Skip to main content

Damn, I love Indonesia (1)

Menyambung postingan saya sebelum ini, apa yang saya lakukan untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI, tak usah membayangkan saya melakukan hal - hal yang pratiotik. Saya hanya mengobrol bersama beberapa teman kok, dengan tema Indonesia. Haha!

Saya sudah jarang hampir tidak pernah menonton televisi lagi, saya juga jarang membaca koran. Lalu dari mana saya mendapatkan informasi? Saya lebih senang membaca timeline orang-orang yang saya percaya dan saya follow di twitter. Sesekali saya juga mendengarkan siaran radio berita.

Mengobrol dan berdiskusi dengan teman adalah salah satu cara mendapatkan informasi yang paling menyenangkan buat saya.

Ada dua orang teman yang saya ajukan satu pertanyaan yang sama, ‘Apa yang paling menyedihkan dari Indonesia saat ini menurut kamu?’

Seperti kata salah satu teman, bahwa pendapat itu akan didasarkan pada pengalaman. Maka menarik jadinya buat saya, ketika mendapati jawaban yang berbeda - beda dari dua teman saya ini, karena memang latar pekerjaan dan minat mereka pun tidak ada yang sama.

~

Teman saya yang pertama, berprofesi sebagai Guru di Kota Bogor, menyoroti masalah nasionalisme yang semakin berkurang di kalangan anak sekolah.

“Anak - anak sekarang, yang sekolahnya di sekolah internasional atau sekolah yang bagus, gak hafal Pancasila sila ke-1 sampai dengan ke-5. Kalau di sekolah negeri sih anak - anak pada hafal. Aku kan side job juga di sekolah-sekolah internasional gitu. Mereka gak pernah upacara bendera. Sekolah - sekolah alam juga gitu, gak kenal upacara.”

Saya tidak tahu apa alasan upacara bendera yang wajib saya ikuti selama bertahun-tahun di masa sekolah saya, tidak diadakan di sekolah - sekolah yang teman saya tadi maksud. Tapi entahlah mendengar cerita teman saya ini, tiba - tiba saya merasa anak - anak sekolah yang masih diwajibkan mengikuti upacara pengibaran bendera setiap Senin pagi di sekolahnya, harusnya merasa lebih beruntung.

Saya sendiri senang dengan upacara bendera dari jaman SD. Entah ketika menjadi peserta ataupun petugas. Saya menyukai protokolernya. Mulai dari membuat barisan rapi hingga barisan peserta dibubarkan kembali. 

Ketika menjadi peserta, saya menyimak dan memperhatikan para petugas upacara. Saya ikut merasakan tegangnya kalau - kalau petugas melakukan kesalahan. Dan ikut merasa lega ketika upacara berjalan lancar.

Kemudian saya tertarik untuk menjadi petugas, mencoba setiap bagian. Mulai dari menjadi protokoler, pembawa naskah Pancasila, paduan suara, sampai pengibar bendera.

Di bangku SLTP, saya masuk ekstrakurikuler Paskibra. Saya diajari mengibarkan bendera dengan berbagai formasi. Bangga rasanya saat bendera merah putih berhasil dikibarkan sembari diiringi lagu Indonesia Raya dan seluruh peserta menghormat padanya. Ini adalah bagian penting sekaligus favorit buat saya dari seluruh rangkaian upacara. 

Hati saya sering kali tergetar di bagian ini.

Kembali lagi ke teman saya,

“Kasihan generasi berikutnya. Kalaupun ada upacara, tidak pakai pembacaan UUD 1945 dan Pancasila. Emang dari dulu mereka seperti itu. Ya hanya penaikan bendera dan amanat pembina upacara aja. Penaikan benderapun diiringi organ. Tidak ada yang bertugas sebagai obade. Jadi khidmatnya udah gak ada sama sekali. Sebagian yang aku tanya, mereka gak hafal lagu Indonesia Raya. Bukan salah mereka.”

“Globalisasi gak bisa kita hindari. Paling tidak, harapanku, anak - anak mudah - mudahan bisa selektif sama pengaruh globalisasi. Khawatir sih dengan nasionalisme mereka, tapi mungkin kita bisa selipkan nilai - nilai nasionalisme pada materi pelajaran yang kita berikan.”

“Gak bisa disalahkan, orang tua yang masukin anaknya ke international school dan bukan ke sekolah negeri. Ya mereka memang pilih yang terbaik buat anaknya. Gak bisa disalahkan orangtua juga, karena memang kualitas sekolah itu jauh lebih bagus.”

Tapi, apakah karena tidak hafal Pancasila atau lagu kemerdekaan, bisa menjamin nasionalisme mereka lebih buruk dari yang hafal?

“Kalau kita gak tau dan hafal, mana bisa mengerti. Tak kenal maka tak sayang. Bagaimana mereka bisa berusaha memahami. Apa yang mereka pahami tentang Indonesia coba, kalau dasar - dasarnya aja gak paham. PR besar buat kita semua terutama para Guru, bagaimana meminimalisir pengaruh negatif globalisasi. Miris kalau lihat anak - anak sekarang lebih hafal lagu - lagu barat ketimbang lagu - lagu nasional. Kalau mau tampil untuk acara khusus, baru deh mereka googling.”

“Butuh ditumbuhkan lagi jargon -jargon ‘Aku merasa keren karena aku anak Indonesia’”

~

Teman saya yang Guru ini, menyisipkan pesan – pesan nasionalisme di kelasnya, saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Lalu ketika saya bertanya, apa yang bisa saya lakukan?

Teman saya menjawab, “Banyak. Melalui tulisan di blog kamu, melalui komunitas yang kamu punya, dan masih banyak cara lain.”

Hemm..

Saya teringat artikel yang saya baca tentang presenter Daniel Mananta. Menurutnya, cara paling mudah untuk menunjukan sebuah statement adalah melalui apa yang dipakai. Daniel memilih mengajak anak – anak muda memperlihatkan diri mereka yang mencintai Indonesia melalui fashion, melalui kaos dengan tulisan “DAMN, I Love Indonesia” besar-besar.

Kalau saya... saya pinjam kata - katanya Daniel Mananta untuk judul postingan saya yang ini saja deh. He he.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi