Skip to main content

Benarkah di era digital ini, sekadar nge-band saja tidak cukup?

Beberapa waktu lalu, penjelajahan iseng saya di dunia maya secara random berhenti di sebuah vlog series berjudul #tujuhharian. Ternyata vlog tersebut adalah milik band Dekat. Mereka telah rutin membuat vlog tersebut sejak kurang lebih bulan Agustus 2016 lalu.

Saya tahu bukan hanya band Dekat yang saat ini mulai membuat vlog. Banyak band lain yang sudah jauh lebih dulu memulainya. Untuk apa? Seperti apa diakui oleh Kamga (personel Dekat) sendiri di Instagram-nya, bahwa konon di era serba visual seperti sekarang ini, sekadar nge-band itu nggak cukup.

Pernyataan Kamga itu menggelitik kepala saya cukup lama. Bertahan hingga saya akhirnya menulis postingan ini. Sebagai pengguna internet sekaligus penyimak musik, pernyataan itu pun seperti me-recall ingatan saya.

Ini hanya beberapa contoh saja dari sekian pengalaman pribadi saya. Setelah saya menonton video klip sebuah band di Youtube, biasanya saya jadi penasaran dengan penampilan live band tersebut. Saat akan pergi menonton sebuah band baru dan kebetulan belum hapal lirik, saya juga akan cari video lirik band tersebut di Youtube. Saat seseorang nge-share listening single baru dari sebuah band di Path, saya akan langsung mencoba mencari dan mendengarkan single tersebut melalui layanan musik streaming yang ada di handphone saya.

Sudah bukan bahasan baru di banyak media kalau era musik konvensional kini tengah mengalami transisi menuju digital. Teknologi informasi kian berkembang, musisi lama maupun baru pun terkena imbas untuk semakin bergerak secara kreatif memanfaatkan tren digital yang telah mempengaruhi pula cara orang mengonsumsi musik. Keuntungan bagi konsumen musik era digital, band-band baru yang bermunculan sekarang ini aware dalam mengoptimalkan digital platform atau media sosial untuk mendistribusikan karya mereka sehingga pendengar mereka lebih mudah menemukan karya musisi favoritnya.

Era digital pun seolah telah menghapus jarak nasional dan internasional. Karya dari para musisi dapat menangkap pendengar sejauh internet mampu menjangkau mereka. Seperti yang sudah banyak kita dengar, beberapa musisi Indonesia berkesempatan berkarya di luar negeri. Contohnya Endah N Rhesa yang tampil di Paris serta merilis album di Jepang dan Korea. Atau Stars and Rabbit yang baru saja menuntaskan Baby Eyes UK Tour 2016. Dan masih banyak lagi.

Mengapa penting di era digital ini untuk musisi melakukan hal-hal yang lebih dari sekadar nge-band? Pembajakan CD secara masif, praktik download karya secara ilegal, dan ditutupnya beberapa toko musik offline, menurut saya adalah jawaban yang cukup. Mungkin bagi beberapa musisi, pendapatan dari penjualan album fisik masih lebih baik dibandingkan penjualan single dan album digital serta layanan streaming. Ditambah lagi pendapatan dari undangan manggung live dan penjualan merchandise. Tetapi mengapa tidak, jika digital pun mampu memberikan pendapatan untuk para musisi secara signifikan?

Lalu apa saja yang dapat dilakukan musisi untuk mendistribusikan sekaligus mempromosikan karyanya di era digital?

1. Musisi harus memiliki akun Youtube, Facebook, Twitter, Instagram, dll. Ini bisa dimanfaatkan untuk engage dengan fans atau user lainnya. Media sosial juga dapat digunakan untuk berbagi informasi mengenai jadwal manggung, dan lain-lain.
2. Untuk membangun social presence di dunia digital, musisi harus memiliki kemampuan visual yang baik. Konten yang bagus akan sangat menguntungkan. Contohnya video klip yang digarap dengan serius, foto-foto konser yang apik, vlog yang tayang secara konsisten, dll.
3. Bagaimanapun, tren sosial media cenderung berubah-ubah. Karena itu, musisi sebaiknya memiliki website pribadi yang dapat menjadi sumber informasi utama mereka.
4. Wajib merilis album digital, selain memproduksi album fisik. Seperti yang sudah saya bahas sedikit di atas, merilis album digital dengan harga yang tidak terlalu mahal, diharapkan bisa mengurangi praktik donwload karya secara ilegal di internet.

Ada lagi yang lain? Kalau kalian punya ide tentang apa saja yang dapat dilakukan musisi untuk mendistribusikan sekaligus mempromosikan karyanya di era digital ini, silakan tulis di kolom komentar ya.

Terima kasih sudah berkunjung!


Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi