Beberapa hari ke belakang, ada hal yang cukup menyentuh saya dan ingin saya ceritakan namun saya simpan sampai tangan saya tergerak sendiri untuk menuliskannya.
Sekitar satu tahun yang lalu, seseorang menghadiahi saya buku Ika Natassa yang berjudul Critical Eleven. Saya sungguh menyukai jalan cerita dari novel tersebut dan bagaimana penulis menceritakannya. Novel itu berkisah tentang sepasang suami istri yang kehilangan anak pertama mereka. Dada saya dibuat sesak karena menangis pada beberapa bagian novel.
Saat itu, saya sama sekali tidak membayangkan bahwa cerita tentang kehilangan anak kesayangan harus dialami oleh kawan baik saya sendiri, setahun setelah saya membaca novel tersebut.
Saya tidak pernah mengalami kehilangan sepilu itu. Saya pun tidak mungkin merasakan secuil saja rasa yang kawan saya itu rasakan. Maka saya hanya bisa menyampaikan belasungkawa dengan kata-kata sekadarnya.
Sudah sejak lama saya tahu kalau perasaan saya itu sangat sensitif. Membaca berita seorang paskibraka yang batal mengibarkan sang saka saja saya sesenggukan minta ampun. Saat beberapa kawan dalam lingkar pertemanan yang sama mengunggah ungkapan dukanya atas kehilangan yang dialami kawan saya tadi ke sosial media, yang saya lakukan hanya membacanya sekilas lalu tak henti menitikkan air mata. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk meletakkan kembali handphone saya dan tidak membuka sosial media untuk beberapa waktu.
Namun sialnya, Tuhan saya itu adalah Tuhan yang maha iseng pada hambanya yang cengeng ini. Kawan saya itu justru menghubungi saya untuk dibuatkan buku tipis berisi cerita almarhum anaknya sejak ia dikandung hingga pergi meninggalkan orang tuanya untuk selama-lamanya.
Reaksi saya saat itu, "Ya Tuhan, apakah saya bisa melakukannya?" Saya ingat saya cengeng. tapi saya ingin memenuhi keinginan kawan saya itu. Akhirnya, saya pun mengiyakan.
Saya mengabaikan perasaan cengeng saya terlebih dahulu kemudian mulai mengajukan beberapa pertanyaan wawancara kepada kawan saya. Setelah bahan terkumpul (dan hati saya cukup tertata), saya mulai menyusun jawaban yang diberikan kawan saya.
Selama satu malam saya menyusun buku tersebut. Ternyata benar yang saya sangka sebelumnya. ini bukan pekerjaan mudah. Saya terus mengucurkan air mata sepanjang mengetik. Beberapa kali saya harus berhenti karena penglihatan saya kabur oleh air mata.
Pilu. Sangat pilu rasanya membayangkan jika saya berada di posisi kawan saya itu.
Saya membaca beberapa hadits yang menjanjikan surga. Namun akan semunafik itukah saya sebagai manusia biasa untuk tidak mencoba memprotes keputusan Tuhan jika saya sendiri diberi ujian seperti kawan saya?
Saya belum memiliki anak, tapi saya punya satu keponakan balita. Sayang saya padanya terasa saat saya nelangsa melihat dia sakit dan saat saya kehilangan lelah setelah melihat senyumnya. Demi apa pun, saya tak mau hal-hal buruk terjadi padanya.
Setelah menyelesaikan pekerjaan yang diminta kawan saya, saya ciumi dan peluk keponakan saya itu lekat-lekat. Entah karena apa, malam itu saya hanya ingin melakukannya.
Kepada kawan saya yang sangat saya banggakan, terima kasih telah membagi ceritamu. Kamu ibu yang kuat dan hebat.
Saya semakin yakin kalau Tuhan saya memang Tuhan yang maha iseng. Dia bahkan menggerakkan jari saya untuk menuliskan ini di malam Idul Qurban. Dengan gema takbir dari speaker masjid dan ingatan akan cerita tentang Nabi Ibrahim, bagaimana mungkin si cengeng ini tak menangis (lagi) malam ini.
Ah, tidak. Tentu saja tidak. Tuhan saya tidak seiseng itu merancang apa pun.
Saya percaya.
Comments