Skip to main content

Ada apa dengan cinta? 2: Self-reflection




“Why do we get so much pleasure out of being so different not only from others but from our own past?” - Bruno Latour (1991)
__

Menurut tweet dari akun Miles Films, 6 Mei 2016, sejak rilis di bioskop 28 April 2016 lalu, film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2 telah mendapat apresiasi lebih dari 2 juta penonton. Saat postingan ini kamu baca, mungkin jumlahnya sudah bertambah. Saya sendiri kebetulan dua kali pergi ke bioskop untuk menonton AAADC2. Pertama kali bersama kawan yang satu, kedua kali menemani kawan yang lain. Pertama kali ditraktir, kedua kali bayar sendiri. Lol. Oke. Tidak penting. Tapi yang penting yang harus saya akui adalah, film AADC2 telah mengikat saya dalam pengalaman adiksi yang menyenangkan sehingga saya tidak keberatan untuk menonton berulang.

Harus saya akui juga, saya tumbuh bersama tokoh-tokoh dalam film AADC. Maka, menyaksikan mereka bertransformasi dari remaja ingusan sampai menjadi manusia-manusia dewasa dalam film sekuelnya, bagi saya bukan hanya pengalaman nostalgia, tetapi juga menjadi kesempatan untuk berefleksi diri : Apa saja yang saya sendiri sudah lakukan selama ini?
__

Pada pengambilan keputusan akan masa depan atau pun ketertarikan kita terhadap sesuatu, banyak elemen yang dapat memberikan pengaruh. 14 tahun yang lalu, film AADC mungkin salah satu yang melakukan pengaruh itu kepada para penonton remajanya. Entah penontonnya menjadi senang pada sastra, bercita-cita kuliah di luar negeri, atau yang lainnya.

14 tahun telah lewat dan tokoh-tokoh dalam film AADC pun mengalami transformasi yang berbeda-beda. Dalam film AADC2, Cinta (Dian Sastrowardoyo) diceritakan menjadi pemilik sebuah galeri seni di Jakarta. Sementara Rangga (Nicholas Saputra) konsisten dalam dunia tulis-menulis. Ia menjadi kolumnis di majalah dan mempunyai usaha coffee shop di New York. Tetapi apakah semua tokoh dalam AADC memiliki perjalanan 14 tahun yang sempurna? Tidak. Dan inilah justru yang menjadikan pengalaman refleksi 120 menit saya sempurna.

Dan sejauh apa pun kita telah melangkah, penggalan episode pada kehidupan di masa lalu akan tetap melekat sebagai ciri kita saat ini. Saya suka saat adegan-adegan dalam AADC2 mampu membuat penontonnya merasa tetap terkoneksi dengan karakter dari tokoh-tokoh dalam film ini saat mereka masih remaja. Time changes, people not so much.

Saya juga mengira, penonton pasti merasa terhubung dekat dengan latar masa kini dalam AADC2 ini dengan hadirnya puisi-puisi dari ikon Aan Mansyur, serta penampilan dari Mian Tiara dan Kill The DJ, yang menggantikan Jujur Prananto, Pass Band dan Terre pada gilirannya di AADC1.
__

Jalinan kisah AADC2 sendiri sesungguhnya tak terlalu kompleks. AADC2 ini somewhat terasa lebih seperti film perjalanan. Namun saya senang dengan lingkup cerita film AADC2 yang memberikan porsi banyak pada kesenian, keindahan alam, dan kearifan budaya yang dimiliki Indonesia. Entah bagaimana, tapi sangat terasa sekali semangat optimis dalam film ini bagi saya.

Hal lain yang menjadi favorit saya sepanjang film ini diputar adalah akting menawan dari Adinia Wirasti yang memerankan tokoh Karmen. Saya sepakat, memberikan porsi lebih pada peran Karmen di AADC2 adalah keputusan yang tepat. Saya juga sangat setuju kalau ada yang memberikan usul agar Miles Films memikirkan untuk membuat spin-off film dari AADC untuk tokoh Karmen. Yes. Indeed. We need more of Adinia on screen.

Jika ada satu bagian yang bukan favorit buat saya, itu adalah adegan pada ending cerita. Saya merasa, dengan sekuens yang menarik yang ditampilkan sejak awal film membuat adegan di ending film tersebut terasa cliché dan menjadi antiklimaks. Meski begitu, saya rasa sensasi penasaran penonton dalam penantian sepanjang 14 tahun tetap ditutup dengan senyum puas.
__

Ada kekuasaan yang lebih besar dari tangan kita yang mampu membelokkan niat, menguatkan keyakinan, mengembalikan jalan, atau bahkan menghentikan usia di tengah rencana panjang yang tengah kita rancang.

Selamanya hidup itu bagai sebuah perjudian.

Bukan begitu?

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi