Namaku Nira. Aku bekerja di sebuah cafe yang cukup terkenal di Bandung ini, sebagai kasir. Aku punya pacar, namanya Ryan. Dia bekerja di sebuah restoran fast food, juga di Bandung. Aku sayang padanya. Dia baik dan perhatian padaku. Dia adalah semangat hidupku. Kami tak pernah bertengkar serius selama berpacaran.
Aku dan Ryan sudah berpacaran selama hampir 4 tahun semenjak kami sama – sama duduk di bangku kelas 1 SMU. Aku berbeda sekolah dengan Ryan. Aku tak bisa memantaunya sepanjang hari. Tapi aku percaya pada Ryan, walaupun tak jarang aku dengar banyak omongan miring tentang dirinya.
“Ra, kemarin gua liat Ryan bonceng cewek tuh!”
“Ra, kemarin gua ketemu Ryan di mall bareng cewek”
Dan banyak lagi laporan – laporan yang tak enak terdengar di kuping ini dari teman – temanku tentang Ryan. Aku tak peduli. Karena aku hanya ingin mendengarkan Ryan. Dia selalu bisa meyakinkan aku jika ditanyai mengenai gosip – gosip tentang dirinya. Aku percaya pada Ryan. Sampai akhirnya aku mengalaminya sendiri.
Suatu sore sehabis pulang kerja, aku menemani Ryan bermain futsal bersama teman – temannya. Dia menolak untuk menitipkan handphone-nya padaku, sementara dia bermain futsal. Aku heran dan mulai curiga. Namun setelah kupaksa, akhirnya dia pasrah. Dan kamu tahu apa yang kutemukan dalam handphone Ryan?
Tak bisa kupercaya, Ryan yang selama ini perhatian padaku sanggup membohongiku. Aku temukan banyak foto – foto dirinya bersama seorang perempuan di handphone itu. Lengkap dengan sms – sms mesra mereka yang masih tersimpan. Hatiku hancur. Remuk berantakan. Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat. Ryan mematung di hadapanku.
“Tega ya kamu?” telingaku dapat mendengar, suara ini berat menahan kesal. Badanku bergetar. Mataku panas. Tapi aku tak ingin Ryan melihatku menangis. Aku sudah cukup terlihat bodoh. Tak perlu ditambah dengan air mata itu.
“Mulai sekarang, gak usah hubungi aku lagi!” Aku berbalik. Lari meninggalkan Ryan di tempat futsal. Dia masih terpaku di tempatnya. Tidak mengejarku. Aku kecewa pada Ryan. Dan aku merasa bodoh sekali selama ini berhasil ia bohongi. Aku juga merasa bersalah pada teman – temanku karena sudah tidak mempercayai apa yang mereka katakan tentang Ryan.
*
Aku menangis semalaman, berharap perasaanku bisa sedikit lebih lega. Dan esok harinya, terpaksa aku masuk kerja dengan mata sembab. Setiap berpapasan dengan teman – temanku mereka tidak tahan untuk tidak bertanya ada apa denganku. Mereka tahu ada yang tak beres denganku, karena aku tak biasa bersedih seperti ini.
Ragil, seorang waiter di cafe ini, duduk di sebelahku ketika aku sedang istirahat makan siang, “matanya kenapa tuh? dipipisin kecoak ya?” katanya sambil bercanda.
Aku tertawa, “gak ‘papa kok, Gil.”
“Berantem sama pacarnya ya?” Ragil penasaran.
Aku tersenyum. Melihat matanya yang tulus ingin berbagi denganku, akupun luluh. Lalu aku ceritakan semua tentang aku, Ryan dan kejadian di tempat futsal itu.
Ragil akhirnya menjadi tempat curhatku yang paling setia. Entah kenapa aku merasa nyaman bersama dia. Aku dan Ragil ternyata punya hobby yang sama, jalan – jalan ke tempat – tempat wisata alam. Kami sering jalan berdua. Kamipun semakin dekat. Suatu hari di atas bukit yang langitnya dipenuhi bintang, dia mengatakan sesuatu padaku, “Aku tuh cuma pengen sayang sama kamu. Tulus. Aku bahagia bisa jadi temen curhat kamu. Aku seneng kalo kamu juga seneng”
“Nira, kamu mau jadi pacar aku?” tembak Ragil. Aku kaget. Tapi juga bahagia. Tubuh ini rasanya melayang saking ringannya. Aku tak bisa menahan senyumku. Ia mengembang seakan sampai ke ujung dunia.
“Aku juga sayang sama kamu, Gil. Aku mau.” jawabku.
*
Aku sedang libur hari ini. Ibu, Ayah dan Adikku pergi berenang. Aku menomton tv sendirian. Tiba – tiba Dinda, temanku, datang dengan panik memberi kabar tentang Ryan.
“Ra, si Ryan kecelakaan. Tulang otaknya kena! Dia di rumah sakit sekarang dan pengen ketemu lo,” tanpa jeda Dinda terus berbicara, “ayo, Ra. Ikut gua. Sebentar aja. Kasian, Ra”
Aku masih diam. Entah karena kaget dengan kabar yang tiba – tiba ini, atau mungkin juga aku sudah tak peduli dengan Ryan.
“Gak mau. Dia udah bukan siapa – siapa gua lagi.” kataku ketus.
“Ya Alloh, Ra.. Plis lu lupain dulu masalah hati. Lu udah bareng – bareng sama dia 4 tahun. Sekarang dia lagi sekarat dan pengen ketemu lo!” Dinda putus asa.
Aku menyerah. Aku ikut bersama Dinda menemui Ryan di Rumah Sakit.
*
Ryan terbaring di kasur putih itu. Tampak lemah. Ryan melihat aku datang, sepertinya ia sudah menunggu dan ingin berbicara banyak sekali. Dinda pergi, sengaja meninggalkan kami berdua.
“Ra, kamu liat aku kayak gini kenapa? Karena aku tahu kamu udah jadian sama cowok lain. Aku linglung, Ra, di jalan. Aku kayak ilang pegangan” Ryan berbicara dengan suaranya yang lemah.
“Aku cuma cinta sama kamu, Ra. Plis maafin kebodohan aku. Aku memang kurang ajar. Aku gak tahu diri banget udah sia –siain cewek baik kayak kamu. Aku nyesel.”
Aku diam. Sinar matahari sore berusaha masuk lewat jendela, menggelitik kebisuan ini.
“Kita udah bareng – bareng hampir 4 tahun, Ra. Masa kamu tega akhirnya kayak gini? Plis, Ra, balikan lagi sama aku ya?”
Ya Tuhan, harusnya aku membenci pria yang sudah mengkhianati aku ini. Namun mengapa sulit sekali rasanya untuk membenci.
“Aku tahu hidup aku mungkin gak lama lagi. Tapi aku pengen di sisa hidup aku ini, aku habiskan sama kamu”
Melihat Ryan tak berdaya seperti ini, aku luluh. Aku tersadar, ternyata aku juga masih belum lupa begitu besar rasa sayang aku pada Ryan, cinta pertamaku ini. Aku masih mencintai Ryan.
*
Ryan akhirnya bisa pulang ke rumah. Aku membantu merawatnya agar kesehatannya cepat pulih. Setiap pagi aku menyuapinya bubur untuk sarapan. Ragil tak tahu apa yang sudah terjadi. Namun aku bertekad, sepahit apapun rasanya, aku harus jujur pada Ragil tentang semua yang aku rasakan.
“Kenapa tuh mulut manyun gitu kayak keong?” Ragil menggodaku. Siang itu kami sedang istirahat bersama – sama di kantin.
“Udah deh, Gil, ga usah bercanda.” Aku pura – pura judes.
“Wah, pacar aku lagi PMS nih kayaknya.” Seperti biasa Ragil selalu tenang menghadapi aku. Ragil pria yang berjiwa besar. Ia lebih dewasa dibanding umurnya. Ragil harus tahu secepatnya. Tapi aku tak tega menyakitinya. Sungguh.
“Gil, aku balikan lagi sama Ryan.” dengan susah payah aku mengatakannya pada Ragil.
Ragil menatapku lekat. Matanya kaget tak percaya. Ia memainkan sendoknya. Sepertinya ia sudah menduga ini akan terjadi.
“Iya, kamu nggak bisa lupain dia, cinta pertama kamu, kan. Wajar.” Ragil berusaha sabar. Dia terlalu baik.
“Mafin aku, Gil.”
Dan aku tak ingat lagi setelah itu. Aku pingsan. Aku tersadar beberapa jam kemudian. Aku sudah terbaring di kamarku sendiri. Ayah, Ibu, Adikku, Ragil... dan Ryan mengelilingiku. Melihat dua orang pria yang aku cintai ada di hadapanku bersama – sama, rasanya aku ingin pingsan lagi. Kepalaku seakan berputar – putar. Tubuhku dingin. Aku sesak. Aku ingin menangis. Tuhan yang penuh kejutan, apalagi rencana-Mu kali ini?
Akhirnya kami bertiga di dalam kamar. Aku, Ragil, dan Ryan. Demi Tuhan aku tak mampu berkata apapun. Aku bingung. Aku bimbang dengan keadaan ini. Aku bimbang dengan perasaanku sendiri. Seperti berada di satu persimpangan jalan yang sulit kupilih. Pada siapa sebetulnya aku mencinta? Aku tak ingin kehilangan dua pria di hadapanku ini, namun aku tak mungkin memiliki keduanya. Aku tak ingin menyakiti keduanya, namun hanya ada satu yang akan tetap bersamaku. Atau mungkin keduanya akan pergi meninggalkanku?
“Ra, aku akan ikut Ayah kerja di luar kota. Mudah – mudahan aku bisa lupain kamu. Maafin aku kalau selama kita bareng, kamu ngerasa gak bahagia sama aku. Assalamualaikum..” Ragil menghentak kesadaranku. Ia pergi dengan kata – katanya yang membuat badan ini seperti tak bertulang. Aku lemas. Dan tak yakin aku bisa bangun kembali. Aku tak tahan lagi. Kali ini aku menangis.
Ryan tiba – tiba bangkit dari tempat duduknya. Apakah ia juga akan meninggalkan aku sama seperti Ragil? Aku takut. Kamar ini sungguh dingin. Waktu seperti tak bergerak.
“Gil, tunggu!” Ryan berteriak menahan Ragil. Ragil berbalik.
Ryan seolah mengumpulkan semua kekuatan dari mataku. Ia menatapku lama sekali, kemudian berpaling pada Ragil, “Gua titip kebahagian Nira sama lo, Gil. Lu lebih pantes buat dia.”
“Nira, maafin aku. Aku janji gak akan ganggu kamu lagi. Aku sayang sama kamu, sampai kapan pun.” Ryan mendekat dan mengusap kepalaku sekilas. Lalu ia pergi dengan cintanya yang tak pernah habis. Ragil di sampingku, menawarkan cinta yang tlah teruji.
Dan aku yakin tak kan pernah ada yang tersakiti karena mencinta. Karena cinta adalah obat bagi jiwa. Cinta itu suci, luhur dan agung.
Comments