Skip to main content

Dieng culture festival V 2014 meriah!

“For my part, i travel not to go anywhere, but to go. I travel for travel’s sake. The great affair is to move.” – Robert Louise Stevenson

Bulan Maret 2014, adalah kali pertama saya berkunjung ke Dieng, sebuah dataran tinggi dengan ketinggian kurang lebih 2000 mdpl, yang berlokasi di dua Kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Wonosobo dan Banjarnergara. Pada tanggal 30 hingga 31 Agustus 2014 lalu, saya kembali mengunjungi Dieng. Tetap bersama agen travel @cheapandgotour. Hemat, praktis, tour leader yang menyenangkan dan teman – teman baru adalah paket yang selalu saya dapatkan setiap kali melakukan perjalanan.

Lalu mengapa Dieng lagi? Dieng Culture Festival V 2014, adalah satu – satunya alasan yang membawa saya kembali ke Negeri di Atas Awan ini. Festival tahunan ini sudah digelar sejak tahun 2010. Baru pada tahun ke-5 ini, Dieng Culture Festival dibuka untuk masyarakat umum. Gelaran festival terbesar di Banjarnegara ini diprakarsai oleh sebuah komunitas anak muda dari Desa Dieng Kulon bernama Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dengan semangat gotong royong. Dari akun twitter resmi Festival Dieng, diperkirakan sebanyak 30 ribu orang menghadiri Dieng Culture Festival V 2014, dua minggu lalu.

Acara pokok dari Dieng Culture Festival V adalah Ruwatan Rambut Gembel. Setiap tahunnya, terdapat beberapa anak Dieng mengalami fenomena rambut gembel. Mengapa disebut gembel? Dari dieng.co, karena rambut mereka tumbuh kusut dan menyatu seperti gembel yang tidak pernah keramas. Tumbuhnya rambut ini disertai dengan demam tinggi pada malam hari. Belum ada diagnosa medis yang bisa menjelaskan fenomena yang hanya terjadi di Dieng ini.


Tiga dari tujuh anak berambut gimbal yang akan mengikuti prosesi
Ruwatan Rambut Gembel pada Dieng Culture Festival V.

Prosesi pemotongan rambut gimbal dilaksanakan di pelataran Candi Arjuna.

Selain Ruwatan Rambut Gembel, Dieng Culture Festival V juga dimeriahkan oleh gelaran Festival Film Dieng, Jazz Atas Awan, pesta lampion, bakar jagung masal, serta pesta kembang api. Sebuah rangkaian festival yang cukup apik dan tentunya sangat meriah dan berkesan.

Berfoto di sela acara Pesta Lampion.

Beragam kesenian ditampilkan pada Dieng Culture Festival V.

Domba khas Dieng pun turut dipamerkan di area festival.


Dieng adalah wilayah yang unik yang dimiliki Indonesia. Selain masyarakatnya yang masih menjaga dan melestarikan tradisi kebudayaan dari leluhurnya, Dieng juga memiliki pemandangan alam yang indah. Di luar rangkaian Dieng Culture Festival, kami mengunjungi beberapa objek wisata seperti : Sumur Jalatunda, Kawah Sikidang, Telaga Warna, menonton film sejarah Dieng di Dieng Plateau Theater, serta menyaksikan sunrise dari Bukit Sikunir.

Pemandangan dari Dieng Plateau Theater

Telaga Warna, tempat pelarungan rambut gembel.

Sunrise dari Bukit Sikunir.

Sampai jumpa di Dieng Culture Festival tahun depan!
Foto-foto lainnya bisa disimak di http://instagram.com/syahwi

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi