Aku duduk di karpet studio, tak sabar mengawasi Dito yang
tengah asik mengamati foto-foto dalam kamera digitalku. Entah kenapa aku cemas
dia akan menemukan sesuatu, lalu tiba-tiba berteriak mencela. Oh, tentu saja.
Berkomentar seenaknya merupakan kelihaian Dito sejak lama. Karena itu, aku
tidak pernah mau memercayakan barang-barang pribadiku berada di tangannya.
Dito menyeringai puas saat melihat foto dirinya beraksi.
Wajahnya terlihat sangat menyebalkan. Kemudian ekspresinya berubah saat gambar
Iga dia temukan. Seringai menyebalkan itu semakin melebar. Dan, ini dia!
Seringai lebar itu kini dibarengi ejekan, "Si Kacung Berdasi ini gaya
bener! Hahaha.."
Komentar itu keluar dari mulutnya karena Iga, di sesi
latihan kali ini, telat hadir. Ia harus menyelesaikan pekerjaan kantornya
terlebih dulu sebelum meluncur ke studio. Yang diejek, berada di ruangan yang
sama, hanya memonyongkan bibir sebagai tanda tidak suka. Kupikir, Iga sudah
malas menanggapi mulut menyebalkan Dito.
Dito sekarang semakin puas tertawa-tawa. Kameraku
terguncang-guncang di tangannya. Lihat saja apa yang akan kulakukan, Dito!
Boleh saja dia mempunyai kebiasaan melempar
komentar-komentar seenaknya, tapi Dito harus tahu bahwa aku sedang jengah. Aku
merampas kameraku dari tangannya lalu bergegas memasukannya ke dalam ransel
setelah sebelumnya kamera itu kumatikan.
Dito tampak terkejut. “Sari, jutek amat sih. Gue kan pengen
lihat foto-fotonya.”
“Percuma. Apa pun yang lo lihat gak akan pernah bagus.” Aku
sengaja menyahut ketus.
Alih-alih tertawa-tawa seperti biasanya saat terkena
sindiranku, kali ini Dito malah menampakkan wajah sedih. Ah akting, pikirku.
Aku tidak akan jatuh iba. Aku harus konsisten bersikap galak saat dia berulah,
agar dia bisa berubah.
Pemain drum-ku ini memang kelakuanya paling sulit
dikendalikan. Mulutnya paling serampangan. Tapi Dito adalah anggota band yang
tidak pernah telat, dan aku sangat menghargai itu.
Aku menyampirkan ranselku di bahu bersiap untuk pergi dari
studio itu. Setelah berbasa-basi pamit pada Dito, mataku mencari-cari Iga. Aku
menemukannya sedang berada di luar studio melalui kaca transparan. Tampaknya
vokalis sekaligus gitarisku itu menyelinap pergi ke luar studio saat aku sibuk
memikirkan cara merebut kameraku dari tangan Dito.
Kulihat Iga sedang berjabat tangan dengan penjaga studio
sekarang. Kemudian aku melihat Cico, pemain bass-ku. Berbarengan, ia pun
melihat ke arahku dan melempar senyum. Lalu bergerak menghampiriku yang masih
berada di dalam studio. Mendadak, detak jantung ini tidak beres.
Aku mengalihkan pandanganku pada Dito yang masih berada di
dalam studio bersamaku. Ia sedang sibuk memakai jaket hoodinya, setelah
berakting wajah-sedih tadi.
“Gue beneran sedih, Sari.”
Aku terkesiap. Barusan itu Dito yang berbicara dengan kepala
masih tertutup jaket, kan? Dito bisa membaca pikiran orang atau semacamnya?
Setelah ia berhasil meloloskan kepalanya ke dalam jaket abu
itu sehingga bisa melihat wajahku, ia melanjutkan, “Kenapa melotot?”
Tak mendapat tanggapan dariku, ia malah mengomel, “Gue
nyari-nyari foto gue pas main di Famous Bar semalam di kamera lo. Gue pikir lo
ngambil foto gue barang satu atau dua jepret. Malah kamera lo penuh sama
foto-foto Cico. Lo gak adil, Sari!”
Wajah Dito merajuk manja. Anehnya, aku tak jatuh iba karena
tingkahnya yang seperti anak kecil itu. Usahanya tetap tak membuatku tertarik
untuk ikut ke dalam permainannya. Malah aku menangkap sorot jahil di matanya
yang harus kuwaspadai.
“Ga usah lebay ya, Dito. Apaan sih lo.” Karena seingatku,
aku juga mengambil foto dirinya dan Iga. Walau memang jumlahnya tidak lebih
banyak dari foto-foto Cico.
“Mana coba gue liat foto-foto gue?” Suara Cico tepat sekali
berada di belakang kepalaku. Aku membalikkan badan kaget. Pemain bass itu
tahu-tahu sudah menyodorkan telapak tangannya yang terbuka seperti meminta
sesuatu dariku.
“Ada... Ada foto Dito dan Iga juga kok.” Aku tergagap.
Seperti orang yang kepergok melakukan sesuatu yang memalukan, aku menunduk tak
berani menatap biji mata Cico. Susah payah meredam detak jantung yang tiba-tiba
saja memacu kencang.
Kubuka ransel, mengaduk-aduk isinya, lalu kututup kembali.
Apa pun, asal Cico tidak menangkap basah kegugupanku berhadapan dengannya.
Satu-satunya yang bisa kupikirkan adalah segera mengambil
langkah seribu untuk kabur dari studio ini. Aku berteriak asal, “Gue harus
cabut. Nanti fotonya gue upload semua ke Instagram band.”
___
Akhir pekan ini jadwal manggung reguler band yang kumanajeri
kosong. Aku pun sedang tidak ada deadline pekerjaan di kantor. Sebagai reporter
di sebuah majalah, sudah kuselesaikan semua tugas liputanku. Naskah-naskah yang
harus kusetor sudah berada di meja editorku.
Karena cuaca Kota Balikpapan sedang cerah, jadi kuputuskan
untuk menghabiskan akhir pekan ini di pantai menikmati waktu sendirian. Kupikir
akhir pekan ini akan sangat sempurna. Namun tepat saat ide itu datang, Dito
menelponku. Duh apa lagi sih, Dit?
Aku teringat kejadian kemarin di studio saat Dito memergoki
kameraku yang lebih banyak menyimpan foto Cico daripada dirinya dan Iga.
Sebetulnya, itu bisa saja tidak berarti apa-apa. Tapi Dito tahu, aku dan Cico
pernah mempunyai sejarah.
“Lo mau ke mana? Gue ikut!” serbunya setelah kusapa “halo”.
“Ih, kok lo ge-er banget. Siapa yang mau ke mana sih?”
“Gue tahu lo ga ada acara kan hari ini? Ayo jalan!”
“Selain menyebalkan. Lo sok tahu.”
“Tapi ganteng.”
Setelah perdebatan panjang yang sungguh tidak penting antara
aku dan Dito di telepon, akhirnya aku menyerah membiarkannya masuk ke dalam
rencana akhir pekanku.
Sejam kemudian, aku sudah berada di atas sepeda motor Dito,
berboncengan dengannya menuju Pantai Kemala.
Kami berjalan-jalan menyusuri pantai. Bermain-main dengan
ombak. Melesakkan kaki kami ke dalam pasir yang lembut dan hangat. Duduk
memandangi laut yang biru. Dan menebak-nebak seberapa jauh jarak untuk
menggapai garis cakrawala di depan kami. Aku tidak percaya, setidaknya pagi
itu, kami bisa akur.
Menjelang siang, perut kami kelaparan. Aku dan Dito mencari
warung di sekitar pantai dan memesan makan siang. Ketika dua ekor kepiting
bumbu balado dan dua piring nasi putih yang mengepulkan asap telah berada di
hadapan kami, reflek, aku menyambar kameraku dan membidikkannya terhadap
pemandangan yang membuat perut semakin beringasan itu.
“Sari, coba taro kamera lo deh. Gak semua yang lo liat harus
lo bagi di sosmed.”
“Astaga, lo beneran sotoy ya, Dito. Lagian siapa coba yang
ngambil foto ini buat feed di sosmed? Kalopun iya, memangnya apa salahnya dan
apa urusan lo ngatur-ngatur?”
Seperti biasa, setelah puas melemparkan kebiasaan
sarkastisnya, Dito hanya terkekeh dan berkomentar singkat, “Sewot.”
Selanjutnya, kami sama-sama tidak mengeluarkan sepatah kata
pun selama menghabiskan jatah makan siang masing-masing. Kepiting balado
superenak itu rupanya sukses membungkam komentar-komentar dari mulut Dito untuk
kemudian serius menikmatinya.
Baru setelah tidak ada lagi sisa makanan di piringnya, Dito
menyenggolku meminta tolong diambilkan poci yang terletak di ujung meja dekat
piringku.
Kutuangkan teh dari poci itu ke gelas Dito yang segera saja
ia tarik ke mulutnya begitu terisi penuh. Duh, ada apa dengan kelakukan
laki-laki satu ini, sih.
Lalu ketika ia bahkan masih meminum tehnya, Dito bergumam
tak jelas sampai beberapa percik air teh menyembur dari mulutnya mengenai
tanganku. Aku jelas langsung memelototinya dan kutarik gelas itu dari mulutnya.
Dia tersedak.
“Kalo ngomong jangan sambil kumur-kumur. Udah gila lo, ya?“
Kuletakkan gelasnya di atas meja keras-keras.
Dito berlagak tak peduli omelanku. Ia malah menatapku serius
dan melempar pertanyaan yang membuat giliranku tersedak sekarang, “Lo masih
sayang sama Cico?”
Aku tidak langsung menjawab. Aku berpura-pura berkonsentrasi
mencuci tangan. Kulakukan hal itu lama seolah-olah tanganku akan berkilau
seperti berlian setelah kurendam lama di air kobokan.
“Sari..” Dito memanggil namaku lembut. Ia sepertinya serius
menanyakan hal tadi. Tatapannya yang tulus meminta jawaban membuatku menyerah.
“Semua udah lewat lama banget, Dito.”
“Tiga bulan kita kerja bareng. Dan lo masih salah tingkah
setiap kali berhadapan dengan Cico.” Dito berkata pelan.
Duh, Dito, sedang apa sih kamu sekarang?
Aku benci kalau ucapan Dito kali ini benar. Aku benci aku
tidak bisa berpura-pura kalau aku baik-baik saja. Aku benci aku harus menangis
di hadapan Dito.
___
Tiga bulan yang lalu, Iga, kawan lamaku menghubungiku. Ia
ingin aku mengurus band yang dia bentuk bersama teman-temannya. Mereka senang
memainkan lagu-lagu British dan sangat menyukai band Oasis. Meski masing-masing
memiliki pekerjaan di luar jalur musik, tetapi mereka mencintai musik dan
memiliki komitmen untuk menjalankan band secara serius.
Aku pun tertantang. Aku tidak pernah menjadi manajer band
sebelumnya, tetapi pekerjaanku yang reporter majalah musik membuatku tidak
asing dengan dunia anak band. Aku tahu jurus bagaimana mengurus sebuah band
hingga menjadi besar. Maka kuterima tawaran Iga untuk bekerja sama.
Bukannya aku tidak tahu, bahwa Cico adalah bassist dalam
band bentukan Iga. Iya, Cico. Dua tahun lalu, aku pernah dekat dengan Cico.
Namun kupikir, sekarang tentu semuanya sudah jauh berbeda.
Ternyata, aku tidak terlalu jitu.
Jantungku sering tidak beres saat Cico berada di hadapanku.
Dan aku bukan orang yang pandai menata perasaan. Jadi, teman-temanku di band
termasuk Cico sendiri sudah barang tentu bisa membacanya dengan jelas.
Aku sempat mengutarakan maksudku untuk mundur saja dari band
kepada Iga, namun dia mempertahankanku. Ia mengajakku berbicara empat mata.
Saat itu aku tahu, aku bukan sendirian menghadapi ini. Iga memberitahuku, bahwa
Cico juga merasakan hal yang sama.
Meski Cico sudah berjanji pada Iga untuk tidak membawa
perasaan dalam urusan ngeband, namun ia tetap berterus terang juga pada
vokalisnya yang berkharisma itu tentang apa yang dia rasakan.
Aku tahu, seharusnya aku senang. Tapi itu rasanya salah.
Kutelisik lagi perasaanku, ternyata aku merasa pilu.
Aku dan Cico sama-sama tahu, meski kami masih saling
menyayangi, kami tak mungkin bisa bersama lagi karena sebuah alasan yang tak
ingin kuingat lagi.
___
Setelah malam curhat bersama Iga itu, esoknya aku merasa
lebih tenang. Aku berusaha keras mengenyahkan kekakuan dalam gerikku. Cico pun
melakukan hal yang sama. Ia berusaha keras menjadi ‘teman biasa’ bagiku.
Ternyata, begini lebih mudah.
Dua bulan kemudian, aku melihat Cico menggandeng perempuan,
seorang pacar baru. Aku ikut merasa bahagia. Pacar Cico sering menonton band
kami manggung. Lalu ikut tertawa-tawa bersama kami dalam satu meja tongkrongan
setelah pertunjukan usai.
Aku sendiri tidak terlalu akrab dengan pacar baru Cico.
Karena aku lebih sering diajak pulang lebih cepat dari anggota band yang
lainnya oleh Dito.
“Aduh... gue paling males lah kalo udah nongkrong sehabis
manggung. Ujung-ujungnya minum, ngerokok. Mending gue makan bubur aja deh sama
lo.” Begitu alasannya setiap kali “menculik”-ku.
Sudah hampir dua bulan juga, Dito rutin mengantarku pulang.
Ia berdalih bahwa seorang perempuan bahaya pulang malam sendirian. Aku sendiri
tidak ada masalah. Aku pun merasa sudah bisa berdamai dengan Dito. Ia semakin
menyenangkan. Umpatan-umpatan noraknya yang kasar dan tidak jelas agak
berkurang dari mulutnya.
Yang terpenting, Dito sudah mengenalkanku pada tempat makan
bubur yang superenak. Ia sering memintaku untuk menemaninya makan bubur
malam-malam. Aktivitas favoritnya sejak lama.
“Lo nemu tempat ini sejak kapan sih?” Aku bertanya penasaran
pada satu malam makan bubur bersama Dito.
“Dari jaman gue SD. Jaman gue sering diajak nemenin Ibu
belanja ke pasar.”
Aku melirik laki-laki tua penjual bubur yang memiliki senyum
ramah dan berkopiah hitam di depanku. Ia sedang menyiapkan dua piring bubur
polos tanpa kacang untuk dua perempuan baya di meja sebelahku.
“Berarti, Bapak itu sudah berjualan lama sekali ya, Dit.”
“11 tahun,” Dito menjawab pendek, lalu kembali menyuapkan
bubur ke mulutnya, “namanya Pak Iyo.”
Aku menatap Pak Iyo sekali lagi. Aku selalu kagum pada
orang-orang yang memiliki persistensi yang tinggi, seperti Pak Iyo, bapak
penjual bubur di depanku ini.
“Band kita harus bisa bertahan selama atau bahkan lebih lama
dari 11 tahun, ya, Dit.”
Dito menandak semangat, “Setuju. Biar gue bisa selama itu
juga makan bubur sama lo.” Wajahnya menampilkan cengiran lebar. Sorot matanya
seolah terbuat dari ratusan pijar, memendarkan sesuatu yang kurasakan seperti
sebuah harapan, tepat ke balik dua bundar mataku.
Mau tidak mau aku tersipu.
___
Bagiku, waktu adalah satu dari jutaan elemen menakjubkan
yang ada di semesta ini. Ia bisa menyembuhkan. Ia pun bisa menumbuhkan.
Malam ini aku bersama bandku sedang memenuhi undangan untuk
memeriahkan acara perayaan pergantian tahun di sebuah kafe. Aku tak pernah
merencanakan lensa kameraku lebih sering membidik ke arah paling belakang
panggung, tempat dimana Dito seolah tengah tenggelam dalam dunianya yang paling
meriah sepanjang pertunjukan. Namun itulah yang kusadari kemudian ketika aku
memeriksa kameraku.
Sepulang dari pertunjukan, aku terus memijit tombol view
pada kamera dan tersenyum sepanjang mataku menatap gambar-gambar wajah dengan
ekspresi seolah pemilik wajah itu berlimpah energi bahagia.
For God's sake, Dito could charm any girl that he wants.
Aku tak tahu apa yang sedang tumbuh dari dalamku. Yang
kurasakan, saat mengingatnya sekarang, sesuatu yang hangat menjalar ke seluruh
bagian tubuhku.
Esoknya, tepat di hari pertama di tahun yang baru, kucetak
salah satu gambar Dito dan kukirimkan padanya setelah kutulisi bagian belakang
gambar itu dengan tulisan tanganku sendiri :
“Selamat tahun baru untuk penggemar nomor satu bubur Pak Iyo
:)”
Begitu saja.
Semua kulakukan begitu saja.
Comments