Skip to main content

Terapi eksistensial di pojok warung

Selalu ada bekal cerita yang saya dapat dari setiap perjalanan ke tempat baru.

Kemarin, saya bersama seorang teman berjalan-jalan ke sebuah tempat wisata di daerah Padalarang. Ketika sampai di sana, matahari masih terik, udara juga sedang panas-panasnya. Jadi, sebelum kami mulai menjelajah, saya bersama teman saya memutuskan untuk ‘ngadem’ sebentar di warung sekitaran tempat wisata itu.

Si Ibu Warung yang ramah, kami ajak ngobrol ini-itu sampai-sampai kami dikasih diskon seribu rupiah waktu membeli air mineral dari warungnya. Lumayan. Hahaha.

Ketika sedang asik mengobrol, tiba-tiba Ibu Warung teriak, "Neng sini, Neng.." Dia memanggil perempuan yang terlihat masih anak kecil, serta memiliki ukuran badan yang juga mungil. Perempuan itu sedang menggendong bayi. Si Ibu Warung meraih bayi dari gendongan perempuan kecil tadi, kemudian memamerkan bayi yang sedang dipangkunya kepada kami, "Ini cucu saya."

Sekilas, ada rasa terkejut melintas di pikiran saya. Ibu ini tampak masih muda tapi sudah punya cucu. Tapi kemudian, saya sibuk mengajak bayi yang gemuk dan lucu itu berbicara. Selalu senang berhadapan dengan seorang bayi.

Belum sempat saya memikirkan seperti apa Ibu bayi yang lucu itu, Si Ibu Warung menunjuk perempuan kecil yang sedari tadi duduk di sebelahnya dan diam memperhatikan kami, "Ini anak saya, 19 tahun, sudah melahirkan 3 anak."

Sesaat, saya tak mampu bereaksi. Saya melirik teman saya, entah apa yang dia pikirkan, namun jelas dia tertawa. Lalu saya pun ikut tertawa. Tawa kami hambar. Jadi, perempuan kecil itu adalah anak Si Ibu Warung sekaligus Ibu Si Bayi. Dan dia sudah pernah melahirkan 3 anak, di usianya yang baru 19 tahun. Saya menatap tak percaya pada ketiganya.

Belum hilang rasa terkejut saya, Si Ibu Warung menyodorkan lagi fakta kepada kami, "Anak saya yang kedua, 14 tahun. Sudah ada yang datang melamar ke rumah."

Entah cara apa lagi yang harus saya gunakan untuk menutupi kekagetan yang saya rasakan.

Ibu Warung itu menyambung, "Tapi Kakak bayi ini, dua-duanya meninggal. Usianya cuma 9 hari dan 11 hari."

Saya tak tahan untuk bertanya, "Bu, dulu Teteh ini waktu menikah usianya berapa?"

"15."

Mungkin mimik kaget saya kali ini terbaca jelas. Ibu Warung buru-buru menambahkan, "Di kampung mah emang begini, Neng. Lulus SMP langsung pada nikah.”

"Melahirkannya di mana?"

"Di rumah, sama Paraji (dukun beranak)."

"Kakaknya Adek Bayi ini meninggal karena apa?"

"Ah, memang belum dipercaya aja mungkin, Neng, sama Gusti Alloh. Buktinya kalau memang udah dipercaya, ini Si Adek sehat-sehat aja."

Saya berhenti bertanya. Tak sanggup melanjutkan.

Si Ibu Warung menceritakan semuanya dengan raut bangga. Tidak ada raut sesal atau sedih, tidak ada raut yang saya kira akan terbaca di wajah Ibu itu, raut yang setidaknya mengungkapkan bahwa dia merasa ada sesuatu yang salah atau tidak seharusnya seperti ini.

Anak-anak gadis beliau, bukankah masih bisa melakukan dan mencapai banyak hal sebelum akhirnya dilamar orang dan menikah? Mengesampingkan faktor kehendak Gusti Alloh, bukankah cucu-cucunya tidak harus mati kalau saja anak gadisnya sudah ada di usia yang cukup untuk bereproduksi? Atau mungkin, beliau juga pernah berpikir seperti itu dan mengubur pikiran-pikirannya yang "macam-macam" dan memilih memperlihatkan mimik semua-baik-baik-saja kepada kami?

Mimik baik-baik-saja juga yang saya lihat pada perempuan kecil tadi, anak Si Ibu Warung.

Saya jadi sibuk dengan pikiran saya sendiri.

Saya bertanya-tanya, apakah perempuan kecil itu punya mimpi yang ingin dia capai sebelum dia menikah dan mempunyai anak? Apakah perempuan kecil itu pernah punya keinginan untuk memakai rok seragam abu-abu? Duduk di bangku kuliah? Memakai toga? Bekerja di gedung yang tinggi? Menerbitkan buku? Jadi penulis terkenal? Berkeliling dunia? Jadi pemain sinetron? Atau model iklan? Atau apakah perempuan kecil itu sedikitnya pernah terpikirkan untuk berjalan ke tempat wisata di dekat tempat tinggalnya itu, mengambil foto dirinya dengan baik di sana untuk dia bagikan di akun Instagram-nya? Apakah dia pernah memikirkan hal-hal itu?

Mendadak, saya merasa menjadi manusia paling rumit sedunia. Mau ini, mau itu. Banyak sekali.

Sementara perempuan kecil yang saya temui di Padalarang itu seolah dia tidak membutuhkan apa-apa lagi.

...

Apakah benar dia tidak butuh apa-apa? Atau dia hanya tidak tahu apa yang dia butuhkan, lalu pasrah pada apa yang ada di depan matanya?

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi