Skip to main content

Berdayakan kecintaan pada seni di Dago Pojok

Sebagai sebuah kota besar, sudah tentu banyak peluang untuk mencari nafkah di Kota Bandung. Dengan banyaknya peluang mencari nafkah, pada akhirnya akan ditemui beragam profesi yang bermunculan dan berkembang di kota ini. Mulai dari profesi yang sudah banyak dikenal orang, hingga profesi yang unik dan jarang dijalani. Melalui tulisan ini, saya ingin bercerita tentang dua orang Bandung yang belum lama saya temui, yang mendapatkan nafkah dari kecintaannya pada seni.

Pada satu akhir pekan di bulan lalu, seorang teman dari luar kota berkunjung ke Bandung. Sebagai tuan rumah, tentu saya harus siap jadi guide. Teman saya itu request destinasi wisata tradisional di Bandung. Mungkin dia sudah bosan dengan hal-hal yang terlalu modern. Nah, sebagai orang Bandung, saya seharusnya tahu di daerah mana destinasi seperti itu ada di Bandung. Akhirnya, setelah tanya sana-sini, saya menemukan satu destinasi wisata traditional di Bandung; Kampung Wisata Kreatif Dago Pojok. Jujur, saya pun baru pertama kali mendengar tentang Kampung Wisata ini.

Kampung Wisata Kreatif Dago Pojok, diprakarsai sejak 2011 oleh Rahmat Jabaril, seorang warga penggerak kampung kreatif, merupakan satu dari lima kampung kreatif yang telah diresmikan oleh Walikota kebanggaan Bandung, Ridwan Kamil. Kemudian dari review yang saya baca, Dago Pojok ini dinobatkan menjadi Kampung Kreatif karena ketertarikan warganya yang tinggi kepada kesenian. Sebetulnya, tanpa harus mencari tahu lebih banyak dan cukup berjalan saja menyusuri kampung itu, nanti kita bisa merasakan sesuatu yang lain di sana.

Akhirnya, pada akhir pekan yang cerah itu saya ajak teman saya mengunjungi Kampung Wisata Kreatif Dago Pojok. Di depan gang masuk terdapat papan sederhana dari kayu yang bertuliskan "Kampung Wisata Dago Pojok", menjadi petunjuk bahwa kami telah sampai di tujuan. Lalu kami mulai menyusuri sebuah gang yang cukup besar dan bisa dilalui mobil, tentunya dengan berjalan kaki lebih asik. Di sepanjang gang itu kami melihat banyak mural atau lukisan dinding yang bisa dimanfaatkan untuk berfoto.

Kami terus berjalan tanpa tahu apa yang akan kami dapat di sana. Sampai kami melihat gang-gang kecil yang terdapat di sisi kanan dan kiri gang besar itu. Kami mengikuti kaki kami yang memutuskan sendiri ke gang mana ia ingin melangkah. Coba tebak apa yang kami lihat? Kami melihat sebuah gang yang dihias oleh aneka rupa kerajinan tangan. Lalu kami menyapa ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan sebuah rumah. Dengan ramah mereka membalas sapaan dan menceritakan bahwa hiasan-hiasan di gang itu adalah hasil karya anak-anak muda Dago Pojok. Salah seorang Ibu menyarankan agar kami mengunjungi sebuah rumah yang katanya ditinggali oleh pengrajin wayang golek, tidak jauh dari situ. Kami setuju. Ia bahkan mengetukkan pintu rumah pengrajin itu untuk kami dan keluarlah seorang Bapak berusia sekitar 30-an, masih dalam keadaan mengantuk.

Pengrajin itu bernama Pak Nanang. Ia mempersilakan kami masuk. Setelah pamit sebentar untuk mencuci wajahnya, ia kembali menemui kami. "Semalam habis bergadang menemani bule main kecapi. Tuh di depan." Sambil tersenyum Pak Nanang bercerita, kemudian menunjuk sebuah sudut di jalan kecil di depan rumahnya yang ternyata semalam menjadi "panggung" konser permainan kecapi seorang turis asing yang sudah lama berada di Kampung Wisata Kreatif. "Selama di sini dia belajar main kecapi, dan sekarang sudah hebat mainnya."

Mendengar cerita Pak Nanang, saya jadi malu hati. Ternyata turis asing sudah lebih dulu menemukan Kampung Wisata ini daripada saya yang warga Bandung asli. Hehehe.

Pak Nanang dengan kerajinan wayang buatannya.

Pak Nanang kemudian mulai bercerita bagaimana ia bisa menjadi seorang pengrajin wayang. Ternyata Pak Nanang ini adalah putra dari seorang dalang. Tidak heran jika akhirnya ia memiliki kecintaan yang lebih terhadap seni bahkan mampu membuat kerajinan wayang golek. "Semua saudara saya berdagang di pasar, cuma saya yang terjun ke seni. Hidup dari seni itu susah sejahtera, kata orang. Tapi yang penting buat saya adalah kepuasan."



Di ruang tamu yang juga berfungsi sebagai workshop, Pak Nanang memajang karya-karyanya. Kerajinan wayang buatannya dibandrol mulai harga Rp. 250.000,-.

Saat kami bertanya apakah ia akan membuat wayang hari ini? Pak Nanang tersenyum lesu. "Saya sedang tidak ada inspirasi." Menurutnya, setiap akhir pekan ia pasti membuat wayang. Tapi minggu-minggu itu keluarganya sedang berkabung. Kios Kakak Pak Nanang di Pasar Gede Bage menjadi salah satu yang ikut terlahap api kebakaran.

Kami prihatin mendengarnya. Musibah tidak pernah memilih kepada siapa ia akan menimpa. Semoga Pak Nanang segera menemukan kembali inspirasinya.

Kami pamit dari Pak Nanang, ingin memanfaatkan waktu kami yang sedikit hari itu untuk menemukan orang luar biasa lainnya. Pak Nanang menyebut nama Pak Akim, seorang pengrajin alat musik dari bambu. Kami keluar dari gang kecil lalu kembali berjalan menyusuri gang besar. Setelah berapa meter berjalan, kami kehausan. Kami melihat penjual jus dan memutuskan untuk membelinya. Saat kami bercerita bahwa kami sedang mencari rumah Pak Akim, Akang penjual jus itu dengan suka hati mengantarkan kami sampai ke depan pintu rumah Pak Akim. Ih atuh. Di mana cik aya urang Bandung anu henteu someah?

Beruntung, Pak Akim sedang tidak kemana-mana. Seperti Pak Nanang, ia menyambut kami dengan hangat. Di teras rumahnya yang juga berfungsi sebagai workshop, Pak Akim semangat memamerkan alat-alat musik dari bambu buatannya. Ada eteng-eteng, kendang cilempung, cilempung renteng, keprak, dan lain-lain. Pak Akim tidak hanya mampu membuat alat musik dari bambu, tetapi ia juga piawai memainkan alat-alat musik itu. Selain membuat alat musik yang sudah dikenal masyarakat, Pak Akim juga berinovasi menciptakan alat musik baru.

Pak Akim di depan workshopnya.

Dulu, Pak Akim adalah seorang pembuat kerajinan Bali. Lalu karena kecintaannya pada seni musik Sunda, Pak Akim akhirnya beralih profesi menjadi pengrajin alat musik dari bambu.




Pak Akim membandrol alat musik buatannya mulai dari harga Rp. 35.000,-.

Pak Nanang maupun Pak Akim belum mempunyai galeri atau toko khusus untuk barang-barang kerajinannya. Jika kamu ingin memesan, langsung saja temui mereka di rumahnya di Kampung Wisata Kreatif Dago Pojok.

Saat kamu menonton pertunjukan wayang atau pertunjukan seni musik dan tari Sunda, bisa jadi Pak Nanang dan Pak Akim adalah seniman-seniman di balik gagahnya rupa wayang atau merdunya suara kendang.

___

"Desire! That’s the one secret of every man’s career. Not education. Not being born with hidden talents. Desire." – Bobby Unser, Retired Car Racer.

Comments

. said…
Bagus, nih! Baca ini kayak baca artikel di koran. :D
hahaha. hatur nuhun, kak iko :D

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi