Ada taman kecil di belakang rumah ibu. Diselimuti oleh rumput hijau dan dihuni oleh beberapa jenis bunga anggrek yang tampak merona setiap kali aku datang untuk memandangi mereka. Ada anggrek bulan yang selalu tersenyum simpul seolah menggodaku untuk mengorek cerita-cerita konyol ibu yang kerap ibu titipkan padanya. Lalu ada anggrek hitam yang berwajah tenteram seolah menyimpan tabungan rasa bahagia tak terkira. Dan masih banyak lagi kawan mereka yang tak kuhapal namanya. Mereka adalah anggrek-anggrek bernasib baik karena rawatan tangan dingin ibu.
Aku tak pernah iri pada anggrek-anggrek itu. Meski hubungan ibu dengan anggrek-angreknya sangat romantis, namun aku percaya diri, ibu akan memilih duduk menontoniku menggambar ketimbang memastikan anggrek-anggreknya tak kesepian.
Di depan taman kecil itu ada sepasang kursi dan sebuah meja rotan. Setiap kali pulang ke rumah ibu, aku senang menghabiskan waktu duduk-duduk di kursi itu. Kadang sambil menggambar atau mendengarkan musik. Kadang juga tak melakukan apa-apa.
Satu jam ibu menemaniku duduk di kursi itu, sebelum ia memutuskan untuk mandi sore karena merasa kegerahan. Setelah mengurus anggrek-anggreknya pagi itu, ibu bertransformasi menjadi host memasak di dapur. Dibantu oleh asistennya yang tak kalah gesit dari ibu. Memasuki sore, ibu kembali berubah peran menjadi seorang sahabat bagiku. Ia mendengarkan celotehanku, mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang pekerjaanku dan bagaimana hari-hariku di kota. Dan, tentu saja memastikan Rio masih menjadi pacar terbaik bagi anak gadisnya.
“Kami baik-baik aja kok, Bu. Besok Rio kuminta datang ke mari. Biar bisa kukenalkan sama keluarga besar.”
Sejak kusampaikan kabar itu, senyum seolah tak mau absen dari wajah ibu.
Begitu pula dengan Rio.
Saat berada di antara keluarga besarku di Hari Lebaran itu, Rio terus memamerkan binar dari bundar mata cokelatnya yang menawan. Rio ternyata juga menyimpan rencana yang disimpannya sampai ia punya kesempatan mengajakku ke taman belakang, lalu mengeluarkan kotak merah mungil berisi cincin.
Rio melamarku, dan aku menyatakan menerima lamarannya. Setelah itu, keluarga kami berdua sepakat untuk melangsungkan akad nikah setelah Lebaran Idul Qurban.
”Doyan amat ngelamun.” Cipta, sepupu terdekatku, sudah berada di sampingku, menggantikan ibu.
“Hey, kapan dateng, Cip?”
“Baru aja.”
Aku memperhatikan kucing persia yang digendong Cipta, “Ini Dori, kan?”
“Iya.” Cipta mengelus-elus kepala Dori. “Semenjak Dori muntah-muntah kemarin, Karma jadi parno. Yah.. ngerti kan kenapa?“
Karma, pacar sepupuku itu, punya pengalaman yang tak biasa dengan binatang-binatang peliharaannya. Setiap kali ia mencoba memelihara binatang, mulai dari ayam, ikan, ular, kelinci, sampai hamster, binatang-binatang itu selalu berujung tewas. Dori adalah kucingnya yang kedua. Kucing pertamanya pun tak luput dari nasib nahas saat diasuh Karma. Nimo terkena infeksi cacing. Ia muntah-muntah selama dua hari. Kemudian mati saat dokternya masih mencoba menangani penyakitnya.
Bukan berarti Karma tak becus memelihara binatang. Cipta sangat yakin pacarnya sudah berusaha telaten memelihara binatang-binatang yang ia cintai.
Namun begitu, sama seperti yang dirasakan Cipta, aku pun tak mengerti mengapa nasib binatang-binatang peliharaan Karma selalu berujung tragis. Akhirnya, Cipta pasrah saja saat harus mengambil alih pengasuhan Dori akibat trauma yang pacarnya alami.
“Ngelamun lagi.. Mau kawin kok ngelamun melulu. Nanti kesambet deh, Dara..”
“Oh, sori..” Aku mengusap wajahku dan mengembuskan napas berat, “Cip, gue masih kepikiran..”
Wajah Cipta berubah serius, “Mitos itu?”
Aku mengangguk.
“Dara.. Serahin semua sama Gusti Alloh, ya..” Cipta mengingatkanku dengan lembut.
Aku memalingkan wajahku pada hijau rerumputan di hadapanku. Lalu meraba tanda lahir hitam di bahu sebelah kiriku.
Sepenuh keyakinanku pada takdir Gusti Alloh, aku tak ingin berpikir tentang mitos itu. Mitos tentang perempuan bahulaweyan. Namun sejak Ali meninggal setelah ia menyatakan akan menikahiku tiga tahun yang lalu, mitos itu tanpa ayal menghantuiku hingga sekarang. Hantu itu menjelma menjadi rasa takut, cemas, trauma dan keragu-raguan yang sering membuat perutku mual.
Demi apa pun, aku mencintai Rio dan aku tak rela jika Rio harus pergi, seperti Ali.
__
Kursi di taman belakang rumah ibu ini masih menjadi favoritku. Namun aku bukan lagi manusia favorit bagi anggrek-anggrek ibu untuk berbagi senyum. Rupanya kesedihanku juga telah merampok keceriaan mereka. Sorot warna bunga mereka meredup.
Aku menjejakkan kakiku di atas rumput taman yang basah. Rasa dingin merambati ujung kakiku seiring dengan patahnya harapku bahwa apa yang kualami ini bukan kenyataan.
Lebaran Idul Qurban masih satu bulan lagi. Aku dan Rio belum memerlukan penyaksian dari keluarga besar kami bagi janji pernikahan kami memang yang belum terucap. Namun keluarga besarku sudah kembali berkumpul di rumah ibu. Bukan untuk menghabiskan ketupat lebaran, berebut membongkar toples kue nastar, atau berkaraoke bersama di pesta pernikahan aku dan Rio.
Keluarga besarku berkumpul sekarang karena merasa perlu menghiburku setelah mereka menerima
kabar meninggalnya Rio tadi malam.
TAMAT
Mitos perempuan bahulaweyan berasal dari daerah Jawa. Mitos ini menyebutkan bagi perempuan yang mempunyai tembong (tahi lalat) di bahu sebelah kiri pasti akan mengalami kesialan. Mitos ini tentu saja belum bisa dipertanggungjawabkan atau dipercaya begitu saja. Sumber : www.akarasa.com
Cerpen ini juga bisa dibaca di www.storial.co
Comments