Skip to main content

Arunika

Ratusan lampion merah berjejer menggantung, menghiasi beberapa jalan di Kota Medan. Kue–kue khas Imlek juga mulai memenuhi rak pajangan toko-toko dan mal di kota ini. Pergantian Tahun Baru Imlek akan tiba dalam hitungan hari. Sigit semakin giat berlatih memainkan barongsai bersama teman-temannya demi menampilkan atraksi terbaik di area Vihara Maitreya pada hari H nanti. Belakangan ini Sigit merasa semangatnya bertambah berkali–kali lipat. Perasaanya seperti selalu ingin tertawa. Sigit sedang jatuh cinta. Ia tahu, perempuan itu penyebabnya.

Seminggu yang lalu, usai latihan, Sigit melihatya sedang bersembahyang di Vihara Maitreya. Perempuan berambut hitam panjang itu membakar ujung tiga buah lidi dan menggenggam lidi yang sudah terbakar itu di depan dadanya. Wajah tulus perempuan itu ketika ia berdoa membuat hati Sigit diselimuti rasa hangat.

Sigit memerhatikan perempuan itu dari balik pintu. Ia tidak ingin membuat perempuan itu merasa terganggu, walau sebetulnya ia sungguh ingin mendekat.

Setelah berdoa, perempuan itu beranjak ke depan patung Dewi Kwan Im. Ia menatap patung itu cukup lama. Entah apa yang dipikirkannya. Perempuan berperawakan kurus itu pun tak melakukan apa-apa. Hanya matanya yang berkedip dalam senyap dan dadanya yang turun naik, menghirup dan menghembus udara sejuk vihara itu.

Jari–jarinya yang sedari tadi tak bergerak, mulai memilin rok bermotif bunga yang dikenakannya. Matanya memeriksa jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Sepertinya ia tak akan lama lagi ada di sana.

Tangannya yang memainkan rok setinggi lutut itu, berpindah menyodok isi tas yang tersampir di bahunya. Ia sedang mencari sesuatu. Tak lama, gerakannya berhenti. Tampaknya yang dicari sudah ketemu.

Ia mengeluarkan botol minum hijau, mereguk isinya agak terburu hingga tersedak. Sigap, ia melap mulutnya dengan punggung tangannya. Perempuan itu menyibak poninya asal, lalu menutup botol minum hijaunya, dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Mata Sigit terus melekat pada gerak–geriknya.

Perempuan itu berjalan meninggalkan patung Dewi Kwan Im. Ia menyambar sepeda miliknya yang terparkir di depan vihara termegah di Kota Medan itu, lalu mengayuhnya terus sampai menjauh dari tempat Sigit berdiri.

Sedapat yang diamati Sigit, wajah perempuan yang manis itu tampak dirundung mendung ketika meninggalkan vihara ini. Geriknya seperti orang yang kebingungan.

Entah apa yang menggerakan kedua kakinya. Sigit berlari secepatnya meninggalkan tempatnya berdiri, mengejar perempuan yang ia amati sejak tadi. Untunglah perempuan itu mengayuh sepedanya pelan, sehingga Sigit tak kesulitan untuk menemukan ke mana arah perempuan itu pergi.

Di ujung gang, tiba–tiba perempuan itu menghentikan sepedanya. Ia turun dari sepeda, membawa masuk satu kantong plastik ukuran sedang berwarna putih ke dalam sebuah rumah. Loh, itu kan rumah Bang Haikal? Ada urusan apa perempuan itu dengan abangku? Pikir Sigit.

Sigit baru saja memasuki pekarangan rumah abangnya ketika perempuan itu sudah kembali menyambar sepedanya dan mengayuhnya menjauhi Sigit. Mereka sempat berserobok pandang, namun tak ada kata–kata yang diucapkan.

“Kau menguntitnya!?” Bang Haikal berseru dari teras rumahnya, mengagetkan Sigit.

“Apa? Tidak!” Sigit balas berseru dari pagar rumah kakaknya itu.

“Masuk kau!” Bang Haikal membalikkan badannya, memasuki rumah mungil bercat putihnya.

Sigit mengikuti Abangnya dari belakang. Kemudian ia memilih duduk di ruang tamu. Ada banyak toples kue diletakkan di atas mejanya. Sigit mengambil satu toples. “Siapa gadis tadi, Bang?”

Bang Haikal melepas sarung dan kopiahnya, lalu duduk berselonjor di depan televisi yang sedang menayangkan berita sore, hanya mengenakan celana pendek dan kaus. Tak ada sekat antara ruang menonton televisi dan ruang tamu, Sigit dan Bang Haikal bisa mengobrol meski duduk di ruangan berbeda.

“Namanya Arunika. Dia keponakan Ko Alex, pemilik toko kue di jalan depan rumah kita dulu. Kau tahu?”

Sigit mengangguk.

“Baru dua minggu dia datang dari Jakarta.” sambung Bang Haikal.

“Dia tadi kemari? Mau apa?”

“Mengantarkan kue bulan pesanan Bibimu. Tuh.” Bang Haikal menunjuk dua tumpuk kotak kue bulan di meja di hadapannya.

Bang Haikal melirik adiknya. Ia memperhatikan Sigit yang sedang mengunyah kuenya pelan sekali. Wajah Sigit seperti melamunkan sesuatu. Ia duduk di sana, tapi rasanya pikirannya tidak. “Aha! Kau suka dia, Git?”

“Tidak.” Sigit menjawab cepat, kaget dengan pertanyaan yang tiba–tiba itu.

“Tapi kau menguntitnya sampai ke mari.” Bang Haikal tak menyerah.

“Aku tidak menguntitnya. Ini kan jalan pulangku.”

“Ah, terserah kau lah.” Bang Haikal memindah-mindahkan saluran televisi sambil terkekeh.

Di ruang tamu, Sigit terdiam memeluk toples kue yang hampir habis setengah. “Kenapa dia pergi dari Jakarta, Bang?”

___

Sigit kembali melihatnya. Kali ini ia duduk di pinggir danau di sebelah Vihara Maitreya. Ia sedang mengajak bercanda bangau-bangau yang berkumpul di sekitaran danau. Sigit memerhatikannya selama lima menit, hingga tak sadar bibirnya telah menyunggingkan senyum. Tak tahan hanya memandangi dari jauh, Sigit memutuskan untuk mendekati gadis itu dan mengajaknya berbicara.

“Halo, Arunika.”

“Oh, kau.”

“Aku Sigit, adik Bang Haikal.” Sigit menyodorkan tangannya.

Arunika menyambutnya sambil tersenyum, “Panggil aku Runi saja.”

“Oke, Runi.” Sigit menuruti instruksi dari gadis yang sedang dihadapinya. “Kau sering sembahyang di sini tampaknya?”

“Seperti yang kau lihat.” Arunika kembali tersenyum.

“Kudengar kau baru datang dari Jakarta?”

Sigit berpikir, pertanyaannya barusan mungkin kurang menyenangkan, ketika ia menyaksikan wajah manis Arunika langsung berubah mendung. Mimiknya persis seperti ketika ia meninggalkan vihara ini beberapa hari lalu. Sigit serba salah. Ia tak tahu apa yang sudah dilakukannya. Ia hanya ingin mengobrol dengan perempuan di hadapannya ini. “Maaf, Runi. Kau kenapa?”

“Aku tidak apa–apa.” Arunika menjawab pendek.

Sigit memutuskan untuk tidak memperpanjang, “Saat perayaan Imlek nanti, aku akan mempersembahkan atraksi permainan barongsai bersama kelompokku di Vihara Maitreya. Kau akan menontonnya, kan?”

“Tentu saja.”

___

Malam perayaan pergantian tahun Imlek berjalan meriah di mana–mana, termasuk di pelataran Vihara Maitreya. Semua orang yang hadir untuk berdoa atau pun sekadar menonton atraksi barongsai dan liong tampak bahagia. Tahun baru seolah lembaran yang putih, tentu saja selalu menawarkan harapan yang baik bagi hidup siapa pun.

Sigit sudah selesai dengan atraksinya. Ia sudah berganti pakaian. Satu hal yang sangat ingin dilakukannya sekarang adalah menghampiri wajah yang sedari tadi menonton atraksinya dengan dua mata yang indah. Wajah yang beberapa hari ini sering menemaninya.

Hati Sigit merekah seperti bunga yang sedang mekar begitu wajah yang dicarinya berada tepat di hadapannya. Wajah itu tersenyum cerah seperti sinar rembulan saat purnama. “Kau menontonku. Terima kasih, ya, Runi.”

“Atraksimu luar biasa, Sigit. Kau pasti tidak main–main saat berlatih.” Arunika memuji tulus.

“Kau tau dari mana?” Sigit tertawa senang. Rasa letihnya seakan hilang entah ke mana.

“Aku sudah melihatmu sejak hari pertama aku datang di Medan, saat kau latihan. Sejak itu, aku melihatmu latihan setiap hari. Kau tidak tau, kan?” Arunika pun ikut tertawa.

Rupanya pengakuan Arunika itu cukup membuat Sigit kaget. “Bagaimana mungkin kau tidak ketahuan saat sedang mengintipku latihan?” Sigit menggaruk kepalanya, keheranan.

Lalu mereka kembali tertawa. Bersama-sama.

Mereka terus tertawa di sepanjang jalan pulang pada apa saja yang mereka obrolkan. Tak perlu alasan apa–apa untuk membuat mereka begitu. Mereka pun tak mencarinya. Yang mereka tahu, mereka sedang berbahagia.

Ketika sampai di ujung jalan, tawa mereka berhenti.

“Runi..”

“Ya, Sigit?”

“Kau cantik sekali.”

“Terima kasih.” Arunika tersenyum. Wajahnya manis sekali sampai-sampai Sigit ingin melumatnya habis.

Sigit menarik napas sejenak, “Runi, maukah kau jadi pacarku?”

Arunika terdiam. Wajah manis itu berubah miris. Setelah berpikir beberapa saat, Runi kembali membuka mulutnya, “Sigit, kau bisa menjaga rahasia?”

“Apa saja. Katakan, Runi..”

“Kau tahu bagaimana rasanya ketika semua sepupumu makan opor ayam dan kau hanya diberi jatah sepotong goreng tempe?”

“Apa maksudmu?”

“Bibi, adik dari Ibuku, melakukan itu padaku, Sigit. Dia berusaha mengucilkan aku dari dulu. Dia masih marah pada Ibuku yang telah memilih Ayah menjadi suaminya. Ayah dan Ibuku berbeda keyakinan. Ia tidak suka.” Arunika menunduk menyembunyikan air matanya yang mulai jatuh.

“Ma.. maaf, Runi.. Sekarang di mana orang tuamu?”

“Ibu ikut Ayah bertugas di Jepang. Tak ada lagi yang akan membelaku di Jakarta.”

“Karena itu kau memilih pulang ke Medan?”

Arunika mengangguk, “Iya, ke kampung halaman Ayahku ini.”

Sigit berusaha mencerna semua yang dikatakan Arunika. Kepalanya serasa berputar. Ia merasakan marah, sedih, segalanya.

“Lalu mengapa tadi kau ingin menceritakan ini padaku?”

“Sigit, dengar. Aku tidak memukul rata. Tapi mengertilah kalau aku mengalami trauma ini, Sigit.”

“Maksudmu?”

“Kau pasti mengerti. Kau tidak sembahyang di tempat yang sama denganku, bukan, Sigit?” Arunika meraih tangan Sigit, “Aku tak ingin memantik api.”

Kata-kata Arunika seperti datang dari sebuah tempat yang sangat gelap dan sepi di telinga Sigit. Perlu beberapa saat hingga ia memahami maksud gadis yang masih menggenggam tangannya itu.

Lalu kata-kata itu berubah menjadi terang. Sigit menarik kembali tangannya dari genggaman Arunika.

Di atas mereka, bulan yang terang menatap kedua manusia yang melangkah saling menjauh, membawa pulang rasa nyeri di balik dada masing-masing.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi