Ia tetap menaruh matanya di balik lensa. Entah objek apa yang sedang dicarinya. Entah momen apa yang sedang ditunggunya. Ah, mungkin dia tidak mencari apa-apa sebenarnya. Pun tak ada momen yang ditunggunya. Ia hanya senang menyembunyikan wajahnya di balik kamera besar itu. Sesekali saja jarinya memijit tombol shutter. Lima belas menit ia melakukan itu. Lalu tiba-tiba saja ia mengangkat wajahnya dari kamera itu dan langsung menatapku. Aku kaget, jangan-jangan ia bisa membaca pikiranku barusan lalu marah. Tapi sepertinya tidak. Ia menarik tanganku sambil melangkah maju, “Kamu temenin aku sampai selesai, kan?”
Aku mengangguk dan tersenyum walau ia tak melihatnya, “Hari ini buat kamu, kok, Putri.”
_____
Putri, perempuan yang kujumpai dua tahun lalu ketika ia terkulai lemah di sebuah ruangan rumah sakit. Tangannya dibebat kain perban. Matanya memejam seperti ingin melupakan sesuatu. Beberapa goresan pecahan kaca melukai wajah cantiknya. Putri meringis perih. Kemudian tubuh di balik selimut itu menggigil. Rupanya ia sedang menahan isakan. Aku melangkah mendekatinya. “Kamu sudah bangun? Saya Galang, Doktermu.”
Putri membuka mata. Wajahnya seketika memelas, "Ibu saya di mana, Dok?” Saat itu aku tak langsung menjawab. Lebih baik kuperiksa lagi keadaannya. Aku senang ternyata tak ada luka yang terlalu parah akibat kecelakaan yang dialami Putri saat mengendarai motor bersama ibunya di hari sebelumnya. “Sebentar lagi kamu akan membaik, Put.” kataku.
“Dok, Ibu saya?” Putri masih menuntut jawabanku. Ia kini memperlihatkan raut yang membuatku iba. Tak sampai hati aku menambah sendu pada matanya yang bulat indah itu. Aku menghela napas, “Saya panggilkan keluarga kamu dulu, ya.”
_____
Duniaku berubah setelah bertemu Putri. Aku tahu aku telah jatuh cinta padanya sejak kudapati dia menangis di ruangan tempat ia dirawat dua tahun lalu itu. Setelah ia keluar dari rumah sakit, aku terus menghubunginya, menanyakan keadaannya. Apapun yang membuatnya sakit, hatiku turut merasa pedih. Aku tak ingin ia terluka. Aku ingin ia terus tertawa. Karena bahagianya telah menjadi alasan bagi bahagiaku.
Putri adalah perempuan yang kuat, dan aku semakin terpikat. Ia kembali beraktivitas dengan semangat seperti sebelum kecelakaan menimpanya. Ia menyelesaikan kuliah ekonominya, kemudian diterima di sebuah bank swasta nasional setelah lulus.
Di suatu sore, aku ungkapkan semua yang kurasakan pada Putri. Aku katakan inginku untuk terus menjaganya hingga waktuku habis. Demi Tuhan, aku bahagia saat ia berkata bahwa ia percaya padaku. Putri yang menjadi pasienku dua tahun lalu, tak lama lagi akan kunikahi.
_____
Hari ini adalah kesempatan terakhir aku bertemu Putri sebelum ia dipingit demi mengikuti tradisi keluarganya. Aku memanfaatkan hari ini untuk menemani Putri kemana pun ia mau.
“Aku mau motret di Sungai Musi, Lang.” kata Putri.
“I’m at your service, Putriku.”
Aku tahu apa maksud Putri minta ditemani ke tempat itu. Seperti janjiku, aku putuskan untuk menurut; menemaninya memotret di sekitaran Sungai Musi.
Sejak pagi kami sudah berada di sini. Langit di atas Sungai Musi pagi ini bak puding yang legit. Biru, jernih, dan tampak lembut. Awan putih bergulung-gulung serupa gula yang menghiasi di pinggirnya. Ingin kumakan saja rasanya.
“Lang, aku ingin makan.”
“Loh, belum sarapan?”
“Belum.” Dia menunjuk sebuah perahu yang menjual masakan di dalamnya. “Kita makan di sana ya!”
____
Ketika kami sudah duduk di dalam perahu, menunggu makanan yang kami pesan datang, aku minta izin pada Putri untuk melihat hasil foto-foto yang tadi ia ambil, “Boleh kulihat?”
“Boleh.” sahutnya.
Hasil jepretan Putri semakin baik sejak ia menemukan hobinya ini setahun yang lalu. Ia sangat jeli menangkap sebuah momen yang jarang orang lain sadari. Putri mampu menjadikan momen yang biasa menjadi luar biasa karena sudut pengambilan fotonya yang unik. Ia seolah ingin menyampaikan sebuah cerita melalui foto-fotonya. Seperti yang selalu senang ia lakukan, di sesi memotret kali ini ia banyak mengambil foto human interest.
Mataku berhenti di foto seorang ibu yang sedang menggendong anaknya duduk di bangku kapal. Anak itu terlihat aman dan nyaman dalam gendongan ibunya. Sementara mimik sang ibu begitu tenang. Foto yang indah, pikirku.
Aku tertegun lama di foto itu, membayangkan rindu hebat yang dirasakan perempuan yang kucintai yang sedang duduk di depanku ini pada ibunya. Sementara anak kecil yang digendong ibu di foto itu, seolah mempunyai tugas sendiri; memunculkan rasa pahit kehilangan di dadaku sendiri.
Wangi ikan bakar tercium oleh hidungku saat mataku semakin terasa panas. Untunglah makanan kami sudah datang. Kuletakkan kamera Putri di dekatnya, dan kualihkan perhatianku pada makanan, “Terima kasih, Put.”
Putri sudah mulai menyuapkan nasi ke mulutnya. Saat tangannya berusaha mencuil daging ikan, tiba-tiba ia berkata tanpa menatapku, “Suka foto ibu sama bayinya itu, Lang?"
“Eh, iya..” Aku tergagap.
Putri ternyata memperhatikanku tadi, batinku.
Setelah itu kami tak berbicara lagi. Kami menghabiskan makanan kami tanpa suara. Aku melirik Putri. Ia sedang meneguk air tehnya. Lalu perlahan ia meletakkan cangkir teh berwarna kuning yang kini kosong itu di meja.
Kini ia menatapku. Tangannya tergerak menjulur melintasi meja di antara kami, berhenti di atas tanganku. Segera kuraih dan kugenggam tangan itu lembut, "Kenapa, Put?"
“Aku ingin cerita pada Ibu tentang pernikahan kita.”
_____
Kami berkendara melintasi Jembatan Ampera menuju suatu tempat yang ingin kami kunjungi. Matahari semakin terik, udara terasa sangat panas. Di perjalanan ini kami lebih banyak terdiam, merenungkan pikiran kami masing-masing.
Dua tahun lalu, jembatan yang melintang di atas Sungai Musi ini menjadi saksi kecelakaan yang menimpa Putri dan ibunya. Putri selamat meski harus dirawat beberapa hari di rumah sakit, tapi ibunya tidak. Ibu Putri meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Akhirnya, kami sampai di sebuah tempat pemakaman umum. Di sinilah jenazah ibu Putri dimakamkan. Putri langsung berlutut di pinggir makam ibunya. Ia menundukkan kepala, membaca doa dengan khusyuk. Aku pun melakukan hal yang sama.
Selesai berdoa, aku mengajak Putri menuju pusara lain, pusara milik Adit, adikku.
Dua tahun lalu, di hari yang sama dengan hari ibu Putri dimakamkan, Adit pun dimakamkan di tempat pemakaman ini. Letak pusara keduanya tak terlalu jauh.
Adit meninggal di tempat dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Ia mengendarakan motornya dalam keadaan mabuk dan dengan kecepatan tinggi hingga menabrak motor lain yang juga sedang melaju di atas Jembatan Ampera, sebuah motor yang ditumpangi Putri dan ibunya.
Adit tak sempat mempertanggungjawabkan kelalaiannya itu di dunia. Mungkin di akhirat sana. Dan aku selalu memanjatkan doa meminta ampunan Tuhan bagi Adit.
Seiring doa-doa yang kupanjatkan sepanjang tahun, aku berusaha keras untuk berdamai dengan rasa bersalah, rasa marah, kehilangan, penyesalan, segalanya.
Aku sungguh lelah dan ingin melepaskan rasa bersalahku pada Putri dan pada adikku sendiri karena telah membiarkannya meninggalkan rumah dengan motor tanpa helm dan dalam keadaan yang buruk untuk berkendara. Andai aku bisa mencegahnya.
Kurasakan tangan Putri mengusap halus lenganku. Lalu gerimis turun perlahan. Aku menggamit lengan Putri, mengajaknya pulang.
Ibu dan Adit tak suka melihat kita menangis, ya, Put?
TAMAT
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com.
Comments