GROOKKK!!! GROOKK!!
Astaga..! Kenapa waker tua ini begitu mengerikan sih suara
dengkurannya. “JONO! Ssttt!! Aku tak bisa tidur ini.. bisa tidak berisik gak
sih?” kataku kesal.
Jono, si waker tua bersuara cempreng itu, membuka matanya
sedikit. “Ada apa sih, Didi, diary hitam tua berdebu! Ini jam dua dini hari,
kurang lima menit. Sudah! Aku mau melanjutkan tidurku.”
“Dasar waker tua cempreng dan pemalas. Malah mengataiku
berdebu. Aku tak bertanya sekarang jam berapa! Aku mau kamu tidak berisik,
tahu!?” Sia-sia rasanya aku protes. Jono tak menggubrisku. Ia malah melanjutkan
dengkurannya. Semakin keras.
Aku memperhatikan Zoya. Ia memeluk guling. tampak terlelap
sekali dalam tidurnya. Sepertinya ia terlalu capek bertahunbaruan bersama teman-temannya
kemarin.
Zoya itu gadis yang bersemangat. Hidupnya diisi dengan
hal-hal menarik. Aku tak pernah bosan bertahun-tahun mendengar ceritanya. Meski
aku tak bisa menanggapi langsung apa yang ia tulis dalam lembaran-lembaranku,
namun aku bisa mengerti dan merasakan apa yang dia rasakan. Dan aku yakin, Zoya
tahu itu.
Karenanya, ia setia untuk terus bercerita apapun padaku.
“Kamu terlalu pede, Didi! Hahaha! Kamu tak tahu semuanya!”
Suara Mario. Hmmm.. Si hantu pria kurus itu datang lagi. Ah,
iya! Aku baru ingat. Ia sempat berjanji padaku akan datang pukul dua dini hari.
Tapi apa yang akan dia lakukan dini hari seperti ini? Dasar hantu. Tak pernah
bisa aku mengerti kehidupannya.
“Heh! Didi, memangnya kamu punya kehidupan? Hahaha! Kamu
hanya benda mati. Tak usah sombong.”
Astaga. Kenapa dia bisa membaca apa yang aku fikirkan.
“Mau apa kamu?” tanyaku gengsi.
“Hmmm.. rupanya kamu penasaran juga ya.. hahaha!”
“Sudah! Hentikan ketawamu itu. Menyebalkan. Sekarang cepat
katakan apa yang akan kamu sampaikan.”
“Sibuk rupanya kamu, Didi? Tak punya banyak waktu? Hahaha!”
Kalau saja aku punya tangan, ingin sekali kuraih si Jono dan
melemparnya ke kepala Mario.
“Oke oke! Aku tak akan menggodamu lagi, Didi.. maafkan aku..
aku akan mulai bercerita..”
Aku diam.
“Kamu tahu permainan truth or dare?” tanya Mario.
“Meski hanya benda mati, tapi kau tak bisa meremehkan aku.
Aku tahu semuanya. Aku pintar tahu!”
Mario tersenyum lebar menyebalkan, “Oke bagus kalau begitu!”
Ia melanjutkan, “Ketika merayakan tahun baru kemarin, Zoya memainkan permainan
itu bersama teman-temannya. Ia dapat urutan ketiga. Dan ia memilih truth. Zoya
adalah orang ketiga pertama yang memilih truth.”
“Lalu apa yang penting?” tanyaku datar.
“Karena pemainan itu. Aku tahu satu hal dari Zoya yang
ketika aku hidup tak kuketahui.” Wajah Mario berubah murung.
“Kamu sebetulya siapa Zoya sih? Kenapa Zoya tidak pernah
bercerita tentang kamu padaku?”
Mario tak menjawab, ia melanjutkan, “Karena Zoya memilih
truth maka teman-temannya bebas bertanya apapun pada Zoya dan ia harus menjawab
dengan jujur.”
“Aku tahu..” kataku bosan.
“Malam itu teman-teman Zoya bertanya padanya, ‘Apakah pernah jatuh cinta pada orang yang berbeda keyakinan?’ Zoya menjawab 'pernah'.”
Aku tegang menunggu cerita lanjutan Mario.
"Teman-temannya bertanya lagi, 'Zoya, apakah ia sampai mengajakmu berpindah keyakinan?' Zoya menjawab 'ya'."
Mario menatapku beberapa detik sebelum melanjutkan, “Orang itu aku, Di.”
"....”
Aku tak bisa berkata apapun. Cerita ini tak pernah kudengar dari Zoya. Aku berusaha percaya ini bualan Mario saja.
Bersamaan dengan waktu aku hendak membuka mulutku, Zoya terbangun.
Dan Mario kembali menghilang. Entah kemana.
*bersambung di judul ke-4*
Comments