Bagi saya, marah adalah emosi paling buruk dibanding emosi lainnya, yang bisa saya rasakan. Lebih buruk lagi, jika ekspresi rasa marah tidak tepat waktu dan/atau tidak tepat sasaran. Jika ada kata-kata yang paling saya sesali setelah mereka keluar dari mulut, sudah bisa dipastikan mereka adalah kata-kata yang keluar dari mulut saat saya marah. Sama buruknya saat saya marah dan tidak bisa mengendalikannya agar bertindak lebih rasional. Sudah pasti, kemarahan seperti itu hanya akan merusak segala yang baik, membuat saya terlihat bodoh atau membuat orang enggan untuk menghormati saya seperti sebelumnya. Amit-amit naudzubillah.
"Jika emosi mengalahkan logika, kerasa kan akibatnya?"
Masih ingat kalimat itu? Kalimat Cinta untuk Rangga di Film AADC itu contoh kasus yang paling gampang deh, akibat buruk dari marah-marah-gak-jelas.
Tetapi saya percaya, sebagai sebuah reaksi, setiap emosi yang datang dari dalam diri, termasuk marah, adalah emosi yang jujur. Jika saya menyebut marah sebagai emosi yang buruk, bukan berarti saya bilang marah sebaiknya tidak usah ditunjukkan. Kita bisa memilih ekspresi yang baik yang akan kita gunakan untuk menyampaikan emosi yang kita rasakan, tentunya setelah kita mengenali emosi apa yang kita rasakan tersebut.
Khusus untuk marah, ekspresi yang tidak terlalu buruk atau bisa jadi baik, hanya akan terjadi jika kita menunda reaksi setelah mengenali emosi marah tengah kita rasakan, paling tidak selama 2 detik.
"Kalau marah, jangan langsung bertindak." Begitu pesan seorang teman.
Masih menjalani kehidupan sebagai manusia (bukan malaikat), tentu saja saya masih akan merasakan emosi, termasuk marah, saat menjalaninya. Dan menunda reaksi saat marah adalah satu-satunya cara terbaik yang saya percaya akan menyelamatkan saya dari akibat buruk.
Karena saat menunda marah, hal-hal baik terjadi.
Saat kita merasa perlu menunjukkan bahwa kita marah atas sesuatu, menunda marah akan membuat kita memiliki waktu untuk memikirkan argumen yang kuat dan benar. Bahkan mungkin saja, setelah menggunakan jeda waktu untuk berpikir, kita jadi merasa bahwa kemarahan kita tidak lagi perlu untuk ditunjukkan.
Untungnya, saya memiliki kebiasaan untuk menuliskan apa yang saya rasakan dan pikirkan. Begitu juga saat merasa marah. Kadang saya berpikir sambil menulis.
Menulis itu memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Saya 1000% percaya ini. Saat marah, tuliskan saja semua yang membuatmu marah. Lalu kamu baca ulang. Voila! The healing power of writing! Rasa yang tersisa adalah perasaan ingin membuang semua tulisanmu ke tempat sampah dan membiarkan semuanya lewat.
Menulis itu menemukan jawaban. Saat kita terus menulis, kita tidak sadar bahwa kita sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam kepala. Ketika semua pertanyaanmu terjawab, kamu menjadi manusia yang sadar dan seimbang. Kemudian marahmu hilang saat kau selesai menulis. Dan masalah, jadi tampak tidak sebesar saat kita melihatnya dalam keadaan masih marah.
___
Menulis juga menjaga ingatan. Jadi biarkan tulisan ini membantu saya mengingat, jika suatu saat nanti saya sedang marah, saya akan menunda bereaksi dan mulai menulis.
Sometimes you just have to write that shit down and let it go.
"Jika emosi mengalahkan logika, kerasa kan akibatnya?"
Masih ingat kalimat itu? Kalimat Cinta untuk Rangga di Film AADC itu contoh kasus yang paling gampang deh, akibat buruk dari marah-marah-gak-jelas.
Tetapi saya percaya, sebagai sebuah reaksi, setiap emosi yang datang dari dalam diri, termasuk marah, adalah emosi yang jujur. Jika saya menyebut marah sebagai emosi yang buruk, bukan berarti saya bilang marah sebaiknya tidak usah ditunjukkan. Kita bisa memilih ekspresi yang baik yang akan kita gunakan untuk menyampaikan emosi yang kita rasakan, tentunya setelah kita mengenali emosi apa yang kita rasakan tersebut.
Khusus untuk marah, ekspresi yang tidak terlalu buruk atau bisa jadi baik, hanya akan terjadi jika kita menunda reaksi setelah mengenali emosi marah tengah kita rasakan, paling tidak selama 2 detik.
"Kalau marah, jangan langsung bertindak." Begitu pesan seorang teman.
Masih menjalani kehidupan sebagai manusia (bukan malaikat), tentu saja saya masih akan merasakan emosi, termasuk marah, saat menjalaninya. Dan menunda reaksi saat marah adalah satu-satunya cara terbaik yang saya percaya akan menyelamatkan saya dari akibat buruk.
Karena saat menunda marah, hal-hal baik terjadi.
Saat kita merasa perlu menunjukkan bahwa kita marah atas sesuatu, menunda marah akan membuat kita memiliki waktu untuk memikirkan argumen yang kuat dan benar. Bahkan mungkin saja, setelah menggunakan jeda waktu untuk berpikir, kita jadi merasa bahwa kemarahan kita tidak lagi perlu untuk ditunjukkan.
Untungnya, saya memiliki kebiasaan untuk menuliskan apa yang saya rasakan dan pikirkan. Begitu juga saat merasa marah. Kadang saya berpikir sambil menulis.
Menulis itu memiliki kekuatan untuk menyembuhkan. Saya 1000% percaya ini. Saat marah, tuliskan saja semua yang membuatmu marah. Lalu kamu baca ulang. Voila! The healing power of writing! Rasa yang tersisa adalah perasaan ingin membuang semua tulisanmu ke tempat sampah dan membiarkan semuanya lewat.
Menulis itu menemukan jawaban. Saat kita terus menulis, kita tidak sadar bahwa kita sedang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam kepala. Ketika semua pertanyaanmu terjawab, kamu menjadi manusia yang sadar dan seimbang. Kemudian marahmu hilang saat kau selesai menulis. Dan masalah, jadi tampak tidak sebesar saat kita melihatnya dalam keadaan masih marah.
___
Menulis juga menjaga ingatan. Jadi biarkan tulisan ini membantu saya mengingat, jika suatu saat nanti saya sedang marah, saya akan menunda bereaksi dan mulai menulis.
Sometimes you just have to write that shit down and let it go.
Comments