“Gerbong Ekonomi tiga.. Nomor 2D..”
Aku memeriksa sekali lagi tiket di tanganku. Lalu kembali menyusuri gerbong kereta malam ini. Aku harus berjalan melewati dua gerbong sebelum akhirnya menemukan kursiku. Gerbong Ekonomi tiga, nomor 2D. Aku mengecek tiketku untuk terakhir kali. Setelah yakin tak salah tempat duduk, aku melemparkan ranselku ke atas kompartemen lalu mengenyakkan tubuh yang entah mengapa terasa berat ini ke kursi.
Di depanku, duduk sepasang suami istri dengan anak lelakinya yang masih kecil. Kuperkirakan anak itu berusia 2 tahun. Ia sedang terlelap di pangkuan ibunya. Sepasang suami istri itu menyunggingkan senyum ramah kepadaku yang segera saja kubalas. Aku lantas memasangkan earphone di telingaku sebelum menyadari kursi di sebelahku kosong. Bagus. Aku bisa tenang tertidur di sepanjang perjalanan tanpa terusik obrolan atau tawaran makanan dari teman seperjalanan, dan semacamnya, pikirku.
Hingga kereta melaju dan melewati beberapa stasiun, kursi itu tetap kosong.
Aku tertidur dengan pulas hingga guncangan dan derit mesin kereta yang awalnya tak terasa mengganggu tiba-tiba membuat mataku menyalang kehilangan kantuk. Kemudian kereta ini tak bergerak. Kereta ini berhenti di … Entah di mana ini. Aku tak dapat memperkirakan sedang berada di stasiun mana kereta yang kutumpangi ini sekarang. Keadaan di luar jendela sangat gelap. Sepasang suami istri di depanku tampak tak terusik dari tidur mereka. Begitu pula dengan anak lelaki mereka. Aku melirik jam tanganku. Kuperkirakan dari lama perjalanan yang sudah kulewati seharusnya stasiun tujuanku tak lama lagi akan kutempuh.
Beberapa saat kemudian, sebuah guncangan kembali mengagetkanku. Kereta ini seperti mengentakkan salah satu kakinya, aba-aba untuk ia berlari sekencang-kencangnya layaknya kuda dalam pacuan.
Kantukku kini sudah lenyap sama sekali. Aku memalingkan wajahku ke arah jendela, memandangangi malam yang murung. Lalu entah bagaimana sekawanan resah memasuki dadaku secara sembunyi-sembunyi. Beberapa doa pendek yang kuhapal coba kulafalkan untuk menangkalnya. Kemudian aku mengeluarkan ponsel dari saku kemejaku dan membaca kembali sms dari ibu satu hari yang lalu. Kata ibu, adikku sedang sangat membutuhkanku. Ya Tuhan, aku hanya ingin selamat sampai tujuan. Aku tak sabar menemui adik dan ibuku.
Tepat saat ingatan wajah manis adikku memenuhi kepala, bayangan itu muncul pada jendela kaca yang sedang kupandangi. Kedua bola mataku nyaris mencelat menembusi jendela lalu menggelinding dilahap pekat tanpa ampun di luar sana. Napasku berubah menjadi sepenggal-sepenggal. Aku ingin sekali membalikkan badanku namun tuas leher ini rasanya patah. Kepalaku lunglai tak dapat kuputar. Aku hanya bisa terus terpaku pada jendela, mengawasi gerik gelisah bayangan itu.
Saat bayangan itu kulihat duduk tepat di belakangku, mataku berair menahan jerit yang kuredam. Aku sungguh ingin berteriak membangunkan ratusan penumpang di dalam gerbong kereta ini, namun tentu saja itu tak mungkin kulakukan. Dalam tubuh yang gemetar menahan rasa ngeri, akalku gelagapan mengurai apa sesungguhnya yang sudah terjadi pada adikku?
Wajahnya lebih murung dari suasana malam yang sejak tadi kuhadapi. Matanya seperti membungkus amarah yang segar. Mulutnya yang lebam dan penuh darah perlahan membuka. Lalu sebuah suara yang dingin menembusi kulitku, menyayat dagingku seperti sembilu, sampai-sampai aku bisa merasakan darah menetes dari luka sayatannya, “Cepat pulang, Kak. Ajak ibu pergi. Rumah sudah hancur.”
Lelehan air mataku terus menumpahkan rasa putus asa akan ketidakpahamanku tentang apa yang telah terjadi di kampungku. Setelah bayangan adikku pergi, mendadak sisa perjalanan ini terasa bagai bertahun-tahun.
___
Cerita ini juga bisa dibaca di www.storial.co
Comments