Skip to main content

Lebaran dan pertanyaan "Kapan nikah?"

Jadi, berapa banyak di antara kamu yang di Hari Lebaran sering diberi pertanyaan "Kapan nikah?" Pertanyaan yang kalau kamu sadari, lebih sering dilayangkan terutama kepada para perempuan daripada laki-laki. Ini didukung juga oleh observasi kecil-kecilan saya di timeline media sosial yang saya punya, bahwa kebanyakan teman-teman perempuan yang membahas topik "Kapan nikah?" ini.

Karena apa? Karena biasaya, laki-laki lebih diberi kebebasan untuk menentukan kapan menikah. Sedangkan perempuan, ada standar yang ditentukan sendiri oleh para orangtua dan masyarakat bahwa perempuan harus menikah di usia sekian.

Di bawah ini ada obrolan saya bersama seorang sahabat perempuan. Bisa ada hubungannya, bisa juga tidak. Tapi saya merasa isi obrolan kami mungkin bisa sedikit membuat kalian, para perempuan yang baru saja ditanya "Kapan nikah?", merasa hari ini tak terlalu buruk.

Selamat menyimak.

Q : Apa yang paling menyedihkan dari Indonesia saat ini menurut kamu?

A : Patriarki.

Q : Budaya patriarki? Kok sedih?

A : Gak pernah ada ideal kalau salah satu masih lebih mendominasi. Di Indonesia, patriarki yang mendominasi. Pas Lebaran, sepupu yang seumur sama aku, cowok, ditanyainnya kerja di mana, mau lanjut ke mana. Kenapa aku ditanya soal pacar, nikah dan urusan domestik lain?

Q : Itu yang selalu jadi kegelian kita.

A : I somehow could be so feminist... Ada feminist yang radikal, Julia Kristeva misalnya, kadang bilang kalau pernikahan tanpa kesetaraan itu ibarat perbudakan gaya baru. Serem gak? Serem. Haaha. Yang liberal, lebih ke kesetaraan di field of work/pekerjaan.

Q : Menurut kamu apa arti jadi feminis?

A : Feminis itu nggak harus kelaki-lakian dan atau sangar. Itu semacam Gadis Arivia, dandan total. Total freedom bagi cewek, gak harus menjadi seperti cowok. Tapi jadi seutuhnya diri sendiri. Bisa? Gak tau. Kalo feminis ingin dandan kaya cowok, ini salah kaprah. Makanya aku suka sebel sama cewek yang sok-sokan maskulin dan menganggap yang gak maskulin itu gak pinter. Man, intelegensia gak ada hubungan sama penampilan sih IMO.

Q : Lalu kenapa ada yang beranggapan seperti itu?

A : Resiko ideologi lah. Makin tersebar luas, makin banyak juga yang menjalankannya dengan setengah-setengah atau sok-sokan atau malah diselewengkan.
___

Baiklah. Jadi, kapan nikah? Eh.

@syahwisyahwi - egalitarian.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi