Karena komitmen adalah tentang membuktikan apa yang sudah
kita niatkan atau ucapkan, maka saya lanjutkan lagi menulis serial postingan
“Damn I Love Indonesia” yang sempat tertunda karena mager – mager sepulang
kerja di weekday yang tak terelakkan. Ditambah lagi keasikan jalan – jalan ke
Bogor di weekend minggu lalu dan jalan – jalan di Bandung dengan teman dari
luar kota di weekend minggu kemarin (cerita menyusul di blog ini juga ya :D).
--
“Aku tuh salah satu orang yang desperate sama negara ini. Dari zaman kuliah dulu aku punya cita - cita buat nikah terus tinggal di luar negeri. Semua dari awal, dengan harapan baru. Hihi.”
Teman kedua yang saya todong curhat mengenai ‘Apa yang paling menyedihkan dari Indonesia saat ini?’ adalah seorang perempuan yang bekerja di sebuah agen travel di Jakarta yang kebetulan suka jalan – jalan.
“Dosa mendasar adalah ketika dosa dianggap wajar dan biasa. Seolah Tuhan ga ada.”
“Nonton tv, khususnya berita, bikin miris. Segitu gembar - gembornya pemberantasan korupsi. Tapi semakin digalakan, semakin banyak yang ketangkep. Dan dengan kasus baru lho ya, bukan kasus lama gitu. Seolah udah ga ada harapan buat negara ini, kecuali penghapusan 1 generasi mungkin baru deh bergairah. Hahaha.”
“Aku baru join sebuah grup pengguna KRL di bbm. Dari anggotanya yang bukan orang – orang biasa ini, aku dapet knowledge lebih. Saat mereka komplen, mereka ga hanya berbicara tentang kulitnya aja. Tapi juga sangat mendalam. Dan pada akhirnya bertemu di satu titik, bahwa hampir semua ruang di negara ini (mudah - mudahan masih ada yang tersisa), adalah 'settingan' tentang kekuasan, penguasa dan bagaimana cara mendapatkan dan mempertahankannya.”
Senada dengan temanku yang ketiga, yang saat ini bekerja di sebuah bank swasta nasional. Ia juga menyebut – nyebut mengenai 'penghapusan satu generasi' ketika saya beri pertanyaan sama, ‘Apa yang paling menyedihkan dari Indonesia saat ini?’ Ngomong – ngomong, ini teman – teman saya kok seperti kacang lupa kulit ya. Hahahaha.
“Dunia perbankan lagi ga optimis sama Indonesia. Pertumbuhan ketahan di 6%. Mentok. Banyak segi usaha yang danger. Dollar menguat terus. Serem bablas lagi kayak dulu waktu krismon. Mana suasana politik juga lagi angot - angotan. BI rate naik, bunga kredit naik, sementara pengusaha juga lagi ribet sama penyesuaian pasca kenaikan BBM, ngaruhnya lumayan. Beberapa bidang usaha yang saat ini lagi parah itu jual beli mobil bekas, perikanan, sama usaha plastik. Yaa smoga cepet balik..”
Temanku yang kedua cerita, “Buatku, kenapa bisa terus bertahan betah di Indonesia yang gila ini ya karena Tuhan. Begitu banyak nikmat Tuhan yang musti kita syukuri. Saya mensyukuri terlahir sebagai rakyat biasa. Bisa bertemu, jalan – jalan dan makan dengan teman – teman sudah cukup buat alasan bahagia. Coba kalau terlahir di lingkungan yang butuh biaya mahal untuk bahagia. Bahaya deh. Kalau jadi anak pejabat, pasti definisi bahagia itu saat bisa membebaskan tanah rakyat atau menang tender. Hehehe..”
--
Sesedih apapun perasaan teman – teman saya ini terhadap Indonesia, tetapi mereka tidak menyerah. Mereka tetap bangun setiap paginya dan berangkat bekerja. Mereka menikmati hidup, menikmati impian – impiannya. Karena tidak mungkin kita terus merutuk. Kita masing - masing mempunyai lilin yang kita pegang. Kalau seribu orang sama – sama menyalakan lilinnya, kita bisa saling menerangi. Dan menurut saya, hal tersimpel untuk menyalakan lilin itu adalah dengan bekerja dan berkarya. Bekerja lebih, berkarya lebih.
--
“Aku tuh salah satu orang yang desperate sama negara ini. Dari zaman kuliah dulu aku punya cita - cita buat nikah terus tinggal di luar negeri. Semua dari awal, dengan harapan baru. Hihi.”
Teman kedua yang saya todong curhat mengenai ‘Apa yang paling menyedihkan dari Indonesia saat ini?’ adalah seorang perempuan yang bekerja di sebuah agen travel di Jakarta yang kebetulan suka jalan – jalan.
“Dosa mendasar adalah ketika dosa dianggap wajar dan biasa. Seolah Tuhan ga ada.”
“Nonton tv, khususnya berita, bikin miris. Segitu gembar - gembornya pemberantasan korupsi. Tapi semakin digalakan, semakin banyak yang ketangkep. Dan dengan kasus baru lho ya, bukan kasus lama gitu. Seolah udah ga ada harapan buat negara ini, kecuali penghapusan 1 generasi mungkin baru deh bergairah. Hahaha.”
“Aku baru join sebuah grup pengguna KRL di bbm. Dari anggotanya yang bukan orang – orang biasa ini, aku dapet knowledge lebih. Saat mereka komplen, mereka ga hanya berbicara tentang kulitnya aja. Tapi juga sangat mendalam. Dan pada akhirnya bertemu di satu titik, bahwa hampir semua ruang di negara ini (mudah - mudahan masih ada yang tersisa), adalah 'settingan' tentang kekuasan, penguasa dan bagaimana cara mendapatkan dan mempertahankannya.”
Senada dengan temanku yang ketiga, yang saat ini bekerja di sebuah bank swasta nasional. Ia juga menyebut – nyebut mengenai 'penghapusan satu generasi' ketika saya beri pertanyaan sama, ‘Apa yang paling menyedihkan dari Indonesia saat ini?’ Ngomong – ngomong, ini teman – teman saya kok seperti kacang lupa kulit ya. Hahahaha.
“Dunia perbankan lagi ga optimis sama Indonesia. Pertumbuhan ketahan di 6%. Mentok. Banyak segi usaha yang danger. Dollar menguat terus. Serem bablas lagi kayak dulu waktu krismon. Mana suasana politik juga lagi angot - angotan. BI rate naik, bunga kredit naik, sementara pengusaha juga lagi ribet sama penyesuaian pasca kenaikan BBM, ngaruhnya lumayan. Beberapa bidang usaha yang saat ini lagi parah itu jual beli mobil bekas, perikanan, sama usaha plastik. Yaa smoga cepet balik..”
Temanku yang kedua cerita, “Buatku, kenapa bisa terus bertahan betah di Indonesia yang gila ini ya karena Tuhan. Begitu banyak nikmat Tuhan yang musti kita syukuri. Saya mensyukuri terlahir sebagai rakyat biasa. Bisa bertemu, jalan – jalan dan makan dengan teman – teman sudah cukup buat alasan bahagia. Coba kalau terlahir di lingkungan yang butuh biaya mahal untuk bahagia. Bahaya deh. Kalau jadi anak pejabat, pasti definisi bahagia itu saat bisa membebaskan tanah rakyat atau menang tender. Hehehe..”
--
Sesedih apapun perasaan teman – teman saya ini terhadap Indonesia, tetapi mereka tidak menyerah. Mereka tetap bangun setiap paginya dan berangkat bekerja. Mereka menikmati hidup, menikmati impian – impiannya. Karena tidak mungkin kita terus merutuk. Kita masing - masing mempunyai lilin yang kita pegang. Kalau seribu orang sama – sama menyalakan lilinnya, kita bisa saling menerangi. Dan menurut saya, hal tersimpel untuk menyalakan lilin itu adalah dengan bekerja dan berkarya. Bekerja lebih, berkarya lebih.
Comments