Skip to main content

Srikandi

Foto : @lucyanao

Festival lagi. Ramai-ramai lagi. Menonton kakek mendalang lagi. Tentu saja, selalu dari baris paling belakang dan sudut paling temaram.

Tapi anehnya, dia selalu bisa menemukanku.

"Kakekmu pencerita yang luar biasa."

"Semua dalang juga. Mereka semua luar biasa."

"Kamu mau seperti Kakek?"

"Aku tidak bisa."

Aku mengusap wajahku, membalurinya dengan asam jawa biar kecut. Akhir-akhir ini, aku selalu membawa persediaan bumbu rasa masam itu ke mana pun aku pergi. Agar saat aku memerlukannya, ia akan menjadi setan penyelamat rasa bosanku kepada manusia. Seperti sihir, setelah wajahku terasa cukup kecut, siapa pun yang melihatnya akan berubah menjadi enggan terhadapku. Aku merasa nyaman.

Setelah itu, dia tak berani menambah pertanyaannya. Di tengah bingar suara gamelan yang masih mengiringi kakekku mendalang, aku puas pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasarannya telah lenyap. Rupanya aku juga telah berhasil mengusirnya. Kini aku mendapatkan kembali kesempatanku untuk membungkus diri dalam kelambu yang bisu.

Udara malam berembus takut-takut. Rasanya kerepotan sekali dia menahan suaranya agar tidak menambah kebisingan di telingaku.

Sesungguhnya, aku menghargainya. Aku bisa merasakan niatnya yang tak pernah mau menjadi pengusik bagi orang seperti aku. Orang yang sesungguhnya sedang tak tahu maunya apa. Orang yang sedang mudah terganggu, bahkan hanya karena suara angin lewat.

Lalu aku memutuskan untuk meninggalkan keriaan di pertunjukan wayang itu.

*

Ayah mewarisi darah seni kakek. Tapi ia tidak menjadi dalang. Ayah lebih senang membuat kerajinan wayang golek. Tangannya sangat terampil saat memahat dan melukis wajah-wajah dari dunia pewayangan yang telah kuhapal sejak kecil. Musim festival seperti sekarang ini, ayah sedang banyak pesanan. Saat aku pulang menonton pertunjukan kakek, ayah masih sibuk melukis di bengkelnya yang terletak di paviliun belakang rumah kami. Tangannya sedikit berlumur cat berwarna merah.

“Cepot lagi, Yah? Kok banyak banget?”

“Ya… karena dia paling favorit.”

Semua orang rasanya mengidolakan Cepot. Wataknya memang humoris. Namun begitu, dia tetap mampu memberi nasihat, petuah dan kritik. Kakek biasanya melakonkan Cepot di tengah kisah. Melalui Cepot, kakek sering melontarkan sindirannya pada kondisi jaman sekarang. Tentu saja kakek menyampaikannya sambil guyon. Makanya, banyak penonton kakek yang menyukai Cepot.

“Neng Kandi, masih nemenin Ayah lembur, ya? Besok nggak sekolah?” Mang Sastra, tetangga kami yang ikut menjualkan kerajinan wayang golek buatan ayah tahu-tahu muncul di depan wajahku. Rupanya ia datang untuk mengambil pesanannya seperti biasa. “Eh, Mang Sastra, kok malem-malem gini, Mang?”

“Iya, kejar setoran, Neng.” selorohnya.

Sambil menunggu ayah mengambilkan barang pesanannya yang sudah dipersiapkan di dalam rumah kami, Mang Sastra mendekat padaku dan menyerahkan sebuah lukisan cat air tokoh pewayangan yang juga menjadi namaku. Srikandi... Aku meraba permukaan lukisan tersebut hati-hati. Napasku sampai sesak saking indahnya lukisan di tanganku.

“Bima bilang sama Mamang, dia tadi mau kasih sendiri. Tapi Neng Kandi kayaknya lagi sensi. Terus Bima ketemu Mang Sastra dan dia titipkan itu sama Mamang.“

Aku membaca namanya di sudut kanan bawah kanvas yang kupegang. “Mang... Apa benar? Dia…”

“Bima kan nggak pernah bohong, Neng. Termasuk dengan perasaannya.”

“Tapi Bima kan bukan jodohnya Srikandi, Mang.”

“Di dunia pewayangan iya. Lha kalau Bima dan Srikandi modern kan lain cerita, Neng.” Mang Sastra tertawa menggodaku. “Siapa yang tahu kalau kalian berjodoh sampai dewasa nanti?”

“Duh, Mang Sastra udah bener-bener mirip Cepot sekarang. Orangnya suka ngebanyol tapi kata-katanya daleeem banget.” Tawa Mang Sastra semakin kencang mendengar ocehanku.

“Neng Kandi juga harus belajar sama Cepot. Kalau sedang dapat masalah, apa pun itu, tertawakan saja. Jangan terlalu dipikirkan ya, Neng.”

Aku tidak dapat menahan geli menyaksikan wajah Mang Sastra yang kocak, saat ia berusaha menyampaikan maksudnya lewat sebuah kedipan sebelah mata. “Hahaha... Iya, Mang.”

"Wah, ada apa nih rame-rame?" Ayah sudah kembali dengan membawa satu dus besar berisi kerajinan wayang golek. Setelah menerima barang pesanannya itu, Mang Sastra pergi dengan motornya. Tapi kata-katanya tetap tinggal, bagai kawanan api kecil di perapian di ruang tengah hatiku, menghangatkan segenap ruas tubuh yang sedang terlalu dingin.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi