Skip to main content

Forza Inter!


Siang itu matahari sepertinya sedang sentimen pada bumi. Atau mungkin ia marah pada manusia – manusia di dalamnya karena telah berulah sedemikian keji sehingga bumi tidak lagi sesejuk dulu. “Rasakan!”, mungkin begitu kira – kira yang akan diucapkan matahari kalau saja ia bisa berbicara. Ingin protes rasanya, tapi matahari pasti selalu dapat berkilah, karena memang ia tidak bersalah. Manusialah yang membuat udara panas tak terampuni seperti ini. Pohon ditebangi, gedung bertingkat dengan jendela kaca terus dibangun, alat – alat elektronik yang mempercepat penipisan lapisan ozon justru semakin banyak saja digunakan orang.

Di satu ruangan kelas pada salah satu Politeknik di Bandung, udara yang panas juga dirasakan oleh para mahasiswanya. Sialnya, siang itu AC di kelas tersebut mati karena tidak ada aliran listrik. Bapak – bapak dari bagian Tata Usaha memberi tahu, “Sedang ada perbaikan di PLN, kira – kira sampai jam 5 sore nanti,” begitu katanya.

Namun Sang Dosen yang berusia kira – kira lebih dari setengah baya itu tetap saja bersemangat menyampaikan materi kepada para mahasiswanya. Namanya Pak Peter. Badannya gemuk. Lemak bergelayut di setiap bagian tubuhnya. Di perut, di tangan, di leher. Semua itu terlihat bergerak - gerak ketika Pak Peter berjalan mengelilingi kelas sambil tetap ber-'ceramah' kepada para mahasiswanya. Kemeja panjangnya basah kuyup karena keringat berlebihan yang keluar dari badannya. Sarah salah satu mahasiswanya di kelas siang itu memperhatikan. ‘Bapak ini harusnya bawa 2 kemeja untuk salin,’ batinnya.

“Itulah, saudara -saudara. Salah satu akibat dari tidak bisa mempertahankan hubungan dengan orang lain adalah perceraian. Ibarat ikan yang nyaman dengan kehidupannya bersama air. Ketika ia ditarik ke darat, maka baru ia sadari begitu penting air baginya. Ia tidak bisa hidup tanpa air..” panjang lebar Pak Peter menjelaskan tentang materi ‘Hubungan dengan Orang Lain’.

Pak Peter ini memang dosen Mata Kuliah Proffesional Development. Sarah selalu antusias menyimak materi – materi menarik yang disampaikannya. Namun seringkali, ketika sedang di kelas fikirannya tidak fokus pada Sang Dosen. Kadang di kelas, kadang di rumah, jalan – jalan ke tempat ia bekerja, pada pertandingan tim sepak bola favoritnya Inter Milan nanti malam, bahkan mampir ke tempat – tempat hiburan yang sudah lama ia rindukan. Sarah tidak mampu selalu fokus pada materi yang disampaikan dosen di kelas, selalu saja terbagi – bagi ke beberapa tempat. Sarah tidak mengerti mengapa ia begitu. Setiap berada di kelas yang ia inginkan adalah cepat – cepat pulang ke rumah.

Dan waktu itu pun tiba. Pak Peter adalah dosen terakhirnya hari itu. Materi kuliah Professional Development yang hanya menempel beberapa persen saja di kepalanya, ia bawa pulang. Keluar dari ruang kelas, Sarah disambut matahari yang masih sensi. Mungkin beberapa saat lagi, materi kuliah yang baru saja ia dapat di kelas tadi bisa menguap semuanya dan hilang tak bersisa. Sarah tertawa dalam hati.

“Ahh, gua harus terus semangat! Biarpun selalu cuma bisa belajar satu malem sebelum ujian, yang penting dapet nilai yang terbaik! Amin.” Di dalam angkot yang panas, sesak dan bau keringat itu, Sarah berjanji pada dirinya sendiri. Ia ingat betul, sulit sekali kesempatan kuliah ini ia dapat.

Untuk dapat berkuliah seperti sekarang ini, Sarah harus bekerja dulu selama kurang lebih 2 tahun untuk mengumpulkan uang masuk. Setelah uang masuk terkumpul dan ia bisa menjalani kuliah, Sarah tetap harus bekerja. Karena uang semesteran pasti telah menanti untuk dibayarkan setiap 6 bulan. Orangtua Sarah sendiri sudah ‘angkat tangan’ dalam membiayai kuliah anaknya ini. Ayahnya bekerja tak tentu. Sementara Ibunya, seorang Guru SD yang memiliki gaji pas – pasan. Sarah mempunyai 3 adik yang masih memerlukan biaya sekolah.

“Assalamu’alaikum..!” Sarah tahu tidak ada orang di rumahnya yang akan membalas sapanya. Tapi ia sudah terbiasa untuk mengucapkan salam setiap keluar dan masuk rumah. Ibu Sarah, siang itu pasti belum pulang mengajar. Begitu juga adik – adiknya. Pasti masih sibuk bermain lompat tali di sekolah. Sarah mengambil sepiring nasi dan beberapa lauk yang sudah disiapkan Ibu sejak pagi. Ia melahap makan siangnya sambil menonton berita siang di TV Berita favoritnya. Sarah tidak bisa beristirahat lebih lama lagi. Ia tidak boleh berleha – leha kalau tidak ingin telat sampai ke tempat kerjanya. Sarah mengganti pakaiannya dengan seragam kerjanya.

“Permisiiiii, Saay....!!” terburu – buru Sarah men-scan jempolnya pada alat Finger Scan. Teman kerja Sarah yang sempat menghalangi jalannya tadi menyapa, “Selaluuuu rusuuuh begituuuu.. Dari kampus lo ya?” Sarah hanya tersenyum manis menjawab pertanyaan temannya itu. Lelah sebetulnya yang dirasakan Sarah saat itu.

Saat itu mungkin teman – teman kuliahnya sudah sampai di rumah dan sedang beristirahat, menonton FTV kesayangan mereka, mendengar lagu – lagu favorit dari radio, Facebook-an atu Twitter-an. Beberapa teman lain yang memilih tidak buru – buru pulang, pasti sedang nongkrong di kampus bersama kelompoknya, memikirkan sebuah kegiatan kreatif untuk ekskul atau sekedar ngobrol ngaler ngidul. Sarah memikirkan mereka dan tidak jarang hatinya merasa iri. Sakit rasanya melihat kenyataan yang ada di depan matanya saat ini adalah bukan taman kampus yang sejuk, kantin yang ramai dengan gelak tawa, atau ruang ekskul yang beraroma kreatifitas, melainkan serangkaian pekerjaan yang harus ia selesaikan hingga larut malam nanti.

“Terima kasih, Mba.” Seorang konsumen baru saja pergi bersama barang belanjaannya setelah Sarah melayaninya di kassa. Sarah senang sekali apabila mendapat senyum yang tulus dari konsumennya. Ia tak segan – segan untuk membalas dengan senyum yang lebih tulus lagi.

Ya, sepulang kuliah, siang hari hingga larut malam Sarah bekerja sebagai kasir di sebuah supermarket yang cukup terkenal di kota Bandung. Sebagai seorang kasir yang pekerjaannya tiap hari melayani konsumen secara langsung, Sarah harus selalu memasang wajah ramah dan berseri – seri. Ia berterima kasih sekali dengan adanya make up, karena membuat mukanya yang lelah tidak terlalu terlihat pucat.

“Sar, lu nggak capek, tiap hari begini terus, pagi kuliah lanjut kerja..?” Kicky, salah satu teman kerja Sarah bertanya untuk ke sekian kalinya. Sarah sendiri hampir bosan menjawabnya, tapi ia tahu Kicky hanya ingin menunjukan perhatiannya. Sarah pun memberinya senyuman paling manis, “Capek, Ky. Tapi ya dijalanin aja dengan sabar..” Kicky tersenyum mendengar jawaban Sarah.

Kicky adalah teman kerja Sarah yang paling dekat. Selain memiliki tim sepak bola favorit yang sama yaitu Inter Milan, Kicky diam – diam mengagumi sahabatnya itu. Ia bercita – cita seperti Sarah, bekerja sambil kuliah. ‘Sarah saja bisa, masa aku ga bisa’, batin Kicky.

Sarah sendiri tidak pernah tahu apa yang dilakukannya saat ini sudah menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Yang ia tahu, ia hanya ingin merubah hidupnya saat ini. Dan ia tahu, satu –satunya kunci untuk mendapatkan hidup yang lebih bermartabat adalah melalui pendidikan.

Walaupun banyak kejadian yang menyenangkan, Sarah tetap tidak bisa melupakan begitu banyak kejadian lain di tempatnya bekerja yang membuat ia sakit hati. Tidak jarang ia dibuat kesal oleh konsumennya. Tipikal konsumen memang berbeda – beda. Ada konsumen yang baik hati, ada yang sok tahu, banyak mau, temperamen, sensitif.. Ah, pokoknya banyak sekali macamnya.

“Heran gua, kok bisa ada ungkapan yang isinya : ‘Konsumen adalah Raja’? Hellow! Kalau raja tentunya bijak dan tidak semena – mena dong?” umpat Sarah pada satu waktu ketika konsumennya dengan tidak sopan meminta double plastik pembungkus, padahal belanjaannya super ringan. Maklum, Sarah memang lumayan peduli terhadap lingkungan.

“Udahlah, Sar. Itu memang udah hukum alam kali. Yang berkuasa atas yang lebih lemah memang selalu bertindak ‘semau gue’!” Kicky yang mendengar curhat Sarah, ikut terbakar emosinya.

Bukan saja mengenai tindakan – tindakan konsumen yang ajaib. Mengenai hubungan di antara rekan – rekan kerjanya pun Sarah kadang merasa dibuat sangat cape memikirkannya. Pernah ia merasa begitu kecewa sekali, dengan persaingan yang nyata ia lihat di depan mata. Sikut sana, sikut sini. Hingga akhirnya mengorbankan salah satu teman baiknya ketika itu. Atau kebijakan – kebijakan perusahaan jaman sekarang yang sangat tidak memihak kepada manusia dengan kualitas seadanya, tidak berdaya dan tak memiliki posisi tawar. Kontrak – kontrak kerja gampang sekali dibuat namun mudah juga untuk diputus kembali.

“Lu lagi mikirin apa sih, Sar?” pertanyaan Kicky membuyarkan lamunannya. Sarah menyeruput teh manis di kantin tempat ia bersistirahat bersama Kicky,“Banyak hal lah, Ky.”

“Kalo Inter yang ga lolos di Liga Champion sih lu ga usah fikirin. Dunia pasti berputar. Sekarang aja mereka lagi drop, ‘ntar juga bangkit lagi!” timpal Kicky semangat.

“Hahaha.. gua setuju sob! Tapi bukan itu yang gua fikirin sekarang,” Sarah menarik nafas panjang, “Bumi ini.. kayaknya sekarang udah ga layak dihuni manusia ya!”

Kicky mengerutkan keningnya, “Maksud lo?”

“Lu liat sendiri kemaren, 3 orang temen kita. Kerja udah 5 tahun eh tiba – tiba besok paginya udah jobless.” Kicky mengangguk – anggukan kepala. Ia mulai memahami apa yang dibicarakan temannya.

“Tapi kalo ngeliat di TV, ya, Ky, banyak juga orang yang gampang banget dapetin uang dan popularitas. Kadang gua heran dimana letak keadilan di bumi ini. Gue.. susah banget pengen dapet 40 ribu aja harus bangun pagi pulang larut malem. Belom lagi harus menghadapi konsumen – konsumen bawel itu.”

“Yaa.. emang udah nasib kita kali, Sar.” Kicky asal menimpali.

“Tapi ini bukan salah siapa – siapa, Ky,” Sarah melanjutkan, tak peduli, “Kita ga usah nyari siapa yang salah. Kita liat aja diri kita masing - masing. Lu liat temen – temen kita di dalam sana,” Sarah menunjuk ke dalam supermarket tempat mereka bekerja yang terlihat ramai sore itu, “kebanyakan dari mereka ga ada kemauan untuk maju, Ky. Cuma terima nasib. Hasilnya apa? Bertahun – tahun masih teteeep aja mengerjakan pekerjaan yang sama!” Sarah mulai emosi.

“Itu kan pilihan. Mereka sendiri ga complain kan?” jawab Kicky datar.

“Iya, karena mereka itu sudah terpenjara oleh kebutuhan. Mereka ga punya pilihan lain, ngerti ga sih lo?” Sarah masih semangat karena emosinya. Kicky terdiam, merasa mendapat pencerahan.

“Tapi gw salut, Ky, mereka bisa menerima keadaan seperti itu dan bertahan. Kalo gua sih nggak!” Sarah menyeruput lagi teh manisnya sampai habis.

Kicky tertunduk lesu, dengan suaranya yang tercekat ia berusaha menyambung obrolan, “Lu enak kuliah,”

“Gua ga mau stuck kayak mereka, Ky.” Sarah menjawab lembut. Kicky masih tertunduk, memain – mainkan sedotan dalam gelas teh manisnya.

“Gua jua pengen kayak lo. Gua pengen kuliah, biar bisa dapet kerjaan yang lebih layak, biar ga ditindas terus sama orang, biar ga kelindes jaman! Tapi apa gua bisa? Gua mampu? Gua merantau di Bandung ini, Sar. Ibaratnya gua hidup sendiri,” mata Kicky mulai berkaca – kaca.

Sarah yang senang mendengar keinginan Kicky namun merasakan nada pesimis pada kata – kata sahabatnya itu berusaha  meyakinkan, “Lo bisa, Ky!”

Kicky menatap nanar mata sahabatnya, Sarah membalas dengan tatapan optimis, “Lo harus yakin!”

...

“Udah yuk.. Masuk!”

Mereka pun menyudahi obrolan istirahat di kantin yang berisik oleh suara anjing si pemilik kantin yang menyalak – nyalak tak sabar. Sambil berjalan berangkulan mereka menuju supermarket untuk kembali bekerja.

“Ky, gua baca di Twitter, pendidikan itu bukan persiapan untuk hidup, pendidikan adalah hidup itu sendiri. Lu tahu kan, hidup itu harus dijalani sambil lu tetep berjalan. Sekarang jangan takut buat ngisi hidup lu dengan pendidikan! Gua yakin lo bisa, Ky!” Sarah mengguncang bahu sahabatnya itu. Kicky mulai tersenyum optimis.

Sarah senang sekali melihat wajah ceria temannya itu. Ia pun tertawa, “Semangat, Ky! Forza Inter!”

“Forza Inter! Eh, gua juga punya, Sar. Dari Eto’o..”

“Apaan?”

In football, there is always a dream.”

“Yesss, that’s why we love football”

“Tossss!!!”

***



Cerpen di atas adalah salah satu cerpen yang dimuat dalam buku For Life Writing Project (buku pertama), sebuah buku hasil proyek amal keroyokan dari 32 penulis yang tersebar di seluruh Indonesia yang berisi kumpulan tulisan baik fiksi maupun non-fiksi tentang semangat hidup. Royalti dari hasil penjualan buku ini sepenuhnya akan disumbangkan kepada Rumah Cemara, sebuah LSM non-profit yang bergerak aktif membantu para drugs user dan orang dengan HIV/AIDS. Bisa dipesan di nulisbuku.com.

Comments

Popular posts from this blog

Hade goreng ku basa

Kaget, miris, sedih. Tiga kata ini menggambarkan perasaan saya setiap kali dihadapkan langsung pada realita sikap sebagian masyarakat kita yang pengguna teknologi canggih, namun masih mengabaikan etika dan kesopansantunan dalam bertutur. Berkaitan erat dengan penggunaan bahasa, ada sebuah pepatah Sunda berbunyi: “Hade goreng ku basa”. Pepatah ini mengandung arti bahwa baik atau buruknya sesuatu tergantung bagaimana bahasa dan cara kita menuturkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih di ranah publik dan ranah formal, penggunaan bahasa yang baik dan benar (tak hanya dari segi gramatika, tetapi juga konteks sosialnya) amat sangat penting. Beberapa yang belakangan ini sedang sering saya temui adalah: 1. Pencari kerja yang meninggalkan komentar/pertanyaan tanpa memperhatikan tata krama pada postingan iklan lowongan kerja di media sosial. 2. Pelamar kerja/pencari peluang bisnis atau kerja sama yang mengirimkan e-mail tanpa memperhatikan etika berkirim surat. Mungkin terdengar berl

Menerjemahkan Karam Sarasvati

Di antara banyak isi kepala, saya suka deh terbengong - bengong berpikir betapa sebuah lagu bisa bertransformasi menjadi banyak bentuk karya lainnya. Ya prosa yang lebih panjang aka cerpen, ya novel, lalu jadi video klip atau bahkan film. Lagu berubah wujud jadi koreografi. Lagu jadi tema foto. Lagu jadi lukisan pasir. Lagu jadi soundtrack pribadi. Oh ini sih saya. Lagu diinterpretasikan menjadi posting instagram? Itu sih kerjaan teman saya. Tapi memang menarik sih. Beberapa waktu lalu juga ada satu band yang membuat lomba foto semacam ini. Jadi kita mendengarkan lagu - lagu mereka, lalu kita posting foto yang menurut kita menginterpretasikan lagu - lagu band tersebut. Dan memang, kalau kita mencipta sesuatu, sudah jelas interpretasi orang terhadap apa yang kita buat tidak akan sama dengan apa yang kita pikirkan saat kita mencipta karya tersebut. Makin banyak interpretasi, makin 'kaya' karyanya. Dan satu hal, tidak ada salah atau benar yang 'pakem' d

1000 paper stars and one wish

Masih ingat dengan karakter Kugy di novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari? Atau tonton filmnya deh. Di sana ada adegan Kugy senang membuat dan menempel origami burung bangau. Nah, hari kemarin saya buka puasa bersama dengan teman-teman, dan ternyata saya baru menemukan hobi mereka membuat origami. Tapi mereka gak bikin origami bangau seperti Kugy, melainkan origami bintang. Sambil ngobrol ngaler ngidul, tangan kita asik membuat origami bintang dari paper stars yang sudah banyak dijual di toko aksesoris. Kita tinggal melipat.. melipat lagi.. dan voila! Jadilah bintang-bintang lucu seperti ini! :D Origami adalah seni melipat kertas dari Jepang. Dan untuk origami bangau dan bintang ini ada mitosnya. Menurut mereka, kalau kamu bikin 1000 bangau atau bintang, kamu bisa make a wish. Namanya juga mitos, bisa jadi benar-benar kejadian bisa juga mitos ini dipatahkan kapan saja. Tergantung kamu mau percaya atau tidak. Kalau salah satu teman saya yang kemarin hadi