Skip to main content

Pelukan terakhir


“Di antara ribuan lagu yang ada di dunia, gua ga ngerti kenapa harus lagu Peluk-nya Dewi Lestari sama Aki Alexa yang terus-terusan diputer sopir travel yang gua tumpangin tadi. Jangan salahin gua  kalo sepanjang perjalalan tadi gua mewek.” cerocos Ray saat menemukanku di sudut Café Voila, tempat nongkrong favorit kita di Bandung ini.

Ia menumpahkan satu tas besarnya di lantai dan meletakan tas tangannya di meja. Ray baru saja kembali dari Jakarta untuk urusan pekerjaan. Badannya yang tampak lelah ia jatuhkan di kursi tepat di depanku. Ketika seorang waiter menghampiri, ia dengan yakin memesan ice lemon tea.

“Tuhan memberkati orang–orang yang bebas dari alergi kopi..” kataku kalem sambil menyeruput hot cappuccino-ku. Ray yang menangkap sindiranku memasang tampang protes. Aku tak tahan untuk tidak menertawakannya.

“Eh tampang lo minus lima point tuh!” komentarku ketika menangkap matanya yang sembab. Dua detik kemudian lima kepal tisu bertubi-tubi meninju kepalaku. “Lo kapan sih bisa bersikap manis sama sahabat sendiri. Lagi sedih nih sediiihhh..” teriak Ray kesal.

“Ga usah teriak, tampang lo mengatakan semuanya.” Aku menyeruput lagi cappuccino-ku. ”Lagian lo ga ada jaim-jaimnya sih jadi penumpang. Segala pake mewek di mobil travel.” Aku baru mau tertawa lagi tapi kuhentikan saat melihat air mukanya berubah serius. Ia menatap mataku sebelum mengucapkan sesuatu yang sepertinya informasi penting.

“Bel, sopir travel gua tadi baru nonton Recto Verso ternyata, Bel. Sama bininya.”

“Oke.” Aku tak ber-reaksi saking kesalnya.

“Komentar, Bel, komentaar..!”

“Gua harus komen apa? Sopir travel juga lo kepo-in? Astagaaa Raaay!” teriakku histeris hampir putus asa. Sekarang giliran Ray yang terbahak. Sial.

Raynira, perempuan berunsur air ini entah kenapa bisa bertahan bersahabat denganku.  Unsurku sendiri api. Air seharusnya memadamkan api. Namun aku Si Bella bukan api kecil yang sulit dipadamkan sepertinya. Hehehe. Ray pun adalah sebuah aliran deras inspirasi bagiku. Saat apiku mengecil, Ray adalah semangatku. Saat Ray kehilangan arah, aku menunjukan bagaimana aku mengikuti angin agar apiku tetap hidup. Aku dan Ray dengan unsur kami masing-masing. Mencintai hidup kami masing-masing. Dan kami senang membagi cerita kami satu sama lain.

Saat gelas ice lemon tea-nya sudah setengah kosong, aku mulai menemukan kesadaran Ray akan hatinya yang sedang patah melalui wajah sedihnya. Aku berusaha meraba sakitnya lewat kata-kata Ray. Aku duduk di tempatku mendengarkan, sementara Ray mulai menghilang dari tempat duduknya. Ia terbang. Dibawa oleh ingatannya pada malam kemarin, malam perjumpaannya yang terakhir dengan Rio, lelaki yang dekat dengannya satu tahun ke belakang. Rio kebetulan satu perusahaan dengan Ray.

“Pas ketemu kemaren, ga nyaman rasanya, Bel..” Ray membuka ceritanya.

“Iya, pasti.. kalian udah berapa bulan ngga komunikasi..” komentarku.

“Gua cape, Bel, selalu jadi yang pertama ngehubungin dia.. dia ga ada usaha sama sekali buat nelpon gue, BBM gue kek, nanya gua masih idup apa ngga.. salah kalo gua nyerah, Bel?” Ray larut dalam kesalnya.

“Iya gua tahu, Ray.. lo udah bener kok.. denger ya, Ray.. if he wants to be a part of your life, he'll make an effort to be in it. Don't bother reserving a space in your heart for someone who doesn't make an effort to stay." kukutip kata-kata dari buku favoritku untuk menenangkannya.

Ray diam mencerna kata-kataku.

"Terus kemarin gimana? Kalian tetep ga komunikasi?" tanyaku lagi.

“Pas kelar meeting, accidently kita jalan bareng. Terus Rio nganterin gua balik ke hotel, Bel.. di depan lift, dia meluk gue.. lama banget..“ Ray memainkan sedotan ice lemon tea-nya, mengaduk-aduk ingatannya pada malam kemarin.

“Apa yang lo rasa?”

“Jujur gua pedih, Bel.. gua rasa Rio juga sakit.. tapi inilah jawabannya dari berbulan-bulan tanpa komunikasi kita.. gua tahu gua bakalan lama buat nerima kalo gua bakal sendiri abis ini.. gua sayang Rio, Bel.. tapi karena itu juga gua harus belajar ngelepas Rio.. dipertahanin juga cuma nyiksa gue doang.. gua juga sama, ga mau nyiksa Rio dengan terus ngebiarin dia ga jujur sama hubungan ini.."

Ray berhenti sebentar. Dadanya sepertinya sesak oleh rasa yang campur aduk.

"Pelukan kemaren gua rasa jujur banget, Bel.. ga ada kata-kata yang keluar waktu kita pelukan, tapi kita sama-sama tahu kalo kita ga bakal balik lagi satu sama lain.. kita udah saling melepas.. selamanya..” Ray menatapku dengan mata nanarnya. Ia berusaha tersenyum.

Aku bangga Raynira sahabatku ini mengerti dan mampu melewati masa-masa sulit dalam hubungannya dengan lelaki yang dia sayang. Aku membalas senyum Ray tepat saat audio di Cafe Voila ini memutar lagu Peluk dari Dewi Lestari dan Aki Alexa.

"Damn. Lagu ini lagi." pekik Ray tak percaya.

Dan senyum kamipun berubah mejadi tawa yang pecah. Hahaha Ray.. Ray..

*

”The best thing you can spend on your relationship, is time, conversation, understanding, and honesty. If they can't keep a conversation going, don't expect them to be able to keep a relationship going." - anonym.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi