Skip to main content

A copy of my mind: Tontonan baru dari Joko Anwar



Festival Film Indonesia (FFI) 2015 menobatkan Joko Anwar sebagai Sutradara Terbaik melalui film A Copy of My Mind. Ditambah lagi, trailer film ini menggunakan lagu band kesukaan, Stars and Rabbit : Like It Here. Saya pun resmi penasaran. Saya pergi ke bioskop untuk menonton A Copy of My Mind, dua hari setelah film ini rilis pada 11 Februari 2016 lalu.

Sutradara pujaan saya karena karya-karyanya yang baik itu, dalam A Copy of My Mind menampilkan gambaran sebuah periode kehidupan di Jakarta yang gelap, suram, runyam, gloomy, secara jelas, nyata, dekat dan apa adanya.

Gambaran itu disuguhkan melalui kehidupan dua tokoh utamanya, Sari (Tara Basro) dan Alek (Chicco Jerikho). Dalam film ini, penonton hanya melihat Sari sebagai seorang petugas facial di sebuah salon murah. Sementara Alek, bekerja sebagai penerjemah teks film bajakan. Tak ada yang spesial dari hidup keduanya. Penonton yang memiliki kehidupan yang lebih dinamis mungkin akan mudah merasakan kebosanan di awal film, saat kehidupan monoton kedua tokoh ini diperkenalkan.

Konflik baru muncul setelah film berjalan selama lebih kurang 30 menit, saat Sari iseng mengutil DVD dari seorang customer-nya bernama Mirna (Maera Panigoro). Tentu saja Mirna bukan customer sembarangan. Ia adalah pelaku suap yang kerap berurusan dengan penguasa dan pengusaha di negeri ini. Sejak itu, kehidupan Sari dan Alek yang monoton pun mulai diisi masalah.

Jika terbiasa menonton film-film Joko Anwar sebelumnya dengan jalinan kisah yang kompleks, A Copy of My Mind ini somewhat terasa lebih sederhana. Ini jenis tontonan baru dari Joko Anwar buat saya. Namun dengan lingkup cerita yang sempit serta plot yang lambat, film ini tetap membuka mata.

Penonton disuguhkan kenyataan, bahwa jalinan hubungan yang menurut saya pribadi terasa terlalu jauh dan cepat antar-pasangan seperti Alek dan Sari ini memang sudah biasa terjadi. Bahwa sosok-sosok yang tidak memiliki identitas diri seperti Alek ini ada. Bahwa obrolan yang megah dan mewah di antara jelata yang makanan pokok sehari-hari saja mie instan, bukanlah prioritas, sama halnya dengan mimpi muluk yang tak pernah ada. Bahwa politik busuk itu nyata dan sangat bisa bersinggungan dengan siapa saja. Dan masih banyak lagi.

Mau tidak mau, suka atau tidak : beginilah Indonesia, beginilah Jakarta.

Yang menarik dari film ini adalah, saat tokoh protagonis ditampilkan bukan sebagai orang yang “clean”. Lihat saja Alek yang sekian lama mendapatkan penghasilan dari salah satu rantai industri pembajakan yang jelas-jelas melanggar hukum. Atau Sari yang melakukan adegan nyolong di dalam sel penjara, yang notabene adalah tempat untuk membuat jera para penjahat.

Kemudian lagi, otak saya serasa diajak berputar-putar saat film ini menampilkan adegan tokoh antagonis yang “manusiawi”. Sebut saja saat Mirna menyampakan keinginannya berhaji, atau Si Tukang Pukul (Aryo Bayu) yang di antara waktu tugasnya malah berkeluh tentang harapan memliki rumah yang layak bagi anaknya.

Duh, Bang Joko! Saya nyembah untuk adegan-adegan itu!

Meski begitu, masih terasa ada konsep yang belum utuh di kepala saya. Memang, isu sosial dan politik di film ini hanya menjadi latar tema percintaan, tanpa ada eksplorasi lebih jauh.

Hal lain yang menjadi kekuatan A Copy of My Mind buat saya adalah penampilan akting para pemerannya. Mulai dari Tara Basro, Chicco Jerikho, Maera Panigoro hingga Paul Agusta, terlihat sangat nyaman di depan kamera. Mereka seutuhnya melebur menjadi masing-masing karakter yang diperankan, terasa sangat alami. Favorit saya adalah saat Maera Panigoro bermonolog di dalam sel! Cemerlang!

A Copy of My Mind juga digarap dengan sinematografi yang baik. Joko menerapkan teknik pengambilan gambar yang bergerak-gerak mengikuti aktivitas pemain, membuat penonton seolah hadir di tengah-tengah adegan. Latar tempat yang ditampilkan, mulai dari lorong-lorong pasar, kos-kosan Alek dan Sari, warteg, Glodok, dan suasana kampanye pilpres, membuat film ini terasa sangat nyata sekaligus mahal.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi