Langit di atas puncak Pananjakan ini masih gelap. Aku sampai ketika ratusan orang sudah berada di sini entah sejak kapan. Mereka tampak sibuk bergerak, mencari tempat terbaik untuk melihat wajah matahari yang akan terbangun tak lama lagi. Pastinya, wajah matahari yang lugu, ramah, hangat, yang selalu kita nanti setiap pagi. Yang juga akan mengurangi dingin yang saat ini begitu melekat di tubuhku meski sudah kupakaikan baju hangat.
Aku memlih tempat berdiri di antara mereka, melipat tangan berbalut sarung berwarna biru, memeluk tubuhku sendiri. Orang-orang di sekelilingku masih bergerak tak sabar. Mengeluarkan suara-suara yang terdengar antusias namun tercekat karena udara dingin.
Aku menanti matahari terbit sambil mengingat rinduku pada seseorang yang pernah menjadi matahari dalam hidupku. Aku mengerjap kuat saat menyadari, sejak matahariku pergi, betapa lama sudah kubiarkan waktu melesat tanpa pernah satu jeda pun kuminta ia melambat.
Orang-orang di depan, di samping, dan di belakangku semakin riuh. Ternyata langit mulai memerah. Sebentar lagi matahari yang kami tunggu akan muncul. Ratusan tangan yang memegang kamera itu siaga. Seolah tak ingin melewatkan satu gerakan pun saat matahari meninggi. Mereka begitu serius dengan urusan memotret matahari terbit.
Aku sendiri tak membawa kamera. Aku tak biasa memotret. Aku hanya ingin mengenalkan rinduku pada tempat ini, rumah asalnya, tempat dimana ia tumbuh hingga menjadi banyak dan sering gaduh di belakang dadaku.
Penyemai rindu itu adalah seorang pria bernama Remedy. Ia teman sebangkuku saat kami sama-sama duduk di kelas 3 SMA dulu. Remedy adalah siswa pindahan dari Kediri. Ia siswa yang sangat pintar namun tidak terlalu menyenangkan bagi teman yang lain. Ia hanya mau berteman denganku. Entahlah, tapi aku merasa tak ada yang salah dengan sikap Remedy.
Aku dan Remedy semakin dekat. Kami berdua sering bertukar cerita tentang apa pun. Tentang keluarga kami. Tentang masa kecil kami. Juga tentang mimpi-mimpi kami di masa depan. Kami mengerjakan berbagai hal bersama-sama. Menyelesaikan tugas dari guru, sampai mencoba kuliner di seluruh penjuru Kota Malang.
Tiga tahun lalu, kami merayakan kelulusan sekolah dengan berwisata bersama ke Bromo. Di puncak Pananjakan kala itu, di depan matahari yang sedang bergerak perlahan menuju langit, kami berdua mengingat-ingat, pada detik mana yang telah kami lalui bersama, kami saling menyimpan hati masing-masing tanpa permisi.
Ketika sinar matahari mulai hangat, tangan Remedy menggenggam erat tanganku seolah tak ingin berpisah. Aku sempat yakin, aku dan Remedy akan selalu bersama-sama. Namun tentu saja keyakinan kadang-kadang dipatahkan oleh kenyataan. Remedy pergi juga akhirnya, dan aku merasakan pupus harapan untuk pertama kalinya.
Ia melanjutkan kuliah di London, sementara aku tetap di Malang, ditemani ratusan detik yang kuhimpun untuk merelakan Remedy. Seringnya aku menyerah dan membuyarkan himpunan itu dengan tangis saat kusadari bahkan seribu detik pun tak akan pernah cukup untuk aku merelakannya.
Lalu setelah ribuan detik itu, Remedy muncul begitu saja meminta sebuah perjumpaan.
___
Menjelang petang di Pulau Sempu, aku menemani Remedy duduk beralaskan pasir putih yang halus, memandang ke laut yang begitu jernih. Kami tak banyak bicara, tapi rasanya kami sudah menceritakan semua.
Aku menoleh memperhatikan wajah Remedy. Ia masih mengenakan kaca mata yang sudah dipakainya sejak kelas 3 SMA. Wajahnya terlihat semakin dewasa di balik kaca mata lama itu. Lesung pipitnya masih di sana, muncul kapan saja jika ia tersenyum. “Kamu gak banyak berubah, Dy.” Aku tak bisa menahan ucapanku.
Remedy tertawa memamerkan lesung pipitnya. Ia membetulkan kaca mata kesayangannya, lalu melekatkan tatapnya pada wajahku. Ia tersenyum seraya berkata, “Semuanya memang nggak pernah berubah, Tami.”
Aku menahan napas, merapikan detak jantung yang entah mengapa tiba-tiba saja melonjak tak beraturan. Mulutku mengeluarkan gumaman pendek demi mengatasi rona malu yang menyemburat memoles wajahku rapi. Setelah itu aku diam, atas nama gelagap yang tak ingin kutunjukkan. Aku pun menghindari telisik mata Remedy yang-minta ampun, masih saja tak sanggup kuhadapi!
Maka kusapukan mataku pada warna biru yang seolah tumpah dari tangan pelukis berwajah cerah dan berhati tabah di langit sana. Remedy mengikuti pandanganku. Ia tampak khusyuk mengagumi warna biru yang sama. Langit yang semakin sendu di atas kepalaku itu kemudian seolah bergerak memeluk tubuhku lembut, meninggalkan aroma secangkir teh hangat di dalam hatiku.
Maka kusapukan mataku pada warna biru yang seolah tumpah dari tangan pelukis berwajah cerah dan berhati tabah di langit sana. Remedy mengikuti pandanganku. Ia tampak khusyuk mengagumi warna biru yang sama. Langit yang semakin sendu di atas kepalaku itu kemudian seolah bergerak memeluk tubuhku lembut, meninggalkan aroma secangkir teh hangat di dalam hatiku.
“Tam,” Remedy tiba-tiba memanggil namaku. Ia mencari biji mataku sebelum melanjutkan, “aku minta maaf.”
Tubuhku mengerut. Ia seharusnya tahu, aku selalu memberi maaf untuknya bahkan jika ia tak pernah meminta. Lagi pula, kamu tak bersalah tentang apa pun, Dy.
“Semoga kamu berbahagia.” Suaranya lemah dikalahkan suara-suara ombak yang berlomba mencuri perhatian kami. Kubiarkan mereka menghuni jeda. Jeda yang memaksa semesta untuk mampu menjawab semua pertanyaan yang betah bersemayam di kepala kami sejak mula, sampai akhirnya ia memilih menyimpan semua jawaban kami bersamanya.
Kami tahu, semesta tak kuasa menyampaikan penjelasan.
Tak ada suara. Hanya dersik angin yang berbisik sendu, mengantarkan usapan tangan langit pada ujung mata kami yang deras memuntahkan sesal.
Rasanya, aku ingin melesak saja ke dalam pasir bersama cincin yang telah disematkan seorang pria baik ke jariku tepat sebelum Remedy pulang.
Aroma teh hangat di hatiku telah lenyap. Cangkirnya pecah terserak di sudut yang senyap.
Aroma teh hangat di hatiku telah lenyap. Cangkirnya pecah terserak di sudut yang senyap.
Comments