Skip to main content

Mencari tahu regulasi perfilman Indonesia

Bulan ini, bertepatan dengan musim libur Lebaran, timeline sosial media saya semarak dengan tweet promo film ataupun tweet orang-orang yang berkomentar tentang film yang baru mereka tonton. Tambahan lagi, pada bulan ini perfilman Indonesia mencapai rekornya; tujuh film Indonesia menembus angka lebih dari satu juta penonton. Konon pencapaian ini tak pernah terjadi dalam tujuh tahun terakhir. Tentu saja ini menggembirakan.

Sumber : filmindonesia.or.id (19/7)

Namun di samping kondisi menyenangkan tentang perfilman Indonesia, beberapa kritik mengenai tata edar, mutu film, kurangnya jumlah layar bioskop, sampai harga tiket bioskop yang tak terjangkau oleh semua kalangan juga kerap saya simak, baik dari pelaku industri film ataupun dari masyarakat. Lalu bagaimana sih sebenarnya regulasi perfilman Indonesia?

Regulasi perfilman Indonesia tertulis dalam UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Kita bisa mengunjungi situs kejaksaan.go.id untuk mengunduh dan membaca secara lengkap isi dari undang-undang tersebut.

Undang-undang No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menentukan film seperti apa yang dilarang beredar di ranah publik (pasal 6); mengawasi dan mencegah agar tidak terjadi praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat pada pasar domestik (pasal 10 sampai 15); menetapkan tata edar film serta hak dan kewajiban pelaku usaha pengedaran dan pertunjukan film (pasal 25 sampai 28); menjamin kuota jam tayang film nasional sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukan film yang dimiliki pelaku usaha pertunjukan film (pasal 32); menjamin dukungan pemerintah bagi kegiatan-kegiatan apresiasi film (pasal 37); mengatur proporsi dan jenis film impor yang masuk ke Indonesia (pasal 41); menjamin hak dan kewajiban masyarakat (pasal 45 dan 46); menjamin hak dan kewajiban insan perfilman (pasal 47 dan 48); menggariskan kewajiban, tugas, dan wewenang pemerintah dan pemerintah daerah dalam bidang perfilman (pasal 51 sampai 56); dan sebagainya.

Seiring dengan zaman yang sudah banyak mengalami perkembangan selama lima tahun pasca peresmian UU Perfilman, Panitia Kerja Perfilman DPR RI merasa perlu melakukan revisi terhadap UU tersebut. Panitia Kerja Perfilman DPR RI akhirnya merekomendasikan tiga hal kepada Pemerintah yakni:

  • Perbaikan kelembagaan film nasional, yakni penyelarasan dan sinergitas dalam tugas dan fungsi empat lembaga perfilman nasional meliputi: Badan Perfilman Indonesia, Badan Ekonomi Kreatif, Pusat Pengembangan Film Kemendikbud RI, dan Lembaga Sensor Film.
  • Membuka diri terhadap investasi asing.
  • Merevisi UU No 33 tahun 2009 tentang Perfilman.

Panja Perfilman Komisi X DPR mengusulkan akan menyusun revisi UU Perfilman sebagai RUU usul inisiatif DPR RI dalam Prolegnas 2016-2019. Sementara menunggu proses revisi dan untuk merespon aspirasi para pemangku kepentingan perfilman, Panja Perfilman meminta Pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri (Permen). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sendiri saat ini telah menggelar uji publik ketiga terhadap empat draf peraturan mendikbud tentang perfilman sebelum peraturan tersebut disahkan.

Kita doakan semoga lancar. Maju terus perfilman Indonesia!
____


Sumber tulisan:

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi