Skip to main content

Kotak hadiah pertemanan di sudut kota Bandung

Saya tidak mendapatkan ide untuk tulisan ini hingga saya keluar dari rumah dan bepergian dengan kereta api. Ide ini, saya tidak pernah bosan menuliskannya. Saya menyukainya, dan ingin menuliskannya kembali untuk tema terakhir #30HariKotakuBercerita.

-- 

Saya senang menganalogikan sebuah perjalanan hidup yang telah, tengah, dan akan dilewati seperti sebuah perjalanan kereta api. Iya, jalan hidup itu kadang ibarat rel kereta api. Kereta itu sendiri ibarat alat yang kita gunakan, yang akan membawa kita menuju kepada cita-cita, impian, dan tujuan kita masing-masing.

Ada kalanya kita harus berhenti di sebuah stasiun pemberhentian. Beberapa orang yang telah bersama kita dalam kereta, akan turun meninggalkan kita demi tujuannya sendiri. Dan beberapa orang baru akan naik, menggunakan kereta yang sama dengan kita, untuk mengejar tujuannya yang lain, yang kini sama dengan kita.

Stasiun pemberhentian itu ibarat sekolah, kampus, kantor, panggung pertunjukan, studio musik, acara televisi, halaman-halaman buku, track-track dalam CD album, kedai kopi, angkutan umum atau tempat dan media lain yang kita lalui dan alami. Di situlah kita akan bertemu dan berpisah dengan orang-orang dalam perjalanan mencapai tujuan kita masing-masing.

Sebagian pertemuan itu tentu saja saya alami di Kota Bandung, kota kelahiran saya.

Saya adalah orang yang percaya dengan sinkronisitas. Saya percaya, tidak ada yang terjadi dengan kebetulan. Dikelilingi dengan orang-orang atau teman-teman yang kini berada di dekat saya, yang suatu saat nanti mungkin juga akan berjauhan. Itu semua biasa saja. Bahwa kita awalnya berada dalam rel yang tak sama dengan tujuan berbeda pula. Lalu pada satu titik, pada sebuah stasiun pemberhentian yang saya sebutkan tadi, kita bertemu dan mengenal satu sama lain. Maka akan ada juga stasiun pemberhentian lain di mana kita dengan beberapa orang atau teman akan berpisah.

--

Kereta api akan terus berjalan, dan kita terus mengejar apa yang kita mau. Ada saatnya kita berpisah di sebuah persimpangan rel, atau di sebuah stasiun pemberhentian lain, kemudian bukan tidak mungkin kita kembali bertemu dan berjalan beriringan. Akan ada juga pertemuan-pertemuan baru dalam perjalanan nanti. Saat kita beriringan, berjalan dalam rel yang sejajar, bahkan berada dalam rel dan kereta yang sama, mari kita rayakan dengan membuka hati dan sapa.

Entah dengan cara apa dan di stasiun mana nanti kita akan bertemu, yang saya percaya, Bandung ibarat sebuah tangan terbuka yang selalu menunggu persahabatan.

Begitulah Bandung bagi saya. Setiap sudut kotanya seolah menyimpan kotak-kotak hadiah berisi pertemanan yang siap untuk dibuka jika kau mau membukanya.

--

Every person we meet has the potential to become very important in our lives. We just have to remain open to the possibilities and blessing each encounter might bring. - Anonim

Comments

. said…
Mantap sekali analoginyaaa... Aku juga percaya sama teori itu...

Makasih banget udah ikut meramaikan #30HariKotakuBercerita, ya. Aku jadi tahu lebih banyak lagi tentang Bandung, kota tempatku menimba ilmu dan berkali-kali jatuh cinta juga berkali-kali patah hati. :')
Terima kasih, Kak Iko! Semoga segera berjumpa di stasiun pemberhentian entah di mana, yaa..

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d