Skip to main content

Ikhtaara

Sepasang kaki legam tanpa alas menjejak petak-petak ubin stasiun yang dingin dan kusam. Ia berjalan tanpa tergesa mencari sembarang tempat duduk demi melepas pegal yang ia rasakan di sepanjang otot kakinya. Ia tahu stasiun itu tak pernah sepi. Seluruh tempat duduk telah terisi penuh. Maka laki-laki itu membelokkan langkahnya menuju sebuah tiang di salah satu peron, agak jauh dari barisan tempat duduk. Lalu tubuhnya mulai menggelosor ke bawah tiang. Ia duduk dengan pasrah. Merasakan otot-ototnya yang protes selepas dipaksa bekerja seharian.

Tangan kanannya begerak menelusuri bagian betis kakinya. Perlahan ia mulai menekankan tangannya pada bagian-bagian yang terasa pegal. Ia lakukan gerakan itu berulang dan bergantian pada betis kanan dan kiri kakinya sampai rasa nyerinya hilang. Sementara itu, tangan kirinya tak pernah sedetik pun meregang dari eratnya pegangan pada sampul mati yang ia buat di atas sebuah karung lusuh.

Kara mengamati potongan-potongan adegan itu dari tempat duduknya. Ia meringis setelah membayangkan tangannya merasakan tekstur kulit kaki laki-laki itu. Pasti sangat kasar, pikirnya. Mengapa ia tak mau mengenakan alas kaki?

Suara dari ruang informasi menyudahi pengamatannya. Kara mengangkat tubuhnya dari tempat duduknya lalu berjalan ke arah peron dimana kereta yang akan ia tumpangi segera datang. Kara memalingkan kembali kepalanya sekilas ke arah laki-laki di bawah tiang yang ia amati tadi. Seperti dirinya, ia pun kini sedang bersiap menyongsong kereta. Kaki-kakinya telah kembali berdiri tegak menopang tubuhnya yang bungkuk.

Kereta tiba. Orang-orang dari dalam gerbong berebut turun. Sementara orang-orang yang masih berada di bawah kereta tak sabar menaikinya. Sikut dan bahu mereka bertabrakan. Dalam sekejap, laki-laki tua itu hilang dari pandangan Kara.

Kara menemukannya lagi ketika ia sudah berada di atas kereta, sedang mencari tempat duduk yang kosong. Laki-laki tua itu sudah mendapatkan tempat duduknya lebih dulu. Melihat Kara, duduknya tampak tidak lagi tenang. Tiba-tiba ia mengangkat tubuhnya dan mempersilakan Kara menempati tempat duduknya, “Duduk?”

Kara mengangguk sopan dan tersenyum. Kara bermaksud menolak tapi laki-laki itu keburu berkata, “Perempuan harus diutamakan duduk. Laki-laki biar saja berdiri.” Maka demi menghargai kebaikan laki-laki itu, Kara menurut. Kara duduk dengan nyaman sementara laki-laki tua itu berdiri di hadapannya.

Sekarang, dengan jarak yang sedekat itu, Kara mendapat pengamatan lebih jelas terhadap laki-laki tua itu. Selain logatnya yang ternyata medok, Kara dapat memperkirakan kalau karung lusuh yang ia terus genggam itu ternyata kosong. Lalu perhatian Kara beralih pada saku bajunya.

Saku baju itu dijahit tangan secara asal. Benang jahitan dengan warna yang kontras dengan warna kain baju itu terlihat jelas. Jalur jahitannya tampak amburadul tetapi cukup kuat untuk memuat koin-koin logam yang jumlahnya tampak banyak. Pikiran Kara sibuk menebak-nebak. Apa yang laki-laki tua itu lakukan setiap hari hingga dapat mengumpulkan recehan sebanyak itu?

“Kuliah atau kerja?”

Kara tersentak. Laki-laki tua itu bertanya padanya.

“Kerja.” Kara sedang tak ingin berbicara pada orang asing.

“Kerja apa?” Laki-laki tua itu masih mencoba.

“Menulis.”

“Menulis?”

Ya. Menulis. Apakah menulis tidak terdengar seperti sebuah pekerjaan? Batin Kara.

“Menulis untuk surat kabar.”

“Ah, wartawan.” Laki-laki tua itu kemudian diam. Seolah memikirkan kalimat lain untuk menyambung percakapannya dengan Kara.

Saat Kara berharap laki-laki itu tak tertarik untuk berbicara lagi padanya, ia justru sukses menciptakan gemap di wajah Kara dengan kalimat lanjutannya, “Mencari informasi, mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikannya kembali pada orang banyak?”

Kara tersenyum, “Ya.”

“Aku lulus tahun 1954. Tapi aku masih ingat pelajaran sekolahku dulu.” Kara menatap laki-laki tua itu dan mengangguk sopan. Sungguh, tapi aku tak peduli. Kara menahan ucapannya dalam hati.

Setelah sepuluh menit berjalan, kereta api itu berhenti di stasiun selanjutnya untuk menurunkan dan mengangkut penumpang baru. Selama beberapa saat, laki-laki tua itu merapat mundur ke dinding kereta untuk memberikan jalan pada penumpang yang turun-naik berjejalan. Kara berharap ia tetap di sana, tak usah kembali ke hadapannya dan menyambung obrolan lain.

Tak lama, kereta itu kembali berjalan. Kini sudah ada beberapa orang di hadapan Kara, menghalangi pandangannya terhadap laki-laki tua yang tertahan merapat di dinding kereta. Diam-diam Kara menurunkan kepalanya, memejam dan mengembuskan napasnya perlahan.

Kara tak mengerti, dari mana pangkal iba bercampur kebencian yang ia rasakan pada laki-laki tua asing itu.

--

Stasiun Bandung, Mei 2016. Cerpen ini juga dimuat di www.storial.co.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi