Skip to main content

Signifikansi profesi

Saya lagi kepengin cerita lagi, nih. Lagi-lagi, ini diawali dari chat iseng sama seorang teman.

Saat itu, saya lagi asik baca-baca berita hiburan. Sampailah di artikel yang ngasih tahu saya kalau usia Angga Sasongko adalah 30 tahun. Tahu, kan, Angga Sasongko? Kalau enggak, ya masa sih.

Habis baca artikel itu, saya langsung mikir. Angga 30 tahun sudah bikin puluhan judul film. Lah, saya 30 tahun sudah bikin apa, ya?

Teman saya iseng menjawab, "Lo udah bikin heboh orang-orang karena ninggalin laptop di atas kereta."

Ya ampun, iya juga ya. Teman saya itu memang paling jago untuk urusan satire. Hahaha.

-

Akan tetapi, yang saya mau curhatin di sini bukan bagian 'saya udah bikin apa', melainkan bagian 'saya ketinggalan laptop di kereta'.

-

Singkat cerita, waktu itu saya turun di stasiun tujuan dan lupa kalau saya ninggalin laptop di atas kompartemen. Baru ingat setelah sampai di kantor. Saya beneran panik dan takut laptop enggak bisa balik lagi. Soalnya laptop kesayangan. Ya iya lah, karena memang cuma satu-satunya.

Akhirnya saya balik lagi ke stasiun tempat saya turun tadi dan langsung melapor ke petugas di bagian penanggung jawab perjalanan kereta. Lalu saya ceritakan kronologinya.

Petugas itu langsung melakukan koordinasi dengan rekan-rekannya di stasiun lain. Enggak lama, saya dapat kabar kalau laptop saya ketemu dan sudah diamankan di stasiun berikutnya yang akan dilalui oleh kereta yang saya tumpangi tadi.

Kemudian, saya putuskan untuk menjemput laptop saya saat itu juga. Di stasiun tempat barang saya itu diamankan, saya diterima dengan baik oleh seorang petugas. Setelah melakukan serah terima, saya sungguh-sungguh berterima kasih pada petugas itu, sebagai wakil dari segenap rekannya yang sudah berkoordinasi untuk menemukan dan mengamankan laptop saya.

-

Beberapa hari sebelum kejadian ini, saya baru menonton sebuah film Indonesia. Ada adegan dalam film itu yang membahas mengenai signifikansi profesi. Tokoh utamanya, seorang wartawan, sedang berada di tahap merasa bahwa profesinya tidak punya signifikansi langsung seperti profesi lainnya; misalnya dokter, dosen, guru atau pengacara.

Lawan mainnya, berprofesi sebagai model, punya versi sendiri mengenai signifikansi profesi. Menurut dia, selama kebutuhan keluarganya terpenuhi, dia sudah merasa cukup.

Adegan tersebut memang menempel di kepala saya cukup lama.

Lalu, mengingat lagi kejadian ketinggalan laptop di atas kereta, apa jadinya kalau ada salah seorang petugas saja yang abai dan tidak peduli pada kejadian yang saya alami? Pastinya, barang saya enggak secepat itu kembali. atau malah, enggak kembali sama sekali.

Sampai sekarang, bahkan saya masih bisa mengingat senyum-senyum tulus para petugas kereta api yang membantu saya waktu itu.

Rasanya, memang tak ada perasaan yang lebih baik lagi saat kita tahu bahwa kita mampu membantu seseorang melalui pekerjaan kita.

Saya pun berpikir bahwa signifikansi yang langsung terasa dampaknya, tak melulu harus dari profesi semacam dokter, dosen, guru, atau pengacara.

-

Akan tetapi, saya teringat satu kalimat dari orang yang baru saya temui. Berkebalikan dengan konsep yang selama ini sudah sering saya dengar, dia bilang, Tuhan itu merencanakan, sementara manusia yang menentukan.

Kalau kita bilang, dokter itu adalah salah satu contoh profesi yang signifikansinya langsung terasa. Memang betul. Tapi, pada akhirnya, kita sendiri yang menentukan apakah kita mau menerima dengan lapang pertolongan dokter itu atau tidak? Jika kita tidak mau sembuh, sudah pasti kita sulit merasakan dampak apa-apa. Dokter pun tak bisa meneruskan pertolongannya.

Setiap profesi memiliki signifikansi, langsung atau tidak. Namun, pada waktu-waktu khusus, pertolongan seseorang melalui profesinya sesungguhnya tergantung pada kelapangan orang lain yang akan menerimanya. Dialah yang menentukan, mau tertolong atau tidak, mau terpengaruh atau tidak.

Jika saat mengalami kejadian ketinggalan laptop di atas kereta, saya memutuskan untuk pasrah dan tidak melapor untuk meminta pertolongan, para petugas kereta pun tak bisa membantu banyak untuk mengembalikan barang yang tertinggal ke pemiliknya, bukan?

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi