Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2015

Write shit down, and let it go!

Bagi saya, marah adalah emosi paling buruk dibanding emosi lainnya, yang bisa saya rasakan. Lebih buruk lagi, jika ekspresi rasa marah tidak tepat waktu dan/atau tidak tepat sasaran. Jika ada kata-kata yang paling saya sesali setelah mereka keluar dari mulut, sudah bisa dipastikan mereka adalah kata-kata yang keluar dari mulut saat saya marah. Sama buruknya saat saya marah dan tidak bisa mengendalikannya agar bertindak lebih rasional. Sudah pasti, kemarahan seperti itu hanya akan merusak segala yang baik, membuat saya terlihat bodoh atau membuat orang enggan untuk menghormati saya seperti sebelumnya. Amit-amit naudzubillah. "Jika emosi mengalahkan logika, kerasa kan akibatnya?" Masih ingat kalimat itu? Kalimat Cinta untuk Rangga di Film AADC itu contoh kasus yang paling gampang deh, akibat buruk dari marah-marah-gak-jelas. Tetapi saya percaya, sebagai sebuah reaksi, setiap emosi yang datang dari dalam diri, termasuk marah, adalah emosi yang jujur. Jika saya menyebut

Pura-pura pulang

Ia pulang tertatih, menyeret letih kakinya, seolah sebuah benda berat membebani. Tangannya mendekap bagian dadanya. Sementara bola matanya meloncat ke bagian tengkuknya. Seringai lebar di wajahnya tak berhenti membunyikan desis lembut, saat warna merah mengalir dari celah kemejanya, merembesi ruas jarinya, lalu menetes di atas keramik putih yang dulu ia pilih. Aku dikecup oleh rasa perih. Hatinya telah dikerat seorang perempuan. Potongannya dicuri dan dijadikan teman makan malam perempuan itu hingga perutnya buncit. Sekepal kepala mungil bersiul dari balik piring makan malamnya, memintaku menyiapkan makam untuk ceritaku sendiri.

Terapi eksistensial di pojok warung

Selalu ada bekal cerita yang saya dapat dari setiap perjalanan ke tempat baru. Kemarin, saya bersama seorang teman berjalan-jalan ke sebuah tempat wisata di daerah Padalarang. Ketika sampai di sana, matahari masih terik, udara juga sedang panas-panasnya. Jadi, sebelum kami mulai menjelajah, saya bersama teman saya memutuskan untuk ‘ngadem’ sebentar di warung sekitaran tempat wisata itu. Si Ibu Warung yang ramah, kami ajak ngobrol ini-itu sampai-sampai kami dikasih diskon seribu rupiah waktu membeli air mineral dari warungnya. Lumayan. Hahaha. Ketika sedang asik mengobrol, tiba-tiba Ibu Warung teriak, "Neng sini, Neng.." Dia memanggil perempuan yang terlihat masih anak kecil, serta memiliki ukuran badan yang juga mungil. Perempuan itu sedang menggendong bayi. Si Ibu Warung meraih bayi dari gendongan perempuan kecil tadi, kemudian memamerkan bayi yang sedang dipangkunya kepada kami, "Ini cucu saya." Sekilas, ada rasa terkejut melintas di pikiran saya. Ibu

Kasih tak sampai

Perempuan berkaca mata itu duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan pandangan kosong. Tak ada yang dilakukannya. Jari - jarinya terpaku di atas keyboard yang tak bekerja. Kemudian berpindah pada satu cangkir kopi yang sudah diisi berkali – kali di hari itu. Ia mereguk isinya. Ketika cangkir itu lepas dari bibirnya, sebulir air mata jatuh menitik di pipi kanannya. Ia menangis. Perempuan itu meletakkan cangkir kopinya, melepas kaca mata yang dikenakannya, lalu mengusap pipinya cepat. “Ah, ya ampun!” Perempuan itu memekik pelan. Ternyata kaca matanya sudah berada di lantai. Ia tak hati – hati ketika meletakkannya tadi. Untung saja tidak pecah. ______ Tulisan di atas adalah potongan dari cerpen berjudul "Aku Berhenti Mengirimu Cinta, Pun Doa-Doa", yang kutulis beberapa bulan lalu. Cerpen itu kukirimkan untuk Proyek Menulis di @nulisbuku. Jadi, kalau kamu penasaran dengan lanjutan ceritanya, kamu bisa baca selengkapnya dalam buku kumpulan cerpen