Skip to main content

Tentang semesta yang tak jera memberi pertanda

“Kamu percaya kebetulan? Aku tidak. Aku menganggap semua yang terjadi padaku atau semua yang kulihat dan kualami adalah tanda atau isyarat dari semesta. Tapi ironis. Aku seringkali gagal untuk mengetahui maksud dari semesta itu hingga akhirnya aku terlalu malas untuk mencari jawaban dari setiap kejadian yang kuanggap tanda dan memilih melaju dengan lakuku. Beruntung, tanda tak jera menuntunku.”

Saya menuliskan kalimat-kalimat di atas kira-kira dua tahun yang lalu. Dan sampai saat ini, keyakinan saya tentang pertanda belum berubah.

__

Saya jarang merancang acara untuk merayakan malam pergantian tahun baru. Karena saya tidak terlalu suka petasan dan suara berisik terompet. Membakar kembang api dan makan jagung bakar cukup oke lah. Lebih aman lagi, hanya menonton tv atau menyepi di kamar sampai tertidur. Seperti itu saja.

Saya tidak menganggap ada sesuatu yang istimewa dalam malam pergantian tahun baru sehingga harus dirayakan dengan euforia berlebihan, sama saja seperti malam-malam lainnya. Namun rasanya malam pergantian tahun baru kali ini saya ‘beruntung’ karena diberikan sedikit cerita lain akibat pertanda yang ditebar semesta.

Bukan, bukan tetiba saya mendapat kesempatan untuk menembakkan meriam sebagai pengganti petasan atau dipersilakan mencoba meniup terompet sangkakala karena sering mengomel bosan dengan suara terompet yang dijual di pinggir jalan.

Bukan itu.

Melainkan potongan-potongan adegan yang tersaji begitu saja di depan mata saya tanpa saya bisa memilah keinginan untuk menonton yang mana.

Hari terakhir di tahun 2015 kemarin, saya masih berangkat bekerja. Saya menjalani hari biasa saja, sampai menghadapi runtutan kejadian ini :

Pertama, potongan adegan sehabis makan siang di kantor. Satu teman kantor saya meminta izin untuk pulang lebih dulu dari yang lain karena ia mendapat kabar bahwa Om-nya meninggal dunia siang itu karena penyakit jantung. Ia tidak bisa menahan tangis di hadapan saya saat bercerita bahwa jika Om-nya baik-baik saja, ia punya rencana untuk membuat perayaan malam pergantian tahun baru bersama seluruh keluarganya. Saya turut sedih saat membayangkan suara terompet dan tawa di rumah duka teman saya malam itu akan hilang berganti tangis dan doa dalam hening.

Kedua, potongan adegan di depan sebuah rumah yang saya lewati saat berjalan dari kantor menuju stasiun. Seorang perempuan muda turun dari mobil lalu memijit bel rumah sambil berjingkrak senang. Tak lama, seorang perempuan setengah baya membukakan pintu, dan langsung diserbu dengan ciuman perempuan muda tadi. Hati saya mendadak terasa hangat.

Ketiga, potongan adegan di atas kereta yang membawa saya pulang ke rumah. Dua perempuan muda yang sepertinya kakak beradik duduk di kursi di hadapan saya. Sepanjang perjalanan hingga sampai di stasiun tujuan, dua perempuan itu sibuk memantau perkembangan ibu mereka yang sedang sakit melalui handphone salah satu dari mereka. Mereka mengingatkan kakak laki-laki mereka yang sepertinya mendapat giliran menjaga ibu mereka di rumah untuk tidak lupa mengganti popok sang ibu. Lalu mereka menertawakan miris saat menerima pesan dari sang ayah. Katanya, makan malam ayah mereka tertunda-tunda karena setiap kali ia menyuapkan nasi ke mulutnya, sang ibu kumat kejang-kejang. Rupanya ibu dalam keluarga yang saya tonton di atas kereta ini sedang mengalami sakit stroke. Sebuah perasaan yang aneh menyelinap. Hati saya seperti hancur, namun sekaligus tegar karena melihat kekompakan keluarga itu.

Saya tak sanggup lagi.

Saya mengeluarkan handphone dari dalam tas dan memeriksa pesan dari mama yang ia kirimkan sejak pagi dan sengaja saya abaikan sampai malam hari. Mama cuma kirim pesan agar saya pulang cepat, dan kita akan merayakan malam pergantian tahun baru dengan berkumpul bersama seluruh keluarga besar.

Maka, akibat pertanda yang ditebar semesta, malam pergantian tahun baru 2016 kemarin, saya tidak memilih menyepi di kamar sampai tertidur, tidak juga menonton tv, sendirian. Saya tertidur di depan ruang tv bersama seluruh keluarga besar yang sedang berkumpul, setelah bermain kembang api dan memakan jagung bakar dengan iringan suara berisik terompet dan petasan yang tetap tak terhindarkan.

Selamat tahun baru 2016! Saya titip salam untuk keluarga kamu ya. :)

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi