Skip to main content

Unrequited love - Bagian 2

“Kirana, gue balik duluan ya. Lo hati – hati. Tinggal lo sama Mbak Windy nih yang belum pulang. Perasaan gue gak enak.” Abby tersenyum iseng.

“Sialan lo.” Aku melempar asal sebuah pulpen ke arah Abby.

Hari ini pekerjaanku sangat padat. Aku melirik jam tanganku. Hampir jam 8 malam. Sebenarnya aku tinggal menunggu proses rendering selesai. Sambil menunggu, aku bermaksud untuk menyeduh cokelat di pantry. Tepat ketika aku berdiri, aku melihat Mbak Windy berjalan ke arahku. Ia terlihat ragu.

“Belum pulang, Mbak?” Aku tersenyum.

Mbak Windy membalas senyumku. Ia ternyata terus berjalan mendekati kubikelku. Ia lalu menarik sebuah kursi ke sebelahku dan duduk di atasnya. Mug berisi cokelat panas yang dibawa Mbak Windy, disodorkannya kepadaku. “Minum. Nanti masuk angin.”

Ini apa? Sogokan sebelum ia memulai omelan kepadaku?

“Eh, thanks, Mbak. Tumben..” Aku memaksakan sebuah cengiran. “Emh.. Ada perlu apa, Mbak?”

Mbak Windy tidak pernah sekali pun bersikap manis kepadaku. Mengapa tiba – tiba malam ini berubah? Apakah ini semacam gencatan senjata?

Ia menatapku lekat. Aku menyeruput cokelat seduhku gugup. Sebuah perasaan curiga mulai merayapi dinding ruangan ini. Kenyataan bahwa tinggal kami berdua yang berada dalam gedung kantor ini membuat bulu kudukku berdiri. Tiba – tiba saja aku merasa lebih baik kalau Mbak Windy kembali judes terhadapku. Aku merasa lebih baik ia mengomel saja sekarang dan membuatku kesal seperti biasa.

“Saya sering bikin kamu kesal ya?” Seakan baru saja membaca pikiranku, Mbak Windy bertanya.

“Ah, sayanya juga ngeselin kok, Mbak.” Aku tertawa garing. Kurasakan mug cokelat seduhku bergoyang, tanganku sedikit gemetar rupanya. Kukencangkan genggamanku pada mug ini. Kubasahi kerongkonganku yang terasa kering dengan isinya.

Lalu tak ada lagi suara selain detak jarum jam dinding yang terdengar lebih nyaring, dan matanya yang tak putus mengawasiku.

Menit – menit berlalu sampai aku tak sanggup menghitung lagi. Rasanya kami sudah berhari – hari diam di ruangan ini. Aku mulai serba salah. Kusentuh dahiku yang basah. Aku berkeringat dalam ruangan ber-AC. Diam – diam aku berdoa agar proses rendering segera selesai, lalu aku bisa cepat – cepat keluar dari ruangan ini.

“Mbak Windy, maaf, pekerjaan Mbak sudah selesai? Kok tidak cepat – cepat pulang?” Aku tahu ini tidak sopan. Tapi demi bumi dan matahari yang seakan berhenti berotasi, aku ingin dia pergi dari ruangan ini.

“Besok saya akan pergi dari kantor ini. Maafkan saya.” Mbak Windy akhirnya berkata.

“Loh, Mbak Windy mau ke mana?” Aku sungguhan kaget.

Mbak Windy tidak langsung menjawab. Ia seperti sedang berpikir. Lalu tiba – tiba ia menangis. Sumpah. Hampir tidak percaya rasanya seorang seperti Mbak Windy bisa menangis. Setahuku, dia adalah perempuan yang tangguh. Tapi ia benar – benar menangis sekarang di depanku. Dan aku semakin bingung dengan tingkahnya malam ini. Aku bingung harus bersikap bagaimana.

“Setengah mati saya berusaha pake logika untuk ngatur perasaan saya. Tapi saya gak bisa, Kirana..” Mbak Windy berbicara sambil terisak. Tangannya sibuk menghalau air matanya yang terus jatuh.

“Mbak Windy, maaf, ada apa sih sebenernya?” Aku menyodorkan tissue.

Ia kembali melekatkan matanya ke mataku. Tubuhnya mendekat ke arahku. Aku merasakan jantungku yang berdetak dua kali lebih cepat.

“Kamu pasti gak percaya ini.. Saya..”

Mbak Windy berhenti. Seperti kehabisan napas, ia menghirup tambahan oksigen dari ruangan ini hingga dadanya terlihat naik. Aku berusaha mengencangkan genggamanku pada mug cokelat seduhku yang semakin terguncang.

“Saya cinta kamu, Kirana.”

Detik ini, kepalaku seolah terjungkir. Isinya yang berantakan mendadak semakin kacau. Aku tak mampu berpikir. Suaraku hilang dicuri oleh malam. Napasku dihisap oleh waktu. Aku dibiarkan seperti ukiran patung yang bisu oleh malam dan waktu. Mug cokelat seduhku sudah meluncur mulus dari genggamanku. Isinya mengotori lantai kantor ini.

“Saya gak bisa bantu diri saya sendiri untuk menghilangkan perasaan ini. Selama satu tahun kamu di sini, selama itu juga saya sudah jatuh cinta sekaligus berusaha membenci kamu. Karena saya yakin kamu gak akan pernah bisa..” Mbak Windy kembali mengisi dadanya dengan oksigen.

“Saya harus menghilang dari kamu. Kamu.. Kamu baik – baik ya, Kirana.”

Aku masih belum bersuara. Tubuhku seolah lumpuh. Mbak Windy mendekatkan wajahnya kepadaku. Dengan gerakan cepat ia menempelkan bibirnya di atas bibirku. Suaraku semakin tenggelam. Terbungkam bersama malam. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat dan gerakan bibirnya yang lembut.

Sekuat tenaga aku membangunkan kesadaranku. Aku menarik mundur wajahku cepat, “Sorry..”

Aku melihat air matanya kembali jatuh.

“Saya pergi. Maaf..” Ia berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah pintu keluar.

Badannya membalik sejenak, “Oh, ya. I’ll stop sending you flowers. I promise.”

____

Malam itu masih menjadi rahasiaku. Aku masih belum bisa bercerita pada siapapun tentang apa yang terjadi saat itu. Teman – teman kantor menganggap kepergian Mbak Windy sebagai proses biasa saja. Setiap orang bebas menentukan pekerjaan yang ingin dijalaninya, kan? Sama sekali tak ada yang menyangkutpautkan kepergian Mbak Windy dengan perasaannya kepadaku.

“TIDIIIIIITTTT!!!!”

Aku terlonjak kaget hampir memaki pengendara yang sudah mengagetkanku dengan suara klaksonnya. Kemudian kulihat wajah yang kukenal terkekeh di balik jendela mobil itu. “Kirana! Jalan kok sambil ngelamun.”

Tanpa sadar, cengirannya menular kepadaku. Seekor kupu – kupu membawa terbang isi perutku. Dan angin, menciptakan debaran halus di balik kaosku.

“Banyu! Kebiasaan deh. Gak sopan!” Aku tergelak. Aroma musim semi tiba – tiba tercium oleh hidungku.

“Kayaknya bukan saya deh. Tapi kamu yang kagetan.” Banyu ikut tertawa. “Naik yuk! Ke kantor kan?”

Setelah pura – pura berpikir, aku setuju untuk menumpang mobilnya. Tepat ketika aku menutup kembali pintu mobil, mataku menangkap seikat mawar kuning yang dibungkus kertas hijau dan diikat pita dengan warna yang sama.

“Buat Mbak Windy lagi, Nyu?”

“Apa? Oh. Iya.” Banyu tersenyum lebar. Nama yang kusebut barusan seolah dapat otomatis merubah wajahnya semakin cerah kapan saja.

“Kamu emang belum tahu kalo Mbak Windy udah gak sekantor lagi sama saya? Dia udah resign kali, Banyu.”

“Serius? Kapan?”

“Udah seminggu..”

“Wah, Kakak saya belum cerita.”

Sesuatu mendorongku untuk ingin tahu lebih jauh hubungan Banyu dengan Mbak Windy. “Kamu kenal Mbak Windy di mana?”

“Di rumah. Dia suka bawa main keponakannya, Gera, ke rumah saya. Windy itu temen Kakak saya. She’s a sweet aunt. And, she is gorgeous..”

“Ya, she is..”

Aku merasakan tubuhku yang ingin melorot ke kolong dashboard mobil Banyu.

“Terus saya gak nyangka ketemu kamu yang sekantor sama Windy.. What a small world..”

“Iya. Btw, pernah sekantor, Nyu.. Sekarang kan udah nggak..”

“Yah, sayang ya.. Kamu gak bisa jadi Mak Comblang saya dong?” Banyu tergelak.

Aku tak berminat tertawa pada gurauannya barusan.

Ingatanku ketika Mbak Windy dengan enteng membuang bunga dari Banyu tiba – tiba melintas di kepalaku. Tak sabar, aku bertanya lagi pada Banyu, “Kamu suka sama Mbak Windy ya? Kakak kamu tahu?”

“Belom. Kakak saya belum tahu. Nanti saya pasti cerita kalo saya udah berhasil dapetin Windy.” Mata Banyu membundar. Sinarnya terlihat lebih berkilau saat berbicara tentang rencananya tadi.

Namun aneh, justru langit pagi yang biru di atas sana tiba – tiba terlihat muram di mataku.

“Banyu, saya mau ngomong. Sori sebelumnya, tapi saya rasa kamu harus tahu. Saya.. Saya sangat sangat berharap kamu berhasil. Tapi..”

“Ya?”

“Soalnya..”

“....”

“Anu..”

“Kamu kenapa sih, Na?”

Aku pun tak tahu aku ini kenapa, Banyu.

“Saya gak mau aja kamu patah hati nanti.. Eh tapi terserah kamu sih.. Saya gak berhak ngatur. Engg.. Saya.. Saya juga gak tahu.. Mbak Windy.. Saya gak ngerti..”

Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Tiba – tiba saja seluruh kosa kataku menguap. Aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan hal ini pada Banyu. Ingatan malam itu ketika napas Mbak Windy terasa begitu dekat denganku datang menggangguku.

“She doesn’t want a man, Banyu.”

____

Di atas pasir putih Menjangan yang berkilau tertimpa cahaya bulan, aku duduk memeluk tubuhku sendiri. Kulitku terasa dingin. Hatiku lebih lagi. Angin pantai ini meniupi halus perasaan – perasaan yang muncul dari dalamnya. Aku baru saja menceritakan semuanya pada Abby.

“Unrequited love.. I know how much it hurts. It is really..One of the most painful experiences a human being can go through..” Abby menengadahkan kepalanya ke langit, seolah ia barusan berbicara pada Artemis. “Tapi, Na.. Kita tahu bahwa hidup ini gak akan berhenti memberi pengalaman dari satu patah hati ke patah hati yang lain.”

Aku diam merasakan riak air laut yang begitu sunyi. Aku membuka mulutku, berbisik pilu pada Abby, “Tanpa sanggup gue atur, gue pernah menjadi seseorang yang mematahkan hati orang lain. Gue benci itu, By..”

Terdengar suara langkah - langkah kaki menjejak pasir. Banyu sedang berjalan ke arah aku dan Abby. Kami pernah bertemu saat makan siang, Banyu menguping rencanaku bersama Abby untuk berlibur. Lalu ia memaksa untuk ikut.

“Dan tanpa kita rencanakan, seorang lain lagi yang sedang patah hati, sedang berlibur bersama kita.” Abby ikut berbisik padaku.

Banyu sudah bergabung bersamaku dan Abby sekarang. Ia menyodorkan dua buah bungkusan kebab untuk aku dan Abby, satu bungkusan lagi untuk dirinya sendiri.

Ketika aku baru akan membuka bungkusan kebabku, Banyu sudah menghabiskan miliknya setengahnya. Aku tak sadar, sedari tadi aku larut memperhatikan Banyu. Wajah kami begitu berdekatan.

“Ngapain sih, Na, ngeliatin terus? Saya ganteng ya?”

Barusan, aku bertaruh bersama karang – karang tua yang berani, untuk melihat dalam ke balik mata coklatmu, Banyu. Mencari – cari binar yang pernah kulihat di sana dulu.

Lekat sudah kutelisik matanya. Namun malam ini tidak kutemukan. Entah kapan akan pernah kutemukan.

Aku berpesan pada bintang yang temaram. Tak pernah kupersiapkan ini, ketika rasa patah hati berbagi jatah untuk kucecap.

“Ada saos di pipi kamu tuh, Nyu.”

___

Tamat.

Cerpen Unrequited Love ini adalah cerpen pembuka pada buku kumpulan cerita dengan judul sama. Bagi teman-teman yang ingin mengoleksi, buku ini bisa dipesan di sini.



Comments

Salman Faris said…
I will wait for the book ah hahaha
tunggu depan pintu kamar, yak. jangan lupa mandi dulu. ;p

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi