Skip to main content

Sagarmatha: The vever ending talks




Saya ingat waktu kecil, waktu saya belum mengenal blog, saya menulis di buku harian. Tapi saya tidak menulis setiap hari di sana. Buku diary itu saya sentuh hanya saat pikiran dan perasaan saya agak ‘terusik’. Hehe. Sekarang? Sama. Apa yang mengusik pikiran saya cukup dalam, sudah pasti saya tulis di sini. Karena sebenarnya menulis itu menyembuhkan sih.

Saya ingin bagi cerita tentang pengalaman saya menonton film Sagarmatha. Film karya sutradara Emil Heradi yang tayang perdana 28 November 2013 kemarin.

Sebuah karya, apapun itu bentuknya, adalah hal yang subjektif. Diapresiasi secara personal oleh si penikmat karya. Tentu saja pengalaman mengapresiasinya akan berbeda – beda.

Bukan karena saya sudah menonton begitu banyak film, bukan karena saya punya banyak referensi, bukan karena saya mengerti sekali teknik mebuat film sehingga postingan kali ini saya berani menulis tentang film. Saya menulis tentang Sagarmatha, sebuah film indie yang saya tonton beberapa hari lalu di bioskop, hanya karena film ini memberi pengalaman personal yang berbeda buat saya.

--

Saya mendiskusikan film ini dengan sahabat saya, Neyna, semalam. Dan kami sepakat, kami mendapatkan banyak hal dari film ini.

“Ini film baru gw tau semingguan lalu loh! Ga ada nunggu-nunggunya dari dulu. Mendadak aja muncul dan mendadak ngagetin! Woy ga sopan! XD” – Neyna.

“Ini film gilak sih ngajak kontemplasinya. Bancaaaat. XD” – Gue, Syahwi.

Okey. Maafkan kelakuan jempol kami. Haha.

--

Emil Heradi, sang sutradara, yang jujur saja saya baru dengar namanya di film Sagarmatha ini ternyata adalah asisten sutradara untuk Habbie & Ainun dan trilogi Merah Putih, serta film hollywood Eat Pray Love. Emil Heradi lulus dari Institut Kesenian Jakarta, menyutradarai berbagai iklan, video klip, FTV, serta lebih dari 10 film pendek. Sagarmatha adalah film panjang pertama Emil.

Sagarmatha dibuat pada tahun 2010, menceritakan perjalanan jiwa dua sahabat yang diperankan oleh Nadine Chandrawinata (Shila) dan Ranggani Puspandya (Kirana). Mengambil lokasi shooting di India, Nepal, dan pegunungan Himalaya. Dari blog Add Word Production saya tahu kalau shooting film ini dilakukan secara bergerilya di sana.

Damas Cendekia, dosen di Insititut Kesenian Jakarta, penulis skenario film-film pendek yang sukses di sirkuit festival seperti Purnama di Pesisir dan lebih dari 40 skenario FTV serta lusinan serial dan program TV, adalah penulis film Sagarmatha ini. Menurut saya, Damas menuliskan skenario Sagarmatha secara brilian.

Dialog di film Sagarmatha ini dari awal sampai akhir film, menurut saya, penuh dengan makna dan metafora yang sangat dalam. Film Sagarmatha ini betul – betul mengajak saya berkontemplasi. Mengajak saya berpikir tentang banyak hal dalam hidup.

“Film yang kece itu film yang gak mendikte sih. IMO. Penonton dikasi kesempatan buat bikin 'film' di kepala mereka sendiri.” komentar Neyna. Dan saya sepakat sekali.

Sagarmatha ini bisa diinterpretasikan sesuai dengan pengalaman masing – masing penonton. Bagi saya, Sagarmatha menyampaikan banyak makna di setiap detiknya, bukan sekedar sebuah cerita yang mengalir biasa. Saya suka adegan – adegan di India dan Nepal. Hampir semua tak luput dari makna yang dalam.

Dua karakter yang berbeda di film ini seolah menjadi metafora untuk dua simbol yang nanti kamu akan tahu apa itu kalau sudah menonton.

--

Emm.. saya kebingungan untuk menuliskan bagaimana kami, saya dan Neyna, menyukai film ini. Kalian simak chit-chat random kami saja, ya? Hahaha.

“Kirana tuh soliter banget deh. Shila lebih banyak interaksi.

“Lo pikir deh. Adegan telponan Kirana sama Papa-nya pake ngambek-ngambek, dijomplangin sama Shila yang telpon-an sama pacar. Itu kayak apa yah. Harapan vs apa yah.. Mau bilang kecemasan tapi gw ga liat ada cemas-cemasnya di Kirana.”

Shila dengan harapannya membangun keluarga. Dijompangin sama Kirana yang bukannya ga punya impian juga sih. Duh apa yah .-.”

"Mungkin semacam perlawanan.”

“Kalo perlawanan, kirana gak ngelawan sih. Dia malah gak peduli sama ukuran masyarakat. Terus malah gak pernah mikirin pas ngobrolin tentang kematian.”

“Oh kalo aku menganggap ketidakpedulian itu sebagai salah satu bentuk perlawanan sih eheheheheh =D”

“Melawan masyarakat, tapi dia mengikuti maunya sendiri.

“Karena kebetulan kemauan itu kadang bertentangan dengan yang mayoritas orang mau. Udah.”

Beda mimpi beda perjuangan. Ya kayak yang pas turun dari Merapi itu. Mereka kan milih jalan yg beda =D”

Nah! Two dreams at a crossroad! Itu di poster filmnya begitu tulisannya.”

Masih inget ga sih? Adegan pas Shila rada bete di stasiun nunggu Kirana yg jeprat jepret. Itu makna banget loh. Temenan tuh ya gitu. Gausah musti cerita, udah tau musti ngapain :')”

“'Ke Bebek Haji Slamet yuk!' Koploookkk x)”

Udah tua juga masih aja bisa dikibulin’ Hahhahaa. Romantis yah :')))))”

“Marijuana! Anjis ngakaaaakkk. Orang Indonesia kalo di luar negeri bener-bener manfaatin kesempatan banget yakkk xD Di sini mah digeruduk FPI.”

“Bahahahaaha. Eh itu scene favorit guweh! Gue suka pas adegan mabok. *karena belum pernah mungkin .-. Tapi beneran chemistrynya dapet. Natural. Pas. Kan susah tuh.”

“Nah iyaaa.. brengsek emang. Kan gw jadi pengen juga. Eh. =D”

“Bahahhahaa kaaaan. Tapi tengilnya Shila lucu sih x)”

“Ngaahahahhah sekali ajaaaaa. Ngeroko aja deh. Yang ga haram. Masih di tengah-tengah xD”

“Heh! Kayak bisa ngerokok aja lagak looo..

“Haahahahaha. Ahhh btw suaranya Kaka Slank tuhhh raaawwrrrr.

Oke. Cukup, ya? Iya. Duh.

--

Saya juga berpikir, ini Emil pastinya juga sengaja memberi shoot – shoot panjang ke wajah Kirana dan Shila ketika di area Himalaya. Di situ, saya masuk, dengan perenungan saya sendiri. Kalau Neyna, “Aku masuk di hampir setiap dialog Kirana dan Shila tentang hidup.”

Yang paling menampar saya dan Neyna adalah ending dari film ini. Ngagetin! “Padahal tadi udah sempet yang, 'Anjissss Shila tinggal dikit nyampe ih koploookkk drama!' Anjisss..” komentar Neyna. Hahaha.

Dan dari blog Add Word Production juga saya tahu, ending film ini baru diputuskan ketika crew sudah berada di Pokhara. Begini cerita Emil, sang sutradara, “Saat itu tersisa seminggu lagi untuk shooting . Saya bersama Damas (penulis skenario) dan Abdul (produser) menyepi diam-diam. Malam hari di pinggir danau di Pokhara dengan sebuah kuil Budha di bukit seberang danau. Di sana saya berfikir tentang kemungkinan bahwa hidup itu belum tentu seperti yang kita sedang alami. Rasanya begitu tenang, tranquil dan di sanalah saya bercerita tentang apa yang ingin saya lakukan: mengubah akhir dari cerita Sagarmatha. Dari saat itu kami sepakat hingga film ini mempunyai akhir seperti yang sekarang ini.”

Pada awalnya Emil tidak pernah membicarakan mengenai ending ini sebelumnya dengan cinematographer. “Emil menyimpannya karena itu akan berpengaruh terhadap psikologis sebuah frame, di sinilah saya belajar tentang bagaimana memindahkan rasa kedalam ruang dan waktu yang berbeda, berada di dunia mimpi namun terasa nyata.” tutur Angi Frisca sang cinematographer, yang saya kutip dari blog Add Word Production.

Saya menikmati film ini dari awal lalu sampai di akhir film dengan keadaan tertampar – tampar, hati dan pikiran saya acak-acakan. Sial! Mereka sungguh berhasil! Hahaha.

--

@neynarahma: Resume dari aku nih ya .... Karena satu kehilangan bukan berarti kehilangan juga untuk hal-hal lainnya. Dan ga semua hal yang ilang kudu di-replace. Pernah baca di bukunya Coelho gitu sih. Justru di situ istimewanya. Irreplaceable kalo kata Beyonce. Wujudkan apa yang masih bisa diwujudkan. Buat gue, mimpi mereka berdua udah sukses dicapai. Sekian dari saya. *ketok palu*

@syahwisyahwi: Kalo resume dari gue gini .... What you see is what you get. Bisa lo bilang sugesti. Tapi begitulah cara semesta berkonspirasi. Lo kayak Kirana yang maunya sendiri atau lo kayak Shila yang percaya sama keluarga, lo bakal dikasih apa yang lo mau pada akhirnya. Ga ada yang menyedihkan sih. Dua-duanya lo yang pilih.

--

"Karena pada akhirnya semua manusia itu akan sendirian.." – Shila & Kirana, Sagarmatha.

...

Berani sendiri?

--

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi