Skip to main content

There will never be a time when life is simple

“Nyuci kaus kaki yang bener itu kayak gimana sih, Tar?” Cira meletakkan carrier 60L-nya di lantai teras kost yang sepi itu, lalu melemparkan tubuhnya di kursi. Di depannya, Tara, sahabat Cira yang menempati kamar kost tepat di sebelah kamarnya, sedang asik duduk membaca sebuah majalah. Kedatangan Cira yang tiba – tiba membuat Tara terpaksa menutup halaman fashion yang sedang dibacanya.

“Hey! Udah dateng lo? Kasih salam dulu kenapa sih? Gua baru nemu orang yang turun gunung, langsung tiba – tiba nanya gimana cara nyuci kaus kaki..”

Cira tertawa menanggapi sahabatnya yang sudah ia bikin kaget sekaligus bingung.

Sambil membetulkan kaca mata yang ia kenakan, Tara memperhatikan Cira yang kini melorot duduk di lantai. Ada yang harus ia sampaikan pada sahabatnya itu.

“Capek banget gue..” Cira menggulung rambut panjangnya. Wajahnya terlihat lelah. Tapi Cira nampak puas. Cira memang menyukai kegiatan traveling. Dan akhir – akhir ini, ia sedang senang naik gunung. Menurutnya, ia ketagihan setelah kali pertama mencoba mendaki Gunung Papandayan di daerah Garut, Jawa Barat. Pendakian ke Gunung Papandayan waktu itu, memang salah satu acara wajib dari serangkaian kegiatan selama masa pendidikan yang harus diikuti oleh setiap peserta Officer Development Program Bank Madani, Bank dimana Cira bekerja saat ini.

Pendakian Cira yang kedua adalah ke Gunung Gede di daerah Bogor, Jawa Barat. Cira sempat bercerita pada Tara tentang Alun – Alun Suryakencana, sebuah padang Edelweis yang luas yang ia temui di sana. Tara sangat tertarik pada bunga abadi itu. Sebuah artikel di majalah favoritnya, pernah mengulas Edelweis yang bisa hidup hingga 100 tahun itu. Melihat secara langsung Edelweis tumbuh di pohonnya adalah impiannya. Cira pernah mengajak Tara untuk ikut serta naik gunung bersamanya, namun Tara menolak. Ia masih khawatir penyakit ashma-nya akan kambuh ketika mendaki. Tara sudah cukup senang hanya mendengar cerita perjalanan mendaki dari Cira.

Cira selalu melakukan pendakian di saat libur akhir pekan. Jumat malam sepulang kerja, Cira akan berangkat bersama rombongan trip gunungnya. Dan Minggu malam, ia akan sudah kembali di kost-annya. Setelah membersihkan diri dan membereskan barang – barang bawaan juga pakaian kotornya, Cira akan membagi ceritanya pada Tara hingga subuh tiba.

Malam itu, Cira baru saja turun dari pendakian ketiganya, Gunung Cikuray, di daerah Garut, Jawa Barat. Kemejanya basah dan bau oleh keringat. Jeans yang dipakainya kotor oleh tanah. Karrimor yang sedang berusaha ia lepaskan dari kakinya tampak penuh lumpur. Kaus kakinya.. kaus kaki yang dikenakan Cira tampaknya baru. Tara tidak pernah melihat Cira memakai kaus kaki pria bercorak musang yang ia tahu pasti harganya ratusan ribu itu, sebelumnya.

Sudah 7 tahun mereka bersahabat. Sejak keduanya berkuliah di kampus yang sama di Bandung, hingga bertetangga kamar kos saat keduanya sama – sama diterima bekerja di Jakarta. Tara dan Cira selalu berbagi hal sekecil apapun. Mereka hapal barang – barang kepunyaan masing – masing. Satu sama lain hampir selalu bertukar cerita jika baru saja membeli sebuah barang yang menurut mereka unik.

“Lo tau kan, Tar, Aldo ikut nanjak ke Cikuray ini?”

“Iya. Lo cerita dia pengen ikut naik gunung setelah ngeliat foto – foto lo di Gunung Gede di Instagram lo, kan? Terus lo teriak – teriak kesenengan karena akhirnya bisa nanjak bareng gebetan lo.” Tara tersenyum menggoda sahabatnya. Bonusnya, Tara hampir saja jadi sasaran lemparan kaus kaki musang yang bau dan kotor.

“Cira jangan! Jorok amat lu. Hahaha. Kenapa, kenapa dia di sana?”

Aldo adalah teman kantor Cira. Seorang pria yang ceria. Sudah lama Cira memperhatikan Aldo. Semua yang berkaitan dengan Aldo, pasti langsung diceritakan pada Tara. Termasuk kebiasaan uniknya menghabiskan uang ratusan ribu untuk membeli puluhan pasang kaus kaki bermerek. Tentang kebingungan Tara mengapa Aldo senang melakukan itu. Suatu ketika saat membicarakan Aldo, Cira pernah bercanda, ‘Kalau mau pamer barang mahal kan mending beli barang yang bisa dilihat ya, Tar. Bukan kaus kaki. Kaus kaki sih mana bisa orang liat. Hahaha.’

“Ini kaus kaki Si Aldo. Gue dipinjemin waktu di Cikuray kemarin. Akhirnya gue pake kaus kaki mahalnya Aldo ya, Tar..” Sambil melipat kaus kaki pinjaman itu, Cira memasang mimik muka geli bercampur miris. Sepertinya ia akan bercerita banyak pada Tara malam itu.

“Iya. Rusuh banget kayaknya lo kemarin sampe lupa ga bawa kaus kaki cadangan.”

“Dan handphone gue juga ketinggalan! Hahaha.” Cira menepuk kepalanya sendiri, dan menertawakan kepikunannya. Tara diam. Ia kembali mencari celah untuk menyampaikan sesuatu yang ditahannya sejak tadi. Paling tidak, biarkan Cira minum air hangat dulu lah. Pikir Tara.

“Cira, lo minum dulu gih..”

Cira seperti tidak mendengar saran sahabatnya. Wajahnya melamunkan sesuatu. Ingatannya tertarik pada malam kemarin di Cikuray.

“Selama gue jalan, Tar. Selalu deh ada cerita di setiap perjalanan yang gue lalui.”

Tara diam menyimak sahabatnya yang sudah terlanjur masuk ke dalam balon pikirannnya itu. Tara tidak bisa menarik sahabatnya keluar, hingga ia selesai bercerita.

“Kalo Henry Miller bilang ‘One’s destination is never a place, but a new way of seeing things.’ Itu bener banget ya..” Cira diam sejenak. “Kemarin gue kena hipotermi, Tar.”

“Serius lo?” Tara tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Berita tentang beberapa pendaki yang meninggal gara – gara terkena hipotermia saat di gunung membuatnya takut. Ia tidak bisa membayangkan kalau sahabatnya sendiri mengalami itu.

“Habis diguyur hujan, Cikuray dingin banget. Sepatu dan kaus kaki gue basah. Gue udah pake ponco, tapi baju basah karena keringet. Gue menggigil hebat. Untungnya gue dibantu temen – temen. Mereka cepet bertindak. Leher, ketek, bawah lutut, sama ujung kaki gue dikasih botol panas. Terus gua dibungkus sleeping bag setelah ganti baju kering, jaketan, kupluk, sarung tangan, dan kaos kaki dari Aldo ini.. Beberapa jam kemudian gue udah sadar lagi kok, udah normal lagi.” Cira tersenyum pada sahabatnya.

“Cira.. ini yang selalu gue khawatirkan kalo lo lagi naik gunung.“ ujar Tara gusar.

“Tara ih, jangan stress gitu dong mukanya.. Hehe.. Kan gue udah di sini, udah di depan lo lagi dan gapapa.” Cira mencoba menenangkan sahabatnya yang tiba – tiba seperti terkena serangan jurus es balok yang membekukan. Cerita Cira cukup membuat pikiran Tara kacau.

Cira melanjutkan, “Waktu  subuh – subuh akhirnya gue terbangun karena kebelet pipis, gue keluar dari tenda dan ngelihat Aldo udah nangkring aja di bibir bukit sama 60D-nya.”

“Terus lo samperin?” Tara sudah bisa sedikit benapas lega kini. Ia tahu cerita hipotermia sahabatnya yang menurutnya mengerikan itu sudah berlalu. Sekarang Cira sedang bercerita tentang teman pendakiannya, Aldo.

“Nggak. Gue pipis dulu. Abis gue ngeri liat mukanya pagi itu, Tar. Tumben – tumbenan banget loh tuh anak pecicilan mimiknya murung.” Cira mengingat. “Abis pipis, baru gue samperin Aldo. Bilang makasih karena udah minjemin kaus kaki.”

“Tau gak, Tar, pagi itu gue cuma kepikiran tentang kaus kaki doang. Ya mungkin aja murungnya itu ada hubungannya sama kaus kaki kan. Dan feeling gue bener. Di samping gue, Aldo tiba – tiba cerita..”

Bersambung

------------------

Penasaran dengan lanjutan cerita Cira? Kalau saya selesaikan di sini kan gak seru! Teman-teman cari tahu lanjutan cerita Cira di buku kumpulan cerita saya, Unrequited Love, ya :D
Unrequited Love bisa teman-teman pesan di sini.


Comments

Salman Faris said…
Nice short stories :D
baca lanjutannya ya, udh gw kirim kok ;)
Lelasipit said…
Aish, pake bersambung... hahaha

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi