Foto : Dok, Pribadi |
Nay Sharaya lahir 26 April 1989 di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Waktu kecil ia pernah kecanduan main paper doll dan malas mengerjakan hal lain. Sampai-sampai orang tuanya kesal dan menyembunyikan mainan itu entah di mana. Tapi sebagai gantinya, orang tua Nay membawa buku-buku ke rumah. Mulai dari buku dongeng sampai novel-novel anak. Dari situ, Nay mulai suka menciptakan dongeng. "Seru juga ternyata membuat cerita sendiri apalagi ada orang lain yang ketagihan dan menunggu lanjutan cerita bikinan kita." katanya. Nay sudah menerbitkan 4 novel; Forgotten (Media Pressindo, 2013), (Me)mories (Grasindo, 2014), Interval yang berduet dengan Dion Sagirang (Grasindo, 2015). Take Off My Red Shoes (Grasindo) adalah novel terbarunya.
Apa kabar, Nay? Sekarang lagi sibuk apa nih?
Kabar baik, Alhamdulillah. Sekarang lagi sibuk mengerjakan
naskah nonfiksi (baca: tesis) dan mengejar-ngejar editor (dosen pembimbing).
Harus menahan diri dulu untuk sementara nggak nulis novel.
Bagaimana sih cara Nay membagi waktu antara menulis dan aktivitas lainnya?
Aku sebetulnya lebih suka nulis pas tengah malam dan pagi
hari. Tapi kalau lagi dikejar DL, kapan pun harus bisa nulis. Sebetulnya aku
tipe orang yang susah membagi waktu apalagi kalau harus mengerjakan dua hal
dalam satu waktu sekaligus. Makanya kalau lagi ada tugas kuliah, aku stop nulis
dan menyelesaikan tugas lebih dulu. Tapi nggak jarang juga aku ngejar DL naskah
novel atau lomba nulis dan menunda ngerjain tugas. Jadi tergantung hal-hal yang
lebih mendesak dan yang jadi prioritas pada saat itu sih.
Biasanya, berapa lama total waktu yang dihabiskan untuk menulis satu novel?
Paling
singkat dua bulanan (Forgotten), tapi rata-rata waktu total dari riset sampai
selesai menulis naskah tiga sampai enam bulan. Riset biasanya sebulan sampai
dua bulan. Untuk novel terbaruku (Take Off My Red Shoes) risetnya lumayan
karena harus mencari dongeng yang sesuai dulu, terus cari buku-buku tentang
aturan hukum pengadopsian anak, karakter anak-anak kembar dan penyakit
psikologis tokoh utama. Self editing cukup memakan waktu juga, sejak naskah
selesai, naskah sudah di tangan editor bahkan sampai menjelang naik cetak masih
jalan terus.
Dari mana ide cerita novel-novel Nay didapat?
Sumber idenya terlalu banyak dan bertebaran. Pas baca koran,
majalah, novel, materi kuliah, nonton film, ngobrol sama teman, nggak sengaja
lihat kejadian unik di jalan bahkan dari obrolan di meja sebelah bisa jadi ide
buat cerita. Entah nantinya bakal jadi cerpen atau novel, ide itu biasanya aku
simpan sampai ada waktu yang tepat untuk menuangkannya di atas kertas.
Untuk mendalami karakter
dalam novel-novel yang Nay tulis, bagaimana Nay melakukan riset?
Aku lebih sering mencari dari buku atau artikel. Kadang
blogwalking, ngubeg-ubeg Youtube atau nonton film tentang hal yang ingin aku
angkat.
Setelah menerbitkan novel, pengalaman apa yang paling berkesan sejauh ini?
Sejak naskah novel pertamaku terbit sampai yang keempat ini,
sensasi saat nunggu novel terbit dan melihatnya pertama kali terpajang di rak
toko buku itu nggak pernah berubah. Rasanya campur aduk antara lega karena
sudah menyelesaikan novel itu dan penasaran menanti reaksi pembaca. Nantinya
email-email, review serta mention
pembaca yang akan menjawab semua itu.
Pesan apa yang
sebetulnya ingin Nay
sampaikan kepada pembaca
setiap kali menulis novel?
Setiap novel punya pesan berbeda. Aku yakin setiap penulis
(sadar atau nggak) akan menyisipkan pemikiran pribadi, kegelisahan, ketakutan
dan idealismenya dalam tulisan-tulisan yang dibuat. Bagiku, indikator
keberhasilan penulis juga bisa dilihat dari seberapa tepat pembaca dapat
menangkap pesan-pesan itu. Aku nggak akan menuliskan secara detail isi
pesan-pesan itu, tapi secara umum aku pengen pembaca lebih mensyukuri keadaan
normal yang dijalaninya (yang mungkin menjadi salah satu impian terbesar banyak
orang di luar sana), berusaha melakukan perubahan dan nggak cuma menyesali
kekurangan diri sendiri.
Bagi Nay sendiri, siapa penulis Indonesia yang paling mempengaruhi?
Helvy Tiana Rosa: beliau yang pertama kali membuatku
menyadari kalau sebuah cerpen bisa begitu menyentuh dan mengubah pandangan
hidup seseorang (dari kumcer Ketika Mas Gagah Pergi)
Ari Nur Utami: penulis ini berhasil membuatku jatuh cinta
pada novel islami untuk pertama kalinya.
Ilana Tan: penulis ini menunjukkan padaku bahwa masih ada
sebuah novel populer yang ditujukan untuk kalangan dewasa, yang diceritakan
dengan manis, sopan dan tidak berlebihan.
Windry Ramadhina: aku selalu banyak belajar dari penulis ini karena
tulisan-tulisannya memang selalu dikerjakan dengan tidak main-main. Sehabis
membaca tulisannya aku selalu senang karena telah menyisihkan waktu untuk
membaca novel yang bagus.
Sering mendengar pembaca
yang ingin menulis novel
namun menyerah di tengah jalan, kira-kira apa pesan Nay untuk mereka?
Perbedaan seorang penulis dan seorang pemimpi adalah sebuah
karya yang berhasil diselesaikan. Sebuah naskah yang buruk jauh lebih baik
dibanding naskah brilian yang nggak pernah menemui ending. Nggak ada yang bisa
dibanggakan dari tulisan yang belum selesai.
Terima kasih, Nay, atas
kesempatan wawancara ini. Ditunggu karya-karya selanjutnya. Sukses selalu!
Makasih juga untuk wawancaranya. Senang banget bisa berbagi. Sukses terus dan doain semoga
novel berikutnya cepat terbit ya. :)
___
Artikel ini juga pernah dimuat di icihersmagz.
___
Artikel ini juga pernah dimuat di icihersmagz.
Comments