nama saya Kirana.”
“Iya, Mbak Kirana.Maaf.. Itu bunga saya kenapa ada di tangan Bapak ini ya? Tadi saya kasih untuk Windy, teman saya.”
Mbak Windy? Kenapa selalu dia?
Banyu masih menunggu penjelasanku. Sementara aku bingung akan memilih jawaban yang mana.
Oh, tadi Mbak Windy lupa menyimpan bunganya di tong sampah.
Oh, Mbak Windy kasihan sama istri Pak Sueb yang belum pernah dapat bunga.
Oh, Mbak Windy sebenarnya gak suka kamu, Banyu. Dia lebih memilih Pak Sueb.
Oh, Banyu. Kamu salah ngasih bunga kan? Sebenernya buat saya kan?
Apa yang paling menyakitkan di dunia ini? Pertama, kejujuran. Kedua, penolakan. Aku tidak suka memberi tahu seseorang dengan jujur bahwa ia telah ditolak. Aku sedang tidak ingin melakukan itu sekarang. Tepatnya, aku tidak ingin melakukan itu pada Banyu, sekarang.
Pagi ini aku terpaksa mengeluarkan jurus pertama untuk menghadapi situasi yang tidak kusuka : kabur.
“Banyu, sori. Kami harus masuk. Bye!”
Aku menarik tangan Pak Sueb sebelum dia membocorkan yang sebenarnya pada Banyu.
___
Aku yang kebetulan sedang tidak mengerjakan apa – apa, lumayan kaget dengan kemunculan Mas Azar yang tiba – tiba. “Oh.. Siap, Mas. Jam berapa liputannya?”
“Sekarang.” Mas Azar menarik kembali kepalanya tanpa menunggu protesku.
Tentu saja aku tidak keberatan menemani Abby, reporter baru di kantor ini, untuk liputan. Lagipula lokasinya dekat. Aku dan Abby hanya harus berjalan kaki menyebrang ke mall di depan kantor kami. Walapun sebenarnya fotografer itu jatah Mas Awan, tetap saja perintah dari Mas Azar tadi terdengar seperti suruhan untuk sedikit cuci mata di luar kantor. Tapibagaimanapun, ini adalah jam makan siang. Dan prinsipku selalu, logika tidak akan berjalan jika tidak ada logistik.
Mas Azar sudah menghilang ke dalam ruangannya. Aku menolehkan kepalaku ke kubikel sebelah. Abby ternyata sudah menungguku. Dia berdiri memamerkan senyum manisnya. Dua bola matanya yang tertutup kaca mata bergerak - gerak meminta bantuan. Kujejalkan roti sisa sarapan ke dalam mulutku untuk menyumpal protes dari perut yang sudah minta diisi. Kusambar tripod, 7D plus EF-S 10-20mm yang tadi diletakkan Mas Azar di mejaku.
“Bring it on, By!”
___
Puluhan orang berkumpul di atrium utama Tunjungan Plaza. Event yang sedang aku liput bersama Abby ini adalah launching produk tabungan sebuah bank. Membosankan. Aku tidak benar – benar menyimak apa yang disampaikan MC sejak ia mulai membuka acara ini. Biarkan saja. Itu tugas Abby. Aku sendiri hanya mengambil beberapa momen seremonial yang menurutku penting, sebaik mungkin. Sebagai desainer grafis yang bertugas mengolah konten untuk disajikan seapik mungkin secara visual, aku senang jika fotografer dan reporter memberikan bahan olahan yang segar.
MC itu sudah menutup acaranya. Aku menyimpan kembali kamera dan lensa properti kantorku ke dalam tas. Kukalungkan tas kamera ini di leherku. Tripod yang sudah terbungkus kusampirkan di bahu kiriku. Aku sudah beres dengan tugasku. Abby pun tampaknya sama. Ia menutup buku catatannya dan mengaitkan pulpen di saku kemejanya.
“Cabut yu, By! Laper nih. Belum makan siang kan kita.” kataku.
“Kita ke foodcourt aja ya. Gue udah BBM Mas Azar, kita langsung cabut makan.”
Kami berjalan ke arah lift dan menunggu di depannya sampai pintu lift itu terbuka. Lapar dan capek sepertinya menjadi biang impuls kami sedikit lebih sensitif dari biasanya. Saat pintu lift terbuka dan tampak sebuah eh seorang badut berdiri sendirian di dalamnya, kami berteriak sekencang - kencangnya.
Beberapa detik kemudian aku dan Abby sadar kelakuan kami memalukan. Aku dan Abby menghentikan teriakan kami, dan memasuki lift yang masih terbuka menunggu kami. Aku tidak mau tahu dan tidak ingin melihat berapa banyak orang yang tadi mendengar teriakanku dan Abby, dan mengira kami adalah dua perempuan histeris atau semacamnya.
Aku buru – buru memasuki lift mendahului Abby. Mata si badut menatap tajam kepada kami berdua. Aku bisa merasakan pipiku semakin panas saat berada dekat si badut. Sementara Abby menundukkan kepalanya saat memasuki lift. Karenanya, ia tidak bisa melihat dengan pasti posisi kepalaku. Saat badan kami sama – sama membalik, kepala kami terantuk. Dan tawa itu pecah.
Badut itu tertawa. Tawanya lepas dan panjang. Tawa yang mungkin sudah ia tahan sejak pintu lift terbuka dan dua orang perempuan berteriak histeris di depannya.
Pipiku semakin panas, sementara kepalaku berdenyut sakit.
“Kenapa sih, Mbak – Mbak ini lucu banget? Takut sama badut ya?” Badut itu bersuara.
“Barusan habis dari acara ulang tahun keponakan di atas. Saya baru mau ganti kostum ini. Maaf ya udah ngagetin.” Badut itu membuka kepalanya sambil terkekeh. Aku bisa melihat dengan jelas sekarang, wajah pria di balik kostum badut ini. Ia tidak melukisi wajahnya dengan bedak putih, memakai hidung mainan ataupun lipstik merah.
Senyumnya masih membuka lebar. Matanya yang berwarna cokelat menyipit. Badut tertampan yang pernah kulihat. Napasku tertahan sejenak.
“Kami yang minta maaf, Mas Badut. Tadi itu ... kelepasan.” Abby melirik ke arahku meminta dukungan.Namun yang kulakukan adalah, menarik bibirku berusaha membentuk sebuah senyuman yang kuharapkan cukup berkesan bagi si badut.
Pintu lift itu membuka di lantai basement.
“Nama saya Banyu. Eh, saya duluan ya, Mbak - Mbak. Sampai ketemu lagi.”
Aku dan Abby merapat ke dinding lift memberi jalan keluar untuk Banyu. Ia berjalan lucu dengan kostum badutnya menjauhi kami. Pintu lift menutup kembali, membawa aku dan Abby menuju tempat dimana kewarasankuyang sesaat tadi hilang, mungkin akan kutemukan kembali, meja makan.
___
Setelah sesiangan menggotong body kamera yang tidak ringan plus perintilannya demi membantu Abby, aku kembali kepada jatahku sesungguhnya di kantor ini: menggambar, berkutat dengan software photosop, coreldraw, indesign. Dan, berurusan dengan komplen dari klien. Lalu kalau sedang “beruntung” seperti sore ini, aku akan mendapat bonus omelan dari Marketing Manager di kantor ini, Mbak Windy. Usia kami sebenarnya hanya terpaut satu tahun. Tapi karena secara organisasi, posisinya berada di atasku, aku merasa lebih sopan memanggilnya dengan tambahan ‘Mbak’.
Segala resiko dari pekerjaanku ini sudah kubayangkan sejak aku memutuskan bergabung dengan kantor agensi ini setahun yang lalu. Namun berurusan dengan Mbak Windy, tidak pernah masuk dalam perhitunganku. Sebenarnya, aku hampir tidak tahan dengan sikap Mbak Windy terhadapku. Tapi aku cinta pada pekerjaanku. Lagi pula, teman – teman yang lain di kantor ini menyenangkan. Itulah mungkin yang membuatku bertahan di sini.
“Please be as detailed as possible, Kirana! Sampai kapan kita akan terus menerima komplen dari klien? Bisa rugi perusahaan kita kalau semua klien meminta penalty. Kamu bisa ganti semuanya? Atau kamu menunggu saya rekomendasi ke HRD untuk ngasih kamu SP, baru kamu mau berhenti bikin kesalahan?”
Aku sudah duduk di hadapan Mbak Windy di ruangannya sekarang. Dan seperti biasa, ia akan seenaknya mengomel tentang apapun terhadapku.
“Maafkan saya, Mbak Windy. Saya pastikan saya gak akan mengulangi kesalahan.” ucapku malas.
“Bagus. Jangan pikir dengan kamu cantik saja kamu bisa bertahan di dunia kreatif. Kamu juga harus pintar dan teliti.”
Sebentar.. What was that? Omelan murahan. Aku mengumpat dalam hati.
Aku tidak suka dengan sikap defensifnya. Aku tidak suka hanya aku yang disalahkan untuk sebuah kesalahan kolektif. Oke, mungkin memang aku project leader-nya. Aku tetap tidak suka bagaimana ia melupakan keberhasilan – keberhasilanku sebelumnya saat ia menemukan kesalahan seperti sore ini. Dan sore ini juga, aku semakin heran dengan sikapnya. Kenapa Mbak Windy harus menyerang pribadiku sih? Kenapa tidak fokus saja pada masalahnya? Memangnya aku yang minta pada Tuhan untuk terlahir cantik? Memangnya salah kalau aku cantik? Ia hanya merendahkan saja penghormatanku kepadanya sebagai seorang atasan.
Aku tidak suka pada Mbak Windy. Dia selalu mencari – cari urusan denganku dengan cara yang tidak menyenangkan.
Setelah berurusan dengan Mbak Windy, aku pasti membawa oleh – oleh sekantong petasan amarah yang siap diledakkan. Saat aku mengeluarkan isi kantongku, Mas Azar, Abby, Mas Awan, juga teman – temanku yang lain seolah – olah telah siap dengan botol air masing - masing untuk menyiram petasanku sampai padam. Itulah yang selalu mereka lakukan.
“Udahlah, Na. Lo tahu sendiri dia kayak gimana.”
“Masuk telinga kanan keluar telinga kiri, Na.”
“Jangan – jangan, Mbak Windy naksir sama lo kali, Na.”
Sial.
___
Aku ingat tiga bulan lalu, saat aku pulang dari kantor dengan perasaan kesal karena hari itu Mbak Windy mengomentari cara berpakaianku yang menurutku biasa – biasa saja, sebuket mawar peach dan aster putih yang diikat pita merah muda tergeletak di atas tempat tidurku. Tidak ada kartu ucapan diikatkan di buket itu. Aku tidak bisa tahu siapa pengirimnya, dan untuk maksud apa. Aku tidak sedang berulang tahun hari itu. Aku juga tidak baru saja mendapatkan prestasi yang layak diberi hadiah sebuket bunga mahal.
Saat kutanya orang rumah yang menerima kiriman bunga itu, mereka tak memberikan informasi berguna yang bisa kupakai untuk menelusuri siapa pengirimnya.
Esok harinya, kutanyakan teman – teman kantorku satu – satu. Namun tak ada yang mengaku. Tentu saja aku tidak perlu menanyakan Mbak Windy. Ia kucoret dalam daftar orang – orang yang mungkin mengirimiku bunga. Ia kan tidak suka padaku.
Minggu depannya, kiriman buket bunga yang lain datang. Kali ini mawar merah muda dan mawar putih yang dirangkai dengan lili yang masih berupa kuncup hijau.
Aku suka bunga. Aku sering sengaja pergi ke taman kota untuk memotret bunga. Beberapa foto bungaku kupajang di akun instagramku. Salah satu temanku juga adalah seorang florist. Ia merangkai bunga dengan kecintaannya. Dan aku juga tahu bagaimana kerja keras para petani bunga mengembangbiakkan tanamannya. Sebuah buket bunga adalah persembahan waktu dan cinta dari orang – orang itu. Dan orang yang mengirim bunga – bunga itu untukku, seharusnya adalah orang yang juga tahu betapa berharganya arti sebuah cinta dan pengorbanan bernama waktu. Pengirim bunga misteriusku tentu mengamatiku dengan baik. Kuakui, aku terkesan dan penasaran siapa dia sebenarnya.
Sekali lagi kupastikan, dia bukan Mbak Windy. Maksudku, bukan orang seperti Mbak Windy, yang pagi ini lagi – lagi membuatku heran. Kulihat dengan mata kepalaku sendiri, ia hampir membuang sebuket bunga segar ke dalam tong sampah. “Stop, Mbak! Jangan dibuang! Bunganya buat saya aja.”
Mbak Windy menghentikan niatnya saat mendengar teriakanku. Ia hanya memandangku ketus, kemudian berlalu memasuki gedung kantor setelah menyerahkan sebuket mawar merah dengan sampul kertas merah muda dan ikat pita merah yang berada di tangannya, kepadaku. Aku tak peduli dari mana Mbak Windy mendapatkan bunga ini dan mengapa ia malah ingin membuangnya. Kuhirup mawar merah itu dalam – dalam. Mataku memejam saat aliran rasa segar seolah telah memenuhi setiap ruang dalam tubuhku.
“Mbak Kirana! Buat saya aja lah, Mbak, bunganya. Kasihan istri saya gak pernah dikasih bunga.”
Mataku membuka dan Pak Sueb, OB di kantorku, tiba – tiba saja sudah berada di depanku. Mungkin sudah sejak tadi ia menontoniku mengendus – endus buket bunga ini. “Pak Sueb! Bikin kaget aja.”
Yang diprotes hanya berdiri sambil nyengir.
“Bapak mau bunganya? Yaudah nih. Kasih sama istrinya ya, Pak. Biar tambah disayang.”
Pak Sueb bersiap menerima buket mawar merah itu sambil mesem – mesem.
“TIDIIIIITTTTT!!!!”
Wajah Pak Sueb tiba – tiba saja seperti ada yang menarik dari arah belakang. Pak Sueb tidak siap kalau ternyata ia harus menangkap buket itu setelah dilempar tinggi ke udara. Maksudku, terlempar. Iya, buket mawar merah itu terlempar dari tanganku saking kagetnya aku mendengar klakson mobil tepat di belakang telingaku barusan.
Saat buket bunga mawar itu mendarat dengan selamat di tangan Pak Sueb, seorang pria turun dari mobil itu agak terburu - buru.
“Mbak, maaf, Mbak.. Tadi itu ... kepencet. Saya Banyu. Masih inget kan?”
Sepasang mata coklat yang sama, yang menyipit saat pemiliknya tersenyum lebar. Tentu saja aku ingat. Dan Banyu, semakin tampan saat tidak memakai kostum badut.
“Mbak.. Mbak.. Nama saya Kirana.”
“Iya, Mbak Kirana.Maaf.. Itu bunga saya kenapa ada di tangan Bapak ini ya? Tadi saya kasih untuk Windy, teman saya.”
Mbak Windy? Kenapa selalu dia?
Banyu masih menunggu penjelasanku. Sementara aku bingung akan memilih jawaban yang mana.
Oh, tadi Mbak Windy lupa menyimpan bunganya di tong sampah.
Oh, Mbak Windy kasihan sama istri Pak Sueb yang belum pernah dapat bunga.
Oh, Mbak Windy sebenarnya gak suka kamu, Banyu. Dia lebih memilih Pak Sueb.
Oh, Banyu. Kamu salah ngasih bunga kan? Sebenernya buat saya kan?
Apa yang paling menyakitkan di dunia ini? Pertama, kejujuran. Kedua, penolakan. Aku tidak suka memberi tahu seseorang dengan jujur bahwa ia telah ditolak. Aku sedang tidak ingin melakukan itu sekarang. Tepatnya, aku tidak ingin melakukan itu pada Banyu, sekarang.
Pagi ini aku terpaksa mengeluarkan jurus pertama untuk menghadapi situasi yang tidak kusuka : kabur.
“Banyu, sori. Kami harus masuk. Bye!”
Aku menarik tangan Pak Sueb sebelum dia membocorkan yang sebenarnya pada Banyu.
___
Bersambung ke Bagian 2.
Comments