Menyambung postingan saya sebelum ini, apa yang
saya lakukan untuk memperingati Hari Kemerdekaan RI, tak usah membayangkan saya
melakukan hal - hal yang pratiotik. Saya hanya mengobrol bersama beberapa teman
kok, dengan tema Indonesia. Haha!
Saya sudah jarang hampir tidak pernah menonton
televisi lagi, saya juga jarang membaca koran. Lalu dari mana saya mendapatkan
informasi? Saya lebih senang membaca timeline orang-orang yang saya percaya dan
saya follow di twitter. Sesekali saya juga mendengarkan siaran radio berita.
Mengobrol dan berdiskusi dengan teman adalah salah
satu cara mendapatkan informasi yang paling menyenangkan buat saya.
Ada dua orang teman yang saya ajukan satu
pertanyaan yang sama, ‘Apa yang paling menyedihkan dari Indonesia saat ini
menurut kamu?’
Seperti kata salah satu teman, bahwa pendapat itu
akan didasarkan pada pengalaman. Maka menarik jadinya buat saya, ketika
mendapati jawaban yang berbeda - beda dari dua teman saya ini, karena memang
latar pekerjaan dan minat mereka pun tidak ada yang sama.
~
Teman saya yang pertama, berprofesi sebagai Guru di
Kota Bogor, menyoroti masalah nasionalisme yang semakin berkurang di kalangan
anak sekolah.
“Anak - anak sekarang, yang sekolahnya di sekolah
internasional atau sekolah yang bagus, gak hafal Pancasila sila ke-1 sampai
dengan ke-5. Kalau di sekolah negeri sih anak - anak pada hafal. Aku kan side
job juga di sekolah-sekolah internasional gitu. Mereka gak pernah upacara
bendera. Sekolah - sekolah alam juga gitu, gak kenal upacara.”
Saya tidak tahu apa alasan upacara bendera yang
wajib saya ikuti selama bertahun-tahun di masa sekolah saya, tidak diadakan di
sekolah - sekolah yang teman saya tadi maksud. Tapi entahlah mendengar cerita
teman saya ini, tiba - tiba saya merasa anak - anak sekolah yang masih
diwajibkan mengikuti upacara pengibaran bendera setiap Senin pagi di
sekolahnya, harusnya merasa lebih beruntung.
Saya sendiri senang dengan upacara bendera dari
jaman SD. Entah ketika menjadi peserta ataupun petugas. Saya menyukai
protokolernya. Mulai dari membuat barisan rapi hingga barisan peserta
dibubarkan kembali.
Ketika menjadi peserta, saya menyimak dan
memperhatikan para petugas upacara. Saya ikut merasakan tegangnya kalau - kalau
petugas melakukan kesalahan. Dan ikut merasa lega ketika upacara berjalan
lancar.
Kemudian saya tertarik untuk menjadi petugas,
mencoba setiap bagian. Mulai dari menjadi protokoler, pembawa naskah Pancasila,
paduan suara, sampai pengibar bendera.
Di bangku SLTP, saya masuk ekstrakurikuler
Paskibra. Saya diajari mengibarkan bendera dengan berbagai formasi. Bangga
rasanya saat bendera merah putih berhasil dikibarkan sembari diiringi lagu
Indonesia Raya dan seluruh peserta menghormat padanya. Ini adalah bagian
penting sekaligus favorit buat saya dari seluruh rangkaian upacara.
Hati saya sering kali tergetar di bagian ini.
Kembali lagi ke teman saya,
“Kasihan generasi berikutnya. Kalaupun ada upacara,
tidak pakai pembacaan UUD 1945 dan Pancasila. Emang dari dulu mereka seperti
itu. Ya hanya penaikan bendera dan amanat pembina upacara aja. Penaikan benderapun
diiringi organ. Tidak ada yang bertugas sebagai obade. Jadi khidmatnya udah gak
ada sama sekali. Sebagian yang aku tanya, mereka gak hafal lagu Indonesia Raya.
Bukan salah mereka.”
“Globalisasi gak bisa kita hindari. Paling tidak,
harapanku, anak - anak mudah - mudahan bisa selektif sama pengaruh globalisasi.
Khawatir sih dengan nasionalisme mereka, tapi mungkin kita bisa selipkan nilai
- nilai nasionalisme pada materi pelajaran yang kita berikan.”
“Gak bisa disalahkan, orang tua yang masukin
anaknya ke international school dan bukan ke sekolah negeri. Ya mereka memang
pilih yang terbaik buat anaknya. Gak bisa disalahkan orangtua juga, karena
memang kualitas sekolah itu jauh lebih bagus.”
Tapi, apakah karena tidak hafal Pancasila atau lagu
kemerdekaan, bisa menjamin nasionalisme mereka lebih buruk dari yang hafal?
“Kalau kita gak tau dan hafal, mana
bisa mengerti. Tak kenal maka tak sayang. Bagaimana mereka bisa berusaha
memahami. Apa yang mereka pahami tentang Indonesia coba, kalau dasar - dasarnya
aja gak paham. PR besar buat kita semua terutama para Guru, bagaimana meminimalisir
pengaruh negatif globalisasi. Miris kalau lihat anak - anak sekarang lebih
hafal lagu - lagu barat ketimbang lagu - lagu nasional. Kalau mau tampil untuk
acara khusus, baru deh mereka googling.”
“Butuh ditumbuhkan lagi jargon -jargon ‘Aku merasa
keren karena aku anak Indonesia’”
~
Teman saya yang Guru ini, menyisipkan pesan – pesan
nasionalisme di kelasnya, saat kegiatan belajar mengajar berlangsung. Lalu ketika saya
bertanya, apa yang bisa saya lakukan?
Teman saya menjawab, “Banyak. Melalui tulisan di
blog kamu, melalui komunitas yang kamu punya, dan masih banyak cara lain.”
Hemm..
Saya teringat artikel yang saya baca tentang presenter
Daniel Mananta. Menurutnya, cara paling mudah untuk menunjukan sebuah statement adalah melalui apa yang
dipakai. Daniel memilih mengajak anak – anak muda memperlihatkan diri mereka yang
mencintai Indonesia melalui fashion,
melalui kaos dengan tulisan “DAMN, I Love Indonesia” besar-besar.
Kalau saya... saya pinjam kata - katanya Daniel Mananta untuk judul postingan saya yang ini saja deh. He he.
Comments