Skip to main content

Ironi kota musik

Terkadang, saya tidak merasa terganggu akan suatu hal sampai hal itu berkaitan langsung dengan saya.
___

Saya tahu, Bandung, kota kelahiran tercinta ini telah mempunyai aturan jam malam sejak awal 2014. Saya juga menyimak banyak pro kontra terhadap aturan terobosan ini. Tapi ya sudah, saya percaya bahwa setiap aturan dibuat untuk kebaikan.

Aturan jam malam di Bandung ini sendiri konon dibuat dengan tujuan untuk mengurangi tindak kejahatan di malam hari. Dengan aturan jam malam, keramaian di Bandung dibatasi hanya sampai pukul 00:00.

Dari beberapa artikel yang belum lama ini saya baca, sejak diberlakukannya aturan jam malam, Walikota Bandung Ridwan Kamil mengklaim tindak kejahatan di Bandung pada malam hari setidaknya berkurang. Sementara, masih menurut beliau, sektor wisata tidak terpengaruh dengan adanya aturan jam malam ini. Aturan jam malam pun diperpanjang. Karenanya, hingga saya menulis postingan ini, Bandung dipastikan masih menjadi “Kota Cinderella”.

Usaha penegakan aturan jam malam yang penuh kontroversi ini tentu saja tidak mulus dan diwarnai beberapa kisruh. Saya mendengar salah satunya dari sahabat saya sendiri. Saya tidak lupa ketika dia bercerita dengan kesal dan marah saat aksi panggung band idolanya, Sheila On 7, yang menjadi band penutup acara "The 90's Festival" di Bandung awal tahun ini, dihentikan secara paksa di tengah lagu oleh pihak kepolisian dengan alasan aturan jam malam. Lepas dari apa pun kendala teknis yang mungkin dialami penyelenggara, tentu saja kejadian seperti itu menjadi pengalaman pahit bagi semuanya. Terutama bagi band yang sedang tampil maupun bagi sahabat saya, fans yang sedang menikmati musiknya.

Kemudian beberapa hari yang lalu, tiba giliran saya harus mengalami kejadian yang sama dengan yang dialami sahabat saya pada awal tahun. Penyanyi idola saya, Afgan, harus membereskan penampilannya dengan terpaksa padahal ia baru tampil sekitar 20 menit karena pihak kepolisian telah merangsek ke area panggung untuk menghentikan acara. Tentu saja saya kaget, kesal dan marah. Saya heran, kenapa begitu kerasnya penegakan aturan jam malam ini pada konser musik yang bahkan mengusung tema positif seperti charity dan kampanye bahaya virus HIV/AIDS ini? Mengapa pantia-panitia yang merupakan anak-anak muda kreatif itu harus sampai berlutut memohon dan menangis kepada pihak kepolisian supaya tidak membubarkan acara secara represif?

Ironisme pada sebuah kota berjuluk Kota Kreatif, bukan?

Sebagai penonton yang sedang menikmati musik penyanyi idolanya, saya sangat terusik. Namun saya juga tidak menyalahkan panita, karena tentu saja kita semua mafhum, kendala apa pun bisa dan biasa saja terjadi pada sebuah event. Berempati terhadap Afgan, penyanyi yang sedang berusaha menyenangkan fansnya, saya yakin ia juga tidak akan merasa nyaman dengan kejadian yang harus ia hadapi kemarin. Afgan sampai harus memaksa agar ia bisa setidaknya menutup penampilannya dengan kesan baik bagi fansnya yang sudah menunggu dan begitu mencintainya pada satu lagu terakhir yang ingin ia nyanyikan.

Maafkan Bandung, ya, Afgan..

Saya pun tentu berusaha berempati dengan sikap pihak kepolisian yang datang malam itu. Mungkin mereka juga dituntut oleh penegakan aturan. Namun empati saya mendadak luruh ketika saya keluar dari area gedung pertunjukan, menyusuri jalanan Kota Bandung untuk pulang, dan menemukan banyak tempat hiburan malam yang masih buka dengan tenang.

Ya, meski himbauan mengenai aturan jam malam ini juga ditujukan kepada tempat-tempat hiburan malam, Perda No. 7/2012 yang menyebutkan tempat-tempat hiburan malam itu diperbolehkan buka hingga pukul 3 tetap tidak dicabut. Apakah aturan-aturan ini tidak bertabrakan atau melanggar satu dengan yang lain? Saya tidak paham.

Jika memang aturan jam malam ini masih harus tetap berlaku karena kebaikannya, saya hanya ingin aturan ini diberlakukan secara adil dan dengan pikiran yang terbuka. Saya tidak ingin lagi ada kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan pada konser musik mana pun. Bukankah Bandung berjuluk Kota Musik? Apa jadinya jika setiap kali acara musik yang baik di kota ini harus berakhir dengan pembubaran paksa dengan alasan aturan jam malam?

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi