Di awal bulan Oktober 2014 lalu, saya mendapatkan tantangan seru-seruan dari akun @perempuansore yang saya follow di twitter : menulis puisi selama 30 hari! Satu hari satu puisi tentu saja. Aturan mainnya, puisi dtulis dengan tangan, lalu difoto dan diupload ke instagram, setiap hari selama 30 hari.
Dengan terseok-seok, saya jabanin tantangannya. Memang kalau ikut seseruan di dunia maya itu tantangan terbesarnya adalah ketika susah sinyal, susah upload. Hehe. Well anyway, saya tetap menulis satu puisi setiap hari. Dan inilah 30 puisi pendek yang saya tulis sepanjang proyek #30HariMenulisPuisi.
[Day 1]
Berpuisi adalah tentang mengingat obrolan kemarin sore bersama setangkai seruni. Mendengar kelopaknya terbatuk saat tersedak pasir yang dihempas sepatu pejalan. Menyentuh daun-daunnya yang gusar saat satu temannya akan jatuh ke tanah. Memeluk batangnya yang merintih sesaat ketika bilah pisau menyayat, dan ia berkata "tak apa".
Berpuisi adalah tentang menemui kembali seruni di pagi hari dan menjemput senyum yang ia tawarkan.
[Day2]
Dan langit pun gemas, pada sandungan - sandungan yang dicipta langkah - langkah serapah, pada gelagap angin yang menghembus tak menentu. Membuat harapan - harapan ringkih terhuyung. Mereka limbung, bersama mimpi - mimpi yang terpulung.
[Day3]
Napasku terus mendaraskan rindu. Rindu mentari atas pelupuk hatimu yang terkatup. Ia terus menutup, melekat sampai hari ditutup.
Fajar tetiba datang bersama mendung. Membawa kabar sebongkah hati telah kisut, dan kini sedang tepekur dalam dengkur.
Aku kembali mendaraskan rindu, kali ini sambil tergugu.
[Day 4]
Bumi yang tengah lelap meringis merasakan setitik air mata jatuh lunglai pada tanahnya. Terasa lemah, namun menghunus hatinya hingga nyeri. Bumipun terjaga, dengan degup kencangnya ia menunggui sedu sedan itu terhenti. Meski hingga pagi.
[Day 5]
Langkahku sontak terhenti. Sepotong lili di pinggir trotoar menepuk pelan kakiku dan menitipkan gagasan yang bergerak-gerak di tangannya. Aku menolaknya tentu saja. Lili itu bicara tentang melanjutkan langkah dengan kepala menatap langit. Ia bercanda. Kepalaku sudah habis ditebas manusia di hari raya kemarin.
[Day 6]
Tetapi ia ingin kau kejar. Seperti saat kaki-kaki kecilmu dulu bertumpu pada batu-batu, mengejar benang layang yang membuat kau mabuk kepayang. Lututmu berlubang, dan darah menggenang. Namun kau tahu, kau tak peduli.
[Day 7]
Jika bulan malam ini memutuskan untuk menyimpan ceritaku. Semoga karena ia tahu, kamu yang paling bisa mendengarnya. Jangan terlelap lama dalam tulimu. Bulan menunggu.
[Day 8]
Bagaimana bisa kamu berjalan pelan saja, sementara di balik tubuh ini, satu milyar sel melonjak-lonjak. Bagaimana bisa, kamu tidak melakukan apa-apa, sementara seluruh ujung ingatanku adalah kamu. Bagaimana bisa?
[Day 9]
Mencintaimu itu seperti bersepeda di bawah purnama. Katamu, ketika seluruh bumi menjadi gelap, hatimu akan cukup terang untuk menemukan jalan pulang. Aku percaya tanpa banyak duga. Karena aku, mencintaimu.
[Day 10]
Bilakah kau sudah jengah? Aku telah lama siapkan kereta untuk menjemput hati yang lain yang mungkin kau cintai.
[Day 11]
Rindu itu punya jelma. Ialah rangkaian bunga yang direkat oleh untaian hujan berwarna hijau.
[Day 12]
Mawar berujar dalam jingganya yang bingar, "rangkaikan aku di antara rindumu yang membilur."
[Day 13]
Katamu, pohon sabar itu pasti berbuah manis. Meski setiap hari harus kusiram ia dengan buliran tangis.
[Day 14]
Pada alas bumi yang renta, pagi dan malam melempar dadu. Sauh berhenti melaju. Menunggu. Jikakah pagi dan malam sepakat, untuk tak lagi bertukar tempat?
[Day 15]
Aku bagimu. Seperti cahaya yang berada di luar rentang spektrum optik. Tak sanggup kau lirik.
[Day 16]
Nyaliku adalah setitik molekul pada semesta raya. Aku rela kau tertawa. Tetapi aku menginginkanmu, seperti aliran darah yang sudah tahu arah.
[Day 17]
Angin pagi berbisik magis pada puncak gunung yang manis. Daun - daun yang baru tumbuh tertawa jauh. Tangan - tangan mungil bergerak lucu mencubiti hangat mentari. Bola - bola mata bulat membuka. Hitamnya yang pekat mencuat. Kabarnya, langit biru tengah melahirkan seorang ksatria yang diberi nama harapan.
[Day 18]
Seperti hilang massa, tubuhku melorot. Aku berjongkok, bersisian dengan seonggok sesal. Ia kini mendelik dan mengumpatku bodoh. Aku tahu, aku tak pernah benar-benar memotong hatiku yang besar untuk kau bakar di perapian rumahmu.
[Day 19]
Aku tidak tahu kau terlempar dari semesta mana. Yang aku tahu, kau sudah mengacaukan galaksiku. Tiba - tiba saja kau jadi orbit hidupku. Namun sialnya, aku mau saja.
[Day 20]
Rinduku tak berisik seperti bunyi peluit masinis yang memekik. Rinduku tak gaduh seperti deru mesin yang memburu. Rinduku itu senyap. Seperti raungan baja yang digilas roda kereta.
[Day 21]
Atas segala ketidakpastian yang selalu meminta tuk dipecahkan, semesta menyimpan cara, dan aku selalu percaya.
[Day 22]
Aku ingin melesak ke dalam tanah, menguping bunyi debam ketika hujan jatuh terantuk batu berkali-kali, dari sana.
[Day 23]
Untuk waktu yang terus melaju dan terkadang lupa membawa serta aku, kutawarkan satu bangku kosong di mejaku. Kau boleh singgah selama yang kau mau.
[Day 24]
Katamu, mimpi itu seperti bola mata bayi yang bundar. Pekat, memikat, dan berbinar. Karena itulah kamu selalu bangun dan terus berputar. Karena itulah kamu menjadi pendar yang tak pernah pudar.
[Day 25]
Alam telah terjaga. Penghuninya sigap waspada dan kau seolah satu-satunya yang tetap mengantuk di balik selaput rasa tak percaya. Kau mulai bertanya, burungkah tadi? Atau ketakutanmu yang mencicit meminta perhatian?
[Day26]
Gegabah, ia putuskan masa sekarang tak pernah menginginkannya. Dan seketika itu, masa depan berkomplot menjadi sesuatu yang tak mau diyakini. Ia duduk tepekur di antaranya. Tersenyum dan menggemaskan. Adalah ketidakpastian yang selalu semangat ia rengkuh.
[Day 27]
Hujan telah hilang bersama jerit yang diredam dan terseret pulang.
[Day 28]
Pada bulan sabit merah kutitipkan segala jengah agar ia tak berkawan dengan amarah.
[Day 29]
Mimpi-mimpi gemuk berjejalan di atas mangkuk sarapan. Perutnya bulat-bulat, terlalu banyak dipupuk doa.
[Day 30]
Jangan marah jika aku menciummu dengan ujung sepatuku. Karena kamu adalah jalan setapak di antara jurang pahit dan manis. Aku tak ingin jatuh terpeleset.
Saya mencoretkan hampir sebagian besar puisi-puisi tersebut di perjalanan pulang pergi ke kantor, sambil menunggu kereta. Dan di kantor ketika pekerjaan sudah mulai bikin suntuk dan otak saya butuh berkhayal.
Sekarang saya tahu kenapa saya harus ikut tantangan semacam ini. Sesekali, berpuisi adalah cara lain yang lebih baik dari mengeluh dengan kata-kata yang membosankan di social media atas segala kesuntukan saya. Hehehe.
Comments