Skip to main content

Balada angkoters dan public transport customers

Kamis kemarin, saya mengecek timeline twitter sekilas. Rupanya di sana sedang ramai tweet tentang pedihnya naik angkot. Saya tahu bahwa tweet-tweet itu dipicu oleh berita demo para sopir transportasi konvensional atas hadirnya transportasi online di mana-mana.

Saat menutup aplikasi twitter, seorang kawan mengirim whatsapp, "Gimana aspirasi lo sebagai angkoters dan public transport customers?"

...

Sebenarnya sudah sejak beberapa pekan ke belakang saya menyimak demo para sopir transportasi konvensional itu. Sejujurnya, saya menyesalkan karena ternyata demo menyisakan banyak pihak dirugikan. Dari mulai penumpang yang tiba-tiba kehilangan sarana transportasinya yang biasa hingga bentrokan antara kedua pihak. Bahkan sampai ada pihak yang terkena imbas bentrok salah sasaran.

Meski begitu, sementara pemerintah terus bekerja keras menyusun regulasi yang sempurna terkait permasalahan transportasi ini, kita pun seharusnya sama, tidak melupakan akar permasalahan demo itu sendiri dan tidak bersikap menyudutkan pihak mana pun.

Sejujurnya, sebagai pengguna transportasi publik, baik konvensional maupun online, tidak penting untuk membandingkan mana di antara kedua alternatif transportasi ini yang lebih baik. Karena tak ada yang lebih baik. Yang ada adalah mana yang paling sesuai dengan kondisi dan kebutuhan saya saat itu.

Saya hampir melupakan pertanyaan kawan saya soal transportasi publik tadi, sampai kemudian saya menyaksikan potongan adegan di atas kereta dalam perjalanan pulang Sabtu malam kemarin. Hanya dalam waktu kurang dari tiga puluh menit sejak pantat saya menempel di kursi kereta, saya menangkap lima sosok istimewa dari tempat saya duduk.

Pertama, seorang ibu berkerudung cokelat duduk di hadapan saya. Disusul oleh seorang waria yang duduk di sebelahnya. Si ibu, yang ternyata memiliki kenalan seorang waria pemilik salon, mengajak teman duduknya berbincang. Waria di sebelahnya menyambut ramah, akhirnya bercerita tentang betapa bangganya dia, bersama teman-temannya, baru saja mengalahkan kelompok lawan mereka dalam sebuah pertandingan voli. “Kalau udah main voli, kami keluar cowonya, Bu.” selorohnya.

Di stasiun berikutnya, ibu berkerudung cokelat dan waria itu turun. Kemudian kursi mereka diisi oleh pasangan istimewa lainnya. Seorang ibu berambut ikal dan membawa karung putih lusuh bersama anaknya yang mengidap autis. Saya tidak tahu dari mana dan apa yang dilakukan mereka, saya hanya memperhatikan kehangatan di antara mereka berdua. Si ibu rupanya senang menggoda gadis kecilnya. Kemudian kata si ibu dengan lembut, “Masih jauh stasiunnya. Ya udah bobo dulu ya, cantik.”

Dan penumpang istimewa yang terakhir naik adalah sosok nenek yang kakinya membentuk huruf O, mungkin mengidap kelainan genu varum. Beliau berjalan dengan bantuan tongkat, beraktivitas sendirian, turun naik kereta tanpa pertolongan orang lain. Saya tidak tahu apa yang dikerjakannya, namun saya hampir bisa merasakan wajah saya tertampar atas senyum dan semangat si nenek yang nyaris sempurna di tengah kondisi kakinya yang tak sempurna.

Hal-hal semacam itulah yang mengingatkan saya mengapa saya menyukai transportasi publik. Buat saya, transportasi publik itu seperti laboratorum ilmu sosial yang cuma-cuma. Banyak ujian praktik yang bisa kita lalui di sana. Dan kita bisa memilih untuk belajar atau tidak. Setelah memilih untuk belajar, keputusan untuk lulus atau tidak pun terserah kamu saja. Wong laboratorium gratis.

Saat menumpang angkot, saya sering merasakan senewen ketika angkot yang saya tumpangi ngetem sementara saya sedang diburu-buru oleh waktu. Akhirnya saya sering secara tidak sopan meminta sopir angkot untuk cepat-cepat jalan tanpa peduli soal uang setoran si sopir yang semakin tinggi dan tetap harus ia penuhi.

Setelah berpikir secara adil, saya coba tanya diri sendiri, seberapa lama sih biasanya angkot ngetem? Sebagai penumpang angkot, seharusnya saya punya estimasi berapa banyak waktu yang harus saya siapkan agar tidak telat sampai di tujuan. Kalau saya sendiri yang kesiangan bangun pagi, apa harus sopir angkot juga yang disalahkan?

Setelah menerapkan ilmu ‘estimasi waktu’, entah kenapa saat saya menumpang angkot yang sedang ngetem, saya malah justru sering menjumpai sopir angkot yang dengan santunnya bilang: "Neng, pake mobil yang belakang aja. Khawatir lama, nanti telat kerja." Padahal, saya sedang tidak terburu-buru.

Saya juga sering kesal saat kena giliran diminta turun sebelum saya sampai di tujuan. Kebanyakan sopir angkot mengungkapkan alasan macet dan akan istirahat pulang ke rumah ketika mereka meminta turun penumpangnya. Tapi, di antara sekian banyak kejadian diminta turun di tengah jalan, ada satu yang sampai sekarang saya tidak bisa lupa.

Saat itu akan memasuki waktu magrib, tiba-tiba sopir angkot yang saya tumpangi mengaturkan saya untuk pindah ke angkot temannya. Dia bilang, “Maaf sekali, ya, Neng. Saya mau ngejar magrib di mesjid. Saya enggak pernah melewatkan magrib tanpa berjemaah di mesjid soalnya.”

Saya sebenarnya ingin kesal tapi kok ndak bisa. Saya pikir, ya, sudahlah. Toh saya tidak dimintai ongkos. Dicarikan angkot pengganti pula. Bonusnya, saya merasa tersentil saat saya masih suka keasikan kerja sampai melewatkan waktu solat.

Selain itu, saya sering menyaksikan penumpang yang kurang bertanggung jawab; memberi ongkos yang tidak sesuai tarif. Saya jadi semakin merasa bersalah ketika mengingat satu kejadian bodoh yang pernah saya lakukan pada sopir angkot.

Waktu itu masih pagi sekali, saya menumpang angkot tanpa menyiapkan uang receh untuk ongkos. Saat turun dari angkot, saya sodorkan uang seratus ribuan. Alhasil, sopir angkot geleng-geleng kepala sambil senyum, mengikhlaskan ongkos saya karena memang dia belum punya kembalian. Duh, maaf, ya, Pak.

Soal pengamen atau peminta-minta yang masih sering dijumpai di beberapa lampu merah, saya juga heran mengapa mereka masih ada. Padahal, pemkot sudah mengimbau penumpang untuk tidak memberi uang pada mereka. Saya sih seringnya mengikuti imbauan pemerintah, biar mereka tidak bergantung terus pada kegiatan meminta-minta.

Saya berharap sekali, semakin banyak penumpang yang merasa nyaman dan tidak lagi mengalami kejadian yang tidak menyenangkan di atas angkot. Saya sendiri sangat bersyukur, sejauh ini, pengalaman paling pahit saya naik angkot hanya waktu SMP. Waktu itu tempat pensil saya kecopetan. Pencopetnya kira, tempat pensil saya isi duit, padahal isinya jangka. Tapi buat anak SMP yang menyukai matematika, benda itu sangat berharga sekali lho. Hahaha.

Selain kereta dan angkot, bis Damri juga merupakan transportasi publik yang nyaman buat saya. Di Bandung, naik bis Damri itu berasa seperti turis di kota sendiri. Kadang tanpa mempunyai tujuan, hanya untuk melepas penat saja, saya sering menumpang bis Damri dari satu terminal ke terminal lain. Bisnya enak, ongkosnya murah pula.

Akan tetapi, tentu saja saya tak bisa setiap saat mengandalkan transportasi publik konvensional. Seperti yang saya bilang di awal, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, ada saat-saat saya hanya bisa mengandalkan transportasi publik online. Seperti ketika saya harus berangkat dari rumah dini hari, dan sebagainya.

Mungkin nanti saya akan mengendarai kendaraan sendiri dan tak lagi bergantung pada transportasi publik. Tapi sebelum itu menjadi keputusan saya, saya akan mengingat dan menikmati berbagai alat transportasi publik yang ada saat ini, konvensional maupun online, sebagai kendaraan-kendaraan terbaik yang bisa saya andalkan untuk mendukung aktivitas saya.

Maka, menjawab pertanyaan kawan saya di atas tentang aspirasi sebagai konsumen transportasi publik, biarkan alternatif transportasi publik tetap beragam, agar konsumen semakin mudah untuk memilih alat transportasi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. Tetapi, tentu saja, dengan regulasi yang mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi