Aku
masih memandangi jendela di kamarku. Hujan tak mau berhenti di luar sana.
Langit seperti ingin menemaniku menangis sepanjang malam ini. Hatiku dingin dan
kelu seperti udara di luar sana. Petir sesekali menyambar membuatku tetap
terjaga dari lamunan. Aku mencium lekat aroma penyesalan dalam ruangan kamar
ini.
***
Aku memliliki orang tua yang lengkap, Ibu dan Ayah yang mencintaiku. Aku bersekolah di SD favorit dan cukup berprestasi. Ibuku seorang pengajar. Beliau selalu memberiku les tambahan di rumah. Sampai sekarang aku selalu bangga dengan diriku sendiri jika mengenang betapa lancar aku membaca padahal saat itu usiaku baru 4 tahun. Semua itu berkat Ibuku yang hebat.
Ayahku juga hebat. Ia seorang karyawan di sebuah perusahaan. Ia baik, pekerja keras dan selalu menyempatkan utnuk bermain – main denganku sepulang kerja. Aku sering digendongnya di atas punggung. Kami tertawa – tawa hingga lelah.
Kami tinggal di ssebuah rumah sederhana yang terletak di dalam sebuah komplek perumahan. Setiap pagi kami berangkat bersama – sama. Ayah ke tempat kerjanya. Ibu ke sekolah bersamaku. Ia mengajar di Kelas 1 dan aku berlari memasuki kelasku di ruangan Kelas 6.
Tidak ada yang salah dengan masa kecilku. Semuanya sempurna. Semuanya berjalan biasa – biasa saja. Lalu datanglah sosok ‘Om’ di hidupku. Ia kerap mengunjungiku di sekolah. Memberiku uang saku. Aku sering diajaknya jalan – jalan. Jajan di supermarket, dan lain – lain. Om juga sering berkunjung ke rumahku. Ia tampak akrab dengan Ibu juga Ayah. Ibu mengenalkannya kepadaku sebagai teman baiknya. Aku tak curiga. Mungkin lebih tak peduli. Aku tak pernah berpikiran macam – macam tentangnya. Toh ia bersikap baik terhadapku juga kedua orang tuaku.
Namun tak ayal aku mencium juga keanehan dari sosoknya. Ia terlalu baik padaku. Dan sikap Ibu dan Ayah juga semakin tak wajar ketika Om datang ke rumah. Aku dipaksa bersikap manis terhadapnya. Dan ucapan – ucapannya yang seolah – olah menitipkan aku kepada orang tuaku sendiri. Aku rasa orang ini aneh. Aku jadi penasaran siapa sebenarnya dia.
Suatu hari, ketika tak ada siapapun di rumah ini, aku menyelinap masuk ke kamar Ibu. Aku mengobrak – abrik isi lemarinya. Aku menemukan sebuah kotak. Aku buka kotak itu dengan gugup. Kamu tahu? Aku sungguhan kaget tak kepalang melihat selembar foto Ibu sedang bersama Om. Seketika itu juga kepalaku dipenuhi dengan segerombolan pertanyaan. Ada hubungan apa sebenarnya Ibu dengan Om? Siapa dia? Kenapa Ibu menyimpan foto ini?
Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak mencari tahu lebih banyak lagi. Akhirnya, aku menemukan selembar akta kelahiranku yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Aku shock. Tak percaya pada apa yang aku lihat. Di situ jelas – jelas tertulis nama ayahku bukan nama ayah yang selama ini aku kenal. Tidak ada nama ayah yang selama ini aku pikir ayah kandungku di surat itu. Lalu nama siapa ini yang sedang aku lihat? Nama siapa ini yang tertulis di akta kelahiranku sebagai ayah kandungku? Aku lemas. Tubuhku merosot ke lantai. Air mataku tumpah. Ibu telah membohongiku tentang ayahku selama ini. Hatiku mengeras. Suatu saat nanti, aku akan mencari tahu jawabannya sendiri. Lihat saja.
Ayah dan Ibu sebentar lagi pulang. Ibu tak boleh tahu tentang ini. Aku cepat- cepat membereskan semuanya agar dia tak curiga. Aku meletakkan kotak itu seperti semula dan berlari ke kamarku.
Dari dalam kamar aku mendengar suara Ibu dan Ayah sudah di dalam rumah. Mereka sudah pulang. Tapi aku tak ingin keluar dari kamar. Aku tak ingin menemui mereka. Aku benci mereka.
“Galih, kamu sudah makan, Nak? Ini ibu bawa martabak..” aku tak peduli. Aku tak ingin makan apapun. Aku ingin mati saja rasanya.
*
Sekarang aku sudah SMP. Aku tidak lagi berangkat sekolah bersama – sama Ibu. Saatnya rencana yang aku simpan dari dulu, aku lakukan sekarang. Sehabis pulang sekolah, aku tak langsung pulang ke rumah. Aku mencari Om. Aku ingin mendapat penjelasan darinya tentang semua yang aku temukan di kotak milik Ibu.
Akhirnya aku berhasil menemui Om di sebuah tempat makan di dekat pusat kota. Aku menunjukkan fotonya bersama Ibu yang aku curi dari dalam kotak Ibu. Ia kaget melihat foto itu berada di tanganku.
“Dan ini nama Om?” aku menunjukkan akta kelahiranku yang juga aku curi dari dalam kotak Ibu. Ia pucat. Aku menatap matanya dalam – dalam, “jawab, Om.”
Ia tampak sangat terpukul. Lalu mulai bercerita.
“Aku memang Papamu, Galih..”
“Lalu kenapa Ibu mengenalkan kamu sebagai Om, teman baik Ibu?” aku marah. Aku tak ingin menghormatinya dengan sebutan Om apalagi Papa.
Dia kaget mendengar pertanyaanku. Wajahnya kecewa.
“Maafkan kami Galih.. kami hanya tak ingin kamu terluka” jawabnya pasrah.
“Kamu salah! Kamu tahu? Aku sangat sangat hancur dibohongi oleh kalian seperti ini!” aku mulai menangis.
Dia menunduk.
“Asal kamu tahu. Aku sangat mencintai Ibumu. Kamu adalah anak kesayangan kami. Aku dan ibumu dulu menghadapi masalah dalam pernikahan kami. Kami berpisah sejak kamu masih bayi.”
“Lalu kenapa kamu harus datang lagi ke hidupku mengacaukan semuanya?” aku berteriak. Tak peduli dengan pengunjung lain yang mulai menolehkan kepalanya pada kami.
“Aku selalu teringat denganmu, Galih..”
“Kamu tahu? Kamu pengecut!” aku tak tahan lagi. Aku pergi meninggalkannya. Aku melangkah mengikuti kaki ini, tak ada tujuan. Aku linglung. Aku hilang pegangan.
*
Aku tak pulang ke rumah selama 3 hari. Aku menginap di kosan teman. Aku juga tak masuk sekolah dan tak mengabari Ibu. Handphone aku matikan. Aku menghilang. Aku tak ingin bertemu dengan orang tuaku. Untuk apa? Percuma. Mereka sama sekali tidak menghargaiku. Kalian harus ingat, aku sudah dibohongi! Aku tak peduli apapun alasannya.
Namun rasa bosan ini juga ternyata minta dihindari. Aku akhirnya pergi sekolah. Guru – guruku tahu aku tak pulang ke rumah selama 3 hari. Tentunya Ibu yang memberitahu mereka. Akupun dipaksa pulang.
Dalam perjalanan pulang aku menabrak seorang Ibu yang hendak menyebrang. Ah, sial. Aku memarkir motorku di pinggir jalan dan memeriksa keadaan Ibu itu, kalau – kalau lukanya parah. Ketika aku mendekat, ya ampun.. ternyata aku mengenalinya. Dia ua-ku. Ua Dedeh yang paling aku hormati di antara semua keluarga Ayah dan Ibu. Aku sangat dekat dengannya.
“Ua, maafin Galih ya.. sumpah gak sengaja..” aku menyesal.
“Iya, gak apa – apa.. Ua yang salah, gak hati – hati nyebrangnya.. Untung gak kenapa – napa..” ia menghiburku.
Ua memeriksa wajahku. Ia tahu aku sedang ada masalah. Ia lalu mengajakku duduk di kursi halte bis. Ia mulai berbicara.
“Ua sudah dengar cerita tentang kamu semuanya dari Ibu.. kamu akan pulang, kan, Galih?”
“Iya, ua” aku menunduk tak berani menatap wajahnya.
“Pulang, Galih.. kasian Ibu.. dia sangat sedih kamu meninggalkan rumah.. pulanglah.. maafkan semuanya.. kamu harus belajar berjiwa besar.. kamu seorang laki – laki.. laki – laki harus berjiwa ksatria..” seperti biasa, Ua paling bisa menenangkan hatiku yang sedang kacau.
“Galih tau, ua.. Galih hanya ingin menenangkan diri aja sebentar..” aku memberinya senyuman manis agar ia tenang. Aku sayang Ua-ku satu ini.
*
Belum sampai ke rumah, aku menerima pesan di handphone-ku. Aku menepi. Sebuah pesan dari nomor Ayah. Isi pesannya membuat duniaku seakan runtuh. Om sudah meninggal dunia dan akan dikuburkan tak lama lagi. Aku lemas, tak percaya. Kuulangi lagi membaca pesan itu. Seonggok penyesalan atas kata - kata terakhirku pada Om menggelayut di tenggorokanku. Dadaku sesak. Aku ingin menangis. Tapi aku malu. Suara – suara kencang laju kendaraan di jalan ini menerorku. Aku seakan menjadi orang yang paling hina di dunia ini karena belum sempat meminta maaf pada ayah kandungku sendiri, sebelum ia meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Sekarang semuanya sudah terlambat. Kenapa harus secepat ini, Tuhan? Tidak bisakah aku minta waktu ini dikembalikan? Aku merengek pada Tuhan yang seakan tak mau tahu masalah seorang anak durhaka sepertiku.
Aku tak berfikir lama. Motor ini dengan cepat aku pacu ke tempat di mana Om, Ayah kandungku, akan dikuburkan. Di sana, aku melihat banyak sekali keluarga Ayah kandungku yang mengantarnya menuju liang lahat. Di sana, juga ada istrinya dan anak – anaknya dengan wajah sangat kehilangan. Mereka tentu tidak mengenaliku. Aku tak mau menimbulkan kehebohan. Aku bersembunyi di belakang pohon. Dari situ aku melihat Ayah kandungku dikkuburkan. Sakit sekali rasanya hati ini. Tuhan, aku ingin menciumnya untuk terakhir kali. Aku ingin minta maaf padanya. Air mataku tumpah tak terbendung.
Prosesi pemakaman sudah selesai. Keluarga Ayah kandungku mulai berbalik pulang. Aku tak ingin keberadaanku diketahui oleh mereka. Nanti mereka bisa curiga. Aku pun cepat – cepat meninggalkan pohon tempat persembunyianku. Aku berlari sekencangnya menuju motorku dan pergi dari situ.
Aku masuk ke dalam rumah yang aku tinggalkan selama 3 hari ini. Ibu dan Ayah menunggu dengan wajah sayu di ruang tamu. Mereka sudah tahu dari mana aku. Mereka menghambur ke tubuhku. Aku dipeluk mereka erat sekali. “Maafkan Ibu Galih.. Ibu menyesal..” berkali - kali Ibu memohon padaku.
Aku sudah menyesal karena Ayah kandungku. Aku tak ingin menyesal untuk Ibuku. Aku balas memeluk mereka. Aku sudah memaafkan mereka. Aku tahu mereka melakukan semuanya tak lebih karena mencintaiku.
***
Aku lelah menangis sepanjang malam ini. Aku lapar. Akupun pergi mencari makan ke dapur. Sayup – sayup aku mendengar suara orang mengaji. Ternyata suara Ibu dari mushola. Aku mendengar Ibu mengaji Surat Yasin. Aku tahu itu untuk Om, maksudku Ayah kandungku. Hatiku seperti tersiram air es mendengar suaranya. Sejuk sekali.
************
dimuat dalam buku Dance With My Father (buku #1) #11projects11days (day 7) @nulisbuku
Comments