Skip to main content

Risalah memori

Foto : @lucyanao

Dua gelas besar di hadapan saya kini telah terisi penuh teh. Pak Sudi meletakkan kembali poci yang dibuat dari tanah liat itu di atas meja. Sebagai tuan rumah, ia baik sekali meracikkan teh spesial itu untuk saya. Rasa tehnya tawar. Karena Pak Sudi tak membekal gula. Saya bilang, saya memang kurang suka teh manis.

Biar sejurus dengan pendapat saya, Pak Sudi tampaknya mati-matian berusaha berfilosofi, “Rasa tawar teh ini memang cocok dinikmati di bawah saung beratap jerami ini, Le. Wanginya serasi dengan bau tanah yang kaupijak.”

Kami tertawa seraya menganggukkan kepala.

Saya melirik kaki yang tanpa alas ini. Corak berwarna coklat menjadi lukisan abstrak hingga ke bagian betis. “Saya kadang bosan seharian memakai sepatu di kantor, Pak. Enak Bapak, tiap hari bekerja tak perlu pakai alas.” saya menggodanya.

Pak Sudi tersenyum mengejek mendengar ucapan saya, “Tunggu sampai tahu rasanya digigit lintah kamu, Le.”

Pak Sudi mengambil gelas teh jatahnya. Saya pun mengambil bagian saya. Saya dekatkan bibir gelas itu ke wajah saya. Dengan rakus hidung saya menghirup wangi tehnya. Wanginya mempunyai efek magis buat saya. Saya tiba-tiba mabuk dalam kenangan menyenangkan. Mungkin karena dulu sebelum pergi sekolah, ibu rutin membuatkan teh buat saya.

“Kamu ndak mau ambil foto, Le? Seperti orang-orang kalau berlibur kemari itu loh.”

Saya menggeleng pelan.

“Mana handphone-mu toh? Sini saya yang motret. Kotor-kotor begini juga saya tahu cara ambil foto yang baik.”

“Wah, beneran, Pak?”

“Kamu ndak percaya?”

Saya tertawa melihat tingkah Pak Sudi. Saya sudah menyukainya sejak awal berkenalan. Sikapnya sangat jujur. “Ngga, Pak. Biar kepala saya saja yang menyimpan memori pemandangan seindah ini.”

Pak Sudi terlihat kebingungan. “Ya wis lah. Terserah kamu, Le.”

Saya mengingat handphone saya yang sedang beristirahat di atas tempat tidur di hotel. Saya tidak melupakannya. Tapi sengaja meninggalkannya. Handphone yang sibuk. Kasihan. Biar saja. Biarkan satu hari ini saja saya mengandalkan jabatan tangan saya untuk berkenalan. Biarkan satu hari ini saja saya mengistirahatkan jemari dan mempercayakan mulut dan telinga saya untuk berbagi cerita. Biarkan mata saya menemui wajah-wajah sungguhan yang tak dikotaki dan diberi filter rupa-rupa dan yang pasti akan saya temui lagi sehabis liburan ini usai.

Angin yang terbang dari langit biru di atas sana menepuk pelan pipi saya. Saya lalu melarikan mata saya sejauh bentangan hijau di hadapan; puluhan petak sawah dan rimbun pepohonan. Bagi saya yang kebanyakan melihat tembok di kantor, layar komputer juga handphone, apa yang saya lihat sekarang ini tak bisa saya bayar dengan malah sibuk menambah isi memori ponsel ketimbang memori di kepala.

Comments

Unknown said…
Kayak nya besok aku juga mau kasih piknik manja HP di hotel buat istirahat manja, kasihan dia terlalu lelah

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi